BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Sastra merupakan
hasil karya manusia yang kreatif, artinya manusia dalam mengungkapkan
penghayatan dan pengalamannya melalui bahasa, baik secara lisan maupun tulisan
yang dapat menimbulkan rasa indah serta dapat menggetarkan hati pembaca dan
pendengarnya.
Sastra atau
kesusastraan merupakan karangan yang indah, baik bahasa maupun isinya. Hal
tersebut berarti bahwa karya sastra diungkapkan melalui bahasa yang artistik
dan melalui proses imajinatif. Karya sastra ditulis atau diciptakan oleh pengarang bukan hanya untuk dirinya
sendiri, melainkan untuk disampaikan kepada pembaca. Hal ini karena di dalam
karya sastra terdapat ide, pengalaman, dan amanat si pengarang yang hendak
disampaikan kepada pembaca dengan harapan, apa yang disampaikan itu menjadi
masukkan, sehingga pembaca dapat mengambil kesimpulan dan
menginterpretasikannya sebagai sesuatu yang dapat berguna bagi perkembangan
hidupnya.
Menurut Semi (dalam Kinayati
Djojosuroto, 2006 : 17) hakikat kesusastraan atau karya sastra adalah suatu
bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah menusia dan
kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Dengan demikian
kesusastraan sebagai karya kreatif harus mampu melahirkan suatu kreasi yang
indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan manusia. Sastra harus pula
mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh
sastrawan tentang kehidupan manusia.
Karya sastra
merupakan hasil karya seni manusia yang mempersoalkan masalah-masalah manusia
dan kemanusiaan. Karya sastra dapat menjadi wadah bagi para satrawan untuk
menyampaikan ide atau gagasanya tentang kehidupan manusia. Banyak hal yang
menambah pengetahuan hidup manusia melalui karya sastra. Selain itu karya
sastra merupakan refleksi pengarang tentang hidup dan kehidupan yang dipadu
dengan daya imajinasi dan kreasi yang didukung oleh pengalaman dan
pengamatannya atas kehidupan tersebut. Dengan batasan seperti di atas, maka
jelaslah bahwa karya sastra mempunyai peranan yang amat penting bagi kehidupan
manusia. Segala sesuatu yang menyangkut kehidupan manusia sampai dengan yang
paling kompleks sekalipun dapat diungkapkan dalam suatu karya sastra.
Suatu karya
sastra yang indah bukanlah karena bahasanya yang beralun-alun dan penuh irama,
tetapi harus dilihat secara keseluruhan, baik unsur intrinsik maupun unsur
ekstrinsik. Unsur intrinsik seperti tema, alur, penokohan, latar, sudut
pandang, dan amanat, sedangkan unsur ekstrinsiknya meliputi nilai soaial,
budaya, moral, agama, politik . Sebuah karya sastra dikatakan benilai apabila
di dalam karya sastra tersebut terkandung ajaran atau hal-hal yang penting dan
berguna bagi kemanusiaan. Ajaran atau hal yang penting dan berguna bagi
kemanusiaan tentunya berhubungan dengan perbuatan baik yang sering dikaitkan dengan hal yang biasa disebut dengan etika dan moral.
Etika menurut
Bertens (dalam Zaairul Haq, 2011:17) diartikan sebagai ilmu yang mempelajari
tentang adat kebiasaan, termasuk di dalamnya moral yang mengandung nilai dan
norma yang menjadi pegangan hidup seseorang atau sekelompok orang bagi
pengaturan tingkah lakunya.
Moral menurut
Abinudin Natta (dalam Zaairul Haq, 2011:21) merupakan istilah yang dugunakan
untuk memberikan batasan terhadap aktivitas menusia dengan nilai ( ketentuan )
baik atau buruk, benar atau tidak.
Menurut Frans Magnis Suseno
(dalam Zaairul Haq, 2011:18) etika jawa merupakan keseluruhan norma dan
penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui
bagaimana seharusnya manusia menjalankan kehidupannya. Seperti terlihat dalam
kehidupan masyarakat Jawa, bagaimana cara
bertutur, bertingkah laku atau bertindak. Semua itu diatur dalam aturan
yang disebut etika. Sedangkan moral Jawa yaitu adat istiadat atau kebiasaan
yang dilakukan oleh masyarakat Jawa dalam kehidupannya yang berkaitan dengan
baik atau buruknya suatu hal. Moral ini berkaitan dengan sikap seseorang
seperti sikap seorang yang rila, nrima,
temen, sabar, dan budi luhur.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
etika dan moral Jawa merupakan keseluruhan norma yang mengikat atau mengatur
bagaimana seorang manusia harus bersikap, bertindak, dan bertutur dalam
kehidupan masyarakat sehingga diketahui baik buruknya terhadap apa yang telah
dilakukannya.
Berkaitan dengan masalah etika dan moral, maka
peneliti memilih menganalisis suatu karya sastra yang berbentuk prosa berjenis
novel. Novel merupakan karya sastra yang menceritakan suatu kisah secara luas
dan kompleks. Dalam KBBI (2007:788) novel diartikan sebagai karangan prosa yang
panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di
sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.
Adapun novel yang peneliti pilih untuk dianalisis
yaitu novel Centhini karya Sri
Wintala Ahmad. Dipilihnya novel tersebut karena novel tersebut belum pernah
dianalisis. Novel ini ditulis oleh seorang pengarang yang sudah berpengalaman
dalam hal menulis yang dibuktikan dengan karya-karyanya yang sudah banyak
terbit antara lain novel Dharma Cinta,
Jaman Gemblung, Sabdapalon, Kiamat, Dharma Gandul, dan Centhini. Selain
itu, novel Centhini merupakan novel yang menggambarkan kehidupan
masyarakat Jawa yang di dalamnya menceritakan suatu kisah pelarian dan
pengembaraan tokoh Syeh Amongraga karena dikejar oleh prajurit Mataram. Dalam
kisah ceritanya, banyak sekali ajaran-ajaran yang dapat dipelajari. Ajaran
tersebut seperti ajaran etika dan moral.
Oleh karena itu, peneliti tertarik menganalisis etika dan moral Jawa
yang terkandung dalam novel Centhini
karya Sri Wintala Ahmad.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan
uraian yang ada dalam latar belakang masalah di atas, maka masalah yang timbul
dan akan diteliti adalah: “ Bagaimanakah etika dan moral Jawa dalam novel Centhini karya Sri Wintala
Ahmad.
Berdasarkan
rumusan masalah, maka penulis merumuskan judul sebagai berikut:
Analisis
Etika dan Moral Jawa dalam Novel Centhini
Karya Sri Wintala Ahmad.
C.
RUANG
LINGKUP
Adapun ruang
lingkup dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Objek
yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah etika dan moral Jawa dalam
novel Centhini karya Sri Wintala Ahmad, cetakan pertama,
bulan Juli 2012, penerbit Araska.
2. Etika
Jawa yang akan dikaji dalam penelitian ini meliputi:
a. Etika
Wong Gedhe ( Etika Orang Besar)
b. Etika
Wong Cilik ( Etika Orang Kecil )
c. Etika
anak dan istri
3. Moral
Jawa yang akan dikaji dalam penelitian ini meliput :
a. Rila
b. Nrima
c. Temen
d. Sabar
e. Budi
luhur
D.
TUJUAN
DAN MANFAAT PENELITIAN
1.
Tujuan
Secara umum,
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami etika dan moral yang ada
dalam masyarakat Jawa dalam novel Centhini
karya Sri Wintala Ahmad. Sedangkan secara khusus, penelitian ini bertujuan
untuk mendapatkan deskripsi sebagai berikut:
a. Untuk
mengetahui bagaimanakah etika wong gedhe
pada masyarakat Jawa dalam novel Centhini
karya Sri Wintala Ahmad
b. Untuk
mengetahui bagaimanakah etika wong cilik
pada masyarakat Jawa dalam novel Centhini
karya Sri Wintala Ahmad.
c. Untuk
mengetahui bagaimanakah etika anak dan istri
pada masyarakat Jawa dalam novel Centhini
karya Sri Wintala Ahmad.
d. Untuk
mengetahui bagaimanakah sikap rila, nrima, temen, sabar, dan budi luhur pada
masyarakat Jawa dalam novel Centhini
karya Sri Wintala Ahmad.
2.
Manfaat
Penelitian
Penelitian ini berguna bagi penulis untuk
mengembangkan wawasan pemikiran dalam bidang ilmiah khususnya kesusastraan.
a) Sebagai
bahan peningkatan pemahaman serta apresiasi terhadap karya sastra Indonesia,
khususnya novel Centhini karya Sri Wintala Ahmad
b) Sebagai
sumbangan pemikiran bagi guru bahasa dan sastra Indonesia dalam rangka
meningkatkan pengajaran apresiasi sastra.
c) Menambah
wawasan yang lebih mendalam tentang etika dan moral Jawa yang terkandung dalam
novel Centhini karya Sri Wintala Ahmad.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DAN KERANGKA PIKIR
A. Analisis
Etika dan Moral Jawa pada Novel Centhini
Karya Sri Wintala Ahmad
1.
Pengertian
Sastra
Secara etimologis,
kesusastraan berarti karangan yang indah. “ Sastra ” (dari bahasa Sansekerta)
yang berarti tulisan, karangan. Akan tetapi sekarang pengertian “ kesusastraan
“berkembang melebihi pengertian etimologisnya. Kata “indah” sangat luas
maknanya. Tidak saja menjangkau pengertian-pengertian lahiriah tetapi terutama
adalah pengertian lahiriah.
Menurut
Teeuw (dalam Ratna, 2011:4) sastra berasal dari bahasa sansekerta, yang berawal
dari “sas“ yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan intruksi.akhiran
“tra“ yang berarti alat atau sarana. Jadi secara leksikal sastra berarti
kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik.
Sedangkan susatra diartikan sebagai
hasil ciptaan yang baik dan indah.
Menurut Jakob Sumarjdo dan Saini K.M (1989:3) “sastra
adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan,
ide, semangat dan keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang
membangkitkan pesona dengan alat bahasa.”
Senada dengan yang dikemukakan oleh Jakob dan A. Teeuw,
Abdul Rozak Zaidan, dkk (2007:180)mengemukakan bahwa sastra merupakan tulisan
dalam arti luas, yang pada umumnya berupa teks rekaan, baik puisi maupun prosa
yang dinilainya tergantung pada kedalaman pikiran dan ekspresi jiwa .
Berdasakan pendapat dari pakar di atas, maka dapat
disimpulakan bahwa sastra merupakan tulisan, karangan atau ungkapan pribadi
manusia yang berupa pikiran, gagasan yang pada umumnya berbentuk teks rekaan,
puisi,maupun prosa yang memiliki nilai keindahan.
2.
Pengertian
Novel
Prosa berasal dari bahasa inggris yang disebut
dengan prose : language not in vers form (poetry). Dalam buku pengantar seni sastra slamet
mulyana mengemukakan istilah “prosa” bersal dari bahasa latin “oratio provorsa
” yang berarti ucapan langsung, bahasa percakapan, sehingga prosa berarti
bahasa bebas, bercerita, ucapan langsung. Sedangkan secara etimologi prosa
yaitu mengungkapkan apa yang dirasakan, diketahui,dan dimaksudkan pengarang,
langsung diucapkan dengan bahasa yang langsung dan bebas, tidak memerlukan
bahasa yang rumit seperti puisi. Berdasarkan
pengertian ini slamet mulyana memberi batasan prosa sebagai lahirnya angan
dalam bentuk yang sederhana, dalam ucapan langsung.
Prosa dalam
pengertian kesusastraan juga disebut dengan fiksi, teks naratif, atau
wacana naratif. Istilah fiksi dalam hal ini berarti cerita rekaan atau cerita
khayalan.
Dengan demikian dapat disimpulakan bahwa prosa adalah
karangan bebas yang mengekpresikan pengalaman batin atau ungkapan jiwa
pengarang mengenai masalah kehidupan dalam bentuk dan isi yang harmonis dan
sederhana yang bersifat khayalan sehingga
menimbulkan kesan estetik.
Salah satu bentuk karya fiksi yaitu novel. Istilah novel
berasal dari bahasa italia yaitu novella yang secara harfiah berarti ”sebuah
barang baru yang kecil”, dan kemudian diartikan sebagai “cerita pendek dalam
bentuk prosa” Abram (dalam Nurgiantoro, 2010: 9).
Dalam bahasa latin kata novel berasala dari kata novellus
yang diturunkan pula dari kata noveis yang berarti baru. “dikatakan baru karena dibandingkan dengan
jenis-jenis lain, novel ini baru muncul kemudian” (Tarigan, 1984:164).
Menurut KBBI (2007:788) novel diartikan sebagai ”karangan
prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang
di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.”
Berdasarkan pendapat para ahli di atas maka dapat
disimpulkan bahwa novel merupakan suatu bentuk karya sastra fiksi yang
menyajikan cerita mengenai kehidupan para tokoh
secara detail dan imajinatif.
Berbicara tentang novel tidak akan terlepas dari istilah
roman. Padahal pada dasarnya istilah
novel itu hampir sama dengan istilah roman. Namun dalam buku kesusastraaan
Indonesia pengertian antara novel dan roman itu dibedakan pengertiannya. Hal ini terjadi karena bangsa Indonesia
pernah mendapatkan pendidikan Belanda.
Roman berasal dari kata “roman” yaitu cerita yang pada
mulanya ditulis dalam bahasa Romawi (Badudu, 1977: 41). Van Leeuwan, seperti
disitir H.B. Jasin dalam Tifa Penyair dan Daerahnya mengemukakan roman lebih
banyak melukiskan seluruh hidup pelaku-pelaku, mendalami sifat-sifat watak
mereka, dan melukiskan sekitar tempat mereka hidup. Kemudian Jassin,(1959:
36-44) mengemukakan bahwa roman itu melingkupi seluruh kehidupan, pelaku-pelakunya
dilukiskan dari kecil hingga matinya, dari ayunan hingga ke kubur.
Pendapat yang hampir senada tentang roman dikemukakan
oleh Mochtar Lubis (1960:30) bahwa roman merupakan suatu kronik penghidupan,
pelau-pelaku diceritakan mulai dengan waktu muda, mereka menjadi tua, mereka
bergerak dari satu scene ke scene yang lain, dari satu tempat ke tempat yang
lain.
Dari beberapa pendapat di atas,dapat disimpulkan bahwa
roman merupakan suatu cerita fiksi yang menceritakan kronik kehidupan tokoh
secara detail dan mendalam, dari kecil hingga tua, bahkan hingga tokoh itu
meninggal.
3.
Ciri-ciri Novel
Menurut
Burhan Nurgiyantoro (2010:9) pengertian “novel merupakan bentuk kesusatraan
baru. Novel (Inggris: novel) merupakan bentuk karya satra yang sekaligus
disebut dengan fiksi bahkan dalam perkembangannya yang kemudian, novel ia anggap
bersinonim dengan fiksi.”
Burhan
Nurgiyantoro (2010:10) menyebutkan ciri-ciri novel sebagai berikut:
a.
Ceritanya panjang
dan tidak mungkin habis dibaca dalam waktu sekali duduk.
b. Berjumlah
ratusan halaman.
c. Novel
dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak,
lebih rinci, lebih detail, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan
yang lebih kompleks.
Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka novel tidak
mungkin habis dalam sekali baca, sebab panjangnya sebuah novel yang berjumlah
hingga ratusan halaman. Hal itu pula yang dapat memberikan peluang bagi para
novelis untuk mengembangkan karakter tokoh dalam perjalanan waktu mulai dari
pertumbuhan tokoh sejak masih kecil hingga dewasa. Selain itu, novel juga
memungkinkan adanya penyajian isi secara panjang lebar tentang ruang dan waktu
yang dialami oleh manusia. Maka
tidak mengherankan jika manusia dan kehidupannya dapat menjadi permasalahan
yang menarik bagi para pengarang.
4.
Unsur-
unsur novel
a.
Unsur
Intrinsik Novel
Unsur-unsur
pembangun sebuah novel yang kemudian
secara bersama membentuk sebuah totalitas, secara garis besar dikelompokkan
menjadi dua yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik
.
Menurut Burhan Nurgiantoro (2010:
23) Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur
inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsure yang
secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsure intrinsik
sebuah novel adalah unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita.
Kepaduan antar unsur inilah yang membuat sebuah novel terwujud. Unsur intrinsik yang dimaksud meliputi tema, plot,
penokohan, setting atau latar. Sudut pandang, dan amanat.
1)
Tema
Jika kita membaca suatu cerita, sering terasa bahwa
pengarang tidak sekedar ingin menyampaikan sebuah cerita demi bercerita saja.
Ada sesuatu yang dibungkusnya dengan cerita; ada suatu konsep sentral yang
dikembangkan dalam cerita itu. alasan pengarang hendak menyajikan cerita ialah
hendak mengemukakan suatu gagasan. Gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasar
suatu karya sastra itu yang disebut dengan tema. Adanya tema membuat suatu
karya lebih penting dari pada sekedar bacaan hiburan.
Tema menurut Stanton (1965:20) dan Kenny (1966:88) adalah
makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Namun, ada banyak makna yang dikandung
dan ditawarkan oleh sebuah cerita (novel). Dengan demikian, untuk memahami dan
menemukan tema sebuah karya fiksi, ia haruslahdisimpulkan dari keseluruhan
cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu.
Tema menurut Stanton (1965:21) yaitu ”makna sebuah cerita
yang khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana.
Tema menurutnya, kurang lebih dapat bersinonim dengan ide utama dan tujuan
utama.”
Dengan demikian, tema dapat dipandang sebagai dasar
cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya novel.
Gagasan dasar umum inilah yang tentunya telah ditentukan sebelumnya oleh
pengarang yang dipergunakan untuk mengembangkan sebuah cerita.
Berdasarkan pendapat pakar di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa tema merupakan gaagasan utama dalam suatu cerita yang
digunakan sebagai dasar pengembangan sebuah cerita yang digarap oleh pengarang
agar ceritanya itu tidak keluar dari gagasan awal yang telah ditentukan
sebelumnya,
Menurut Burhan Nurgiantoro (2010:77) penggolongan tema
terbagi menjadi 2 yaitu tema tradisional dan tema nontradisional. Tema
tradisional yaitu tema yang menunjuk pada tema yang hanya “ itu-itu “ saja,
dalam arti ia telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan dalam berbagai
cerita, termasuk cerita lama.
Selain mengangkat hal-hal yang bersifat tradisional, tema
sebuah karya sastra mungkin juga mengangkat sesuatu yang tidak lazim , katakana
sesuatu yang bersifat nontradisional. Karena yang sifatnya nontradisional, tema
yang demikian, mungkin tidak sesuai dengan harapan pembaca, bersifat melawan
arus, mengejutkan, bahkan boleh jadi mengesalkan, mengecewakan, atau berbagai
reaksi afektif yang lainya.
Burhan Nurgiantoro (2010:82) juga membedakan tema menjadi
dua yaitu tema mayor dan tema minor. Tema mayor yaitu makna pokok cerita yang
menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu. sedangkan tema minor adalah
makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita, dapat
diidentifikasikan sebagai makna bagian atau makan atau tambahan.
Sedangkan menurur Shipley (dalam Burhan Nurgiantoro,
2010:80) membedakan tema karya sastra ke dalam beberapa bagian antara lain:
a) Tema
tingkat fisik
tema tingkat
fisik ini lebih banyak menyaran atau ditujukkan oleh banyaknya aktifitas fisik
dari pada kejiwaan.
b) Tema
tingkat organik
Tema tingkat
ini lebih banyak mempersoalkan masalah seksualitas, suatu aktivitas yang hanya
dapat dilakukan oleh makhluk hidup.
c) Tema
tingkat sosial
Manusia merupakan makhluk social,
oleh karena itu manusia tidak akan terlepas dari berbagai masalah, baik masalah
ekonomi, politik, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, propaganda, hubungan
atasan-bawahan, dan berbagai masalah sosial lainnya.
d) Tema
tingkat egoik
Selain sebagai makhluk sosial,
manusia juga sebagai makhluk individu. Dalam
kedudukannya sebagai makhluk individu, manusia juga memiliki banyak
permasalahan seperti masalah egoistitas,
martabat, harga diri, atau sifat dan sikap tertentu manusia lainnya, yang pada
umumnya lebih bersifat batin dan dirasakan oleh yang bersangkutan.
e) Tema
tingkat divine
Masalah
yang menonjol pada tingkat ini adalah masalah hubungan manusia dengan Sang
Pencipta, masalah religiusitas, atau berbagai masalah yang bersifat filosofis
lainnya seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan.
Panuti Sudjiman (1988:50) mengatakan bahwa tema yang
banyak dijumpai dalam karya sastra yang bersifat dedaktis adalah pertentangan
antara buruk dan baik.secara lebih konkrit tema pertentangan baik dan buruk ini
dinyataka dalam bentuk kebohongan melawan kejujuran.
2)
Tokoh
dan Penokohan
Dalam pembicaraan Fiksi , sering dipergunakan
istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau
karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang
hampir sama. Istilah-istilah tersebut sebenarnya tidak menyaran pada pengertian
yang persis sama. istilah “ tokoh “ menunjuk pada oraangnya, pelaku ceritanya.
Sedangkan watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para
tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk kualitas pribadi
seorang tokoh. Penokohan dan karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan
karakter dan perwatakan, yang menunjuk pada penempatan tertentu dalam sebuah
cerita. Atau seperti yang dikatakan oleh Jone (1968:33), penokohan adalah
pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah
cerita.
Penggunaan istilah “ karakter “ (character) sendiri dalam
berbagai literature bahasa inggris menyaran pada dua pengertian yang berbeda,
yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan dan sebagai sikap ketertarikan,
keinginan, emosi, dan prinsip-prinsip moral yang dimiliki tokoh tersebut
(Stanton, 1965: 17). Dengan demikian
character dapat diartikan sebagai “ pelaku cerita ” dan dapat pula berarti
“perwatakan”.
Menurut Grimes dalam (Sudjiman, 1988:16) ia tidak
menggunakan istilah tokoh melainkan participant, sedang Shahon Ahmad dalam
bukunya Gubahan Novel (1979) lebih menggunakan istilah watak, dan menurut
Sudjiman (1988 : 16) watak digunakan dengan arti
tabiat, sifat kepribadian.
Tokoh cerita (character), menurut Abram (1981:20) adalah
orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh
pembacaditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti
yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Dengan demikian istilah “penokohan” lebih luas
pengertiannya dari pada “tokoh ” dan “perwatakan” sebab ia mencakup masalah
siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan, dan
pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang
jelas kepada pembaca.
(a)
Macam-macam
Tokoh
Berdasarkan fungsi tokoh dalam sebuah cerita tokoh dapat
dibedakan menjadi tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh yang memegang peranan
pimpinan disebut tokoh utama atau protagonist (Sudjiman, 1988:16).
Protagonist selalu menjadi tokoh sentral dalam cerita. Ia
bahkan menjadi pusat sorotan dalam kisahan .
Protagonis dapat juga ditentukan dengan memperhatikan
hubungan antar tokoh. Protagonist berhubungan dengan tokoh-tokoh yang lain,
sedangkan tokoh-tokoh itu sendiri tidak semua berhubungan dengan yang lain.
Adapun tokoh yang merupakan penentang utama dari protagonis disebut antagonis
atau tokoh lawan . antagonis termasuk tokoh sentral.
Adapun yang dimaksud dengan tokoh bawahan adalah tokoh
yang tidak sentral kedudukannya di dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat
diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama (Grimes, 1975:43-44).
Menurut Panuti Sudjiman (1986:6) dalam suatu cerita
rekaan terdapat tokohan bawahan yang menjadi kepercayaan protagonis. Tokoh
semacam ini disebut tokoh andalan.
Berdasarkan cara menampilkan tokoh di dalam cerita dapat
dibedakan atas tokoh datar dan tokoh kuat. Istilah lain untuk tokoh datar ialah
tokoh sederhana, Shahon Ahmad (1979:66) menggunakan sebutan tokoh pipih. Tokoh
datar bersifat statis, di dalam perkembangan lakuan, watak tokoh itu sedikit
sekali berubah, bahkan ada kalanya tidak berubaah sama sekali (1986:75).
Termasuk dalam tokoh datar ini tokoh yang stereotip,
misalnya tokoh ibu tiri yang selalu dilukiskan berwatak kejam. Namun, tidak
berarti hanya tokoh stereotip yang dapat dogolongan tokoh datar, melainkan juga
tokoh yang sifat atau segi wataknya yang dominan saja disoroti. Tokoh datar
banyak digunakan dalam cerita wayang dan cerita-cerita didaktis.
Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh
dalam sebuah cerita ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan
teru-menerus sehingga terasa mendoninasi sebagian besar cerita dan sebaliknya ,
ada tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita , dan
itupun mungkin dalam porsi penceritaan yang relative pendek. Tokoh yang disebut
pertama adalah tokoh utama cerita. Dan tokoh yang kedua adalah tokoh tambahan.
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang
bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan. Dipihak lain,
pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit. Tidak
dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama
secara langsung maupun tidak langsung.
Menurut Altenberd dan Lewis (dalam Nurgiaantoro,
2010:178) Jika dilihat dari fungsi penampilan tokoh, maka tokoh dapat dibedakan
menjadi dua yaitu tokoh protagonist dan tokoh antagonis. Tokoh pritagonis yaitu
tokoh yang kita kagumi, yang salah satu jenisnya secara popular disebut hero,
tokoh yang merupakan pengejawatan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi
kita. Sedangkan tokoh antagonis adlah tokoh yang menyebabkan konflik.
Ditinjau dari segi perwatakannya, tokoh cerita juga dapat
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu tokoh sederhana dan tokoh kompleksatau tokoh
bula. Tokoh sederhana dalam bentuknya
yang asli adalah tokoh yang memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat
watak yang tertentu pula. Tokoh
sederhana dapat saja melakukan berbagai tindakan, namun semua tindakannya itu
akan dapat dikembalikan pada perwatakan yang dimiliki dan yang telah
diformulasikan. Dengan ddemikian, pembaca akan dengan mudah memahami watak dan
tingkah laku tokoh sederhana. Tokoh bulat atau kompleks adalah tokoh yang
memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, kepribadiannya
dan jati dirinya. Ia dapat saja memiliki watak tertentuyang dapat
diformulasikan, namun iapun dapat pula menampilkan watak dan tingkah laku yang
bermacam-macam. Oleh karena itu, tokoh kompleks lebih sulit dipahami darp pada
tokoh sederhana.
Alternberg dan Lewis (dalam Nurgiantoro, 2010:188)
membedakan tokoh ke dalam dua jenis yaitu tokoh statis dan tokoh berkembang.
Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami
perubahan atau perkembangan perwatakan
sebagai akaibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tokoh berkembang yaitu tokoh ccerita yang
mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan perkembangan peristiwa
dan plot yang dikisahkan. Dalam penokohan yang bersifat statis dikenal dengan
adanya tokoh hitam (dikonotasikan sebagai tokoh jahat) dan putih (dikonotasikan
sebagai tokoh baik).
(b)
Teknik
Pelukisan Tokoh
Tokoh-tokoh cerita sebagaimana dikemukakan di atas tidak
serta merta hadir kepada pembaca. Mereka memerlukan sarana yang memungkinkan
kehadirannya. Sebagi bagian dari karya fiksi yang bersifat menyeluruh dan padu,
dan mempunyai tujuan arstistik, kehadiran dan penghadiran tokoh-tokoh cerita
haruslah dipertimbangkan dan tidak lepas dari tujuan tersebut. Masalah penokohan dalam sebuah karya tidak
semata-mata hanya berhubungan dengan masalah pemilihan jenis dan perwatakan
para tokoh cerita saja, melainkan juga bagaimana melukiskan kehadiran dan
penghadirannya secara tepat sehingga mampu menciptakan dan mendukung tujuan
artistik karya sastra yang bersangkutan.
Secara garis besar teknik pelukisan tokoh dalam suatu
karya dapat dibedakan menjadi dua cara yaitu ekspositori, dan teknik dramatik
(Alternberg dan Lewis, 1966:56).
1) Teknik
ekpositori
Teknik ini
sering disebut dengan teknik analitis. Pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan
memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Tokoh cerita hadir dan dihadirkan oleh
pengarang kehadapan pembaca secara tidak berbeli-belit, melainkan begitu saja
dan langsung dissertai deskripsi kediriannya, yang mungkin berupa sikap, sifat,
watak, tingkah laku, atau bahkan juga cirri fisiknya.
2) Teknik
dramatik
Penampilan tokoh
cerita dalam teknik dramatic, artinya mirip dengan yang ditampilakan pada
drama, dilakukan secar tidak langsung. Artinya, pengarang tidak mendeskripsikan
secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh. Pengarang membiarkan tokoh cerita untuk
menunjukkan kediriannya sendiri melaluiberbagai aktivitas yang dilakukan, baik
secara verbal maupun non verbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juag
melalui peristiwa yang terjadi.
3)
Alur
(Plot)
Menurut Sayuti
(dalam Wiyatmi, 2009:36) “alur atau plot adalah rangkaian peristiwa yang
disusun berdasarkan hubungan kausalitas. Secara garis besar alur dibagi menjadi tiga bagian, yaitu awal, tengah,
akhir.” “Alur merupakan perpaduan unsur-unsur yang membangun cerita sehingga
merupakan kerangka utama cerita” (Semi, 1988:43). Selanjutnya, Stanton (dalam
Burhan Nurgiyantoro, 2010:113) “menyatakan bahwa plot adalah cerita yang
berisikan urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan sebab
akibat, peristiwa yang satu disebabkan
atau menyebabkan terjadinya peristiwa lain.”
Berdasarkan
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa alur atau plot adalah urutan peristiwa
atau kejadian dalam sebuah cerita yang saling berkesinambungan antara peristiwa
yang satu dengan yang lainnya.
Plot
dalam sebuah karya sastra tidak selalu menyajikan cerita berdasarkan pada
urutan waktu cara secara kronologis.
Akan tetapi, terkadang akhir sebuah
cerita terletak di awal atau di tengah cerita. Jadi, tidak selalu awal sebuah
cerita merupakan awal sebuah cerita, bisa jadi terletak dimanapun tergantung
pada kemauan pengarang.
Burhan
Nurgiyantoro, (2010:142) menyatakan secara teoritis tahapan sebuah plot sebagai
berikut :
a.
Tahap awal, tahap
ini sering disebut tahap perkenalan. Pada umumnya berisi sejumlah informasi penting
yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap berikutnya,
misalnya berupa penunjukkan atau pengenalan latar seperti nama tempat, suasana
alam, dan waktu kejadian (pendeskripsian setting). Pada tahap ini tokoh
diperkenalkan, baik desskripsi fifik atau sedikit disinggung perwatakannya.
Jadi, fungsi utama tahap awal yaituuntuk mendeskripsikan latar dan penokohan.
b.
Tahap tengah,
disebut juga tahap pertikaian atau tahap komplikasi. Konflik-konflik yang sudah
mulai muncul di bagian awal cerita semakin meningkat.
c. Tahap akhir, disebut juga tahap peleraian, menampilkan
adegan-adegan tertentu sebagai akibat klimaks, tahap ini disebut dengan
denaoment atau penyelesaian. Tahap ini berisi bagaimana akhir sebuah
cerita, penentuan nasib seorang tokoh.
4)
Latar
Atau Setting
Latar
atau setting sering juga disebut juga sebagi landass tumpu, menyaran pada
pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan social tempat terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan, Abram (dalam Nurgiantoro, 2010 : 216).
Menurut
sudjiman (1988:44) menyatakan bahwa segala keterangan, petunjuk, pengacuan,
yang berkaitan dengan waktu, ruang dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu
karya sastra membangun latar cerita.
Burhan
Nurgiantoro (2010: 227) mengemukakan bahwa latar terdiri dari tiga unsur pokok
yang meliputi latar tempat, waktu dan sosial. Latar tempat menyaran pada lokasi
terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu
berhubungan dengan masalah “ kapan “ terjadinya peristiwa yang diceritakan
dalam sebuah karya fiksi. Latar sosial yaitu menyaran pada hal-hal yang
berhubungan dengan prilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
Berbeda
dengan pendapat di atas, maka Hudson (dalam Panuti Sudjiman, 1988: 44)
membedakan latar menjadi dua yaitu latar sosial dan latar fisik atau material.
Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial
dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan lain-lain yang melatari
peristiwa. Adapun yang dimaksud dengan latar fisik atau material adalah tempat
dalam wujud fisiknya, yaitu bangunan, daerah, dan sebagainya.
Berdasarkan
uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa latar itu ialah tempat terjadinya
suatu peristiwa dalam suatu karya sastra yang mencakup latar fisik, social, dan
waktu.
5) Sudut
Pandang atau Pusat Pengisahan
“Sudut
pandang dalam karya fiksi (novel) mempersoalkan siapa yang menceritakan atau
dari posisi mana peristiwa atau tindakan itu dilihat”. (Burhan Nurgiyantoro,
2010:246)
Menurut
Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2010:248) mengatakan sudut pandang merupakan
cara atau pandangan yang dapat digunakan pengarang sebagai sarana untuk
menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita
dalam sebuah karya fiksi kepada pembacanya.
Sedangkan
menurut Tarigan (1986:246) “Sudut pandang adalah hubungan yang terdapat antara sang
pengarang dengan alam fiktif ceritanya ataupun antara sang pengarang
dengan pikiran dan perasaan pembacanya.” Menurut Semi (1988:57) “mengatakan
pusat pengisahan adalah posisi dan penempatan diri pengarang dalam ceritanya,
atau dari mana ia melihat peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam ceritanya.”
Dari
beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa sudut pandang atau pusat
pengisahan yang ada dalam sebuah cerita terdapat hubungan antara pengarang
dengan alam fiktif ceritanya sehingga dapat diketahui posisi pengarang di dalam
cerita.
6)
Amanat
Karya sastra yang mengandung tema sesungguhnya merupakan
suatu penafsiran atau pemikiran tentang kehidupan. Permasalahan yang terkandung
di dalam tema ataau topik cerita ada kalanya diselesaikan secara positif
ataupun secara negatif. Dari karya sastra ada kalanya dapat diangkat suatu
ajaran moral, atau pesan yang ingin disampaikan pengarang. Hal itulah yang
disebut dengan amanat.
Amanat terdapat pada
sebuah karya sastra secara implicit ataupun secara eksplisit. Implicit
jika jalan keluar atau ajaran moral itu disiratkan dalam tingkah laku tokoh
menjelang akhir cerita dan eksplisit, jika pengarang pada tengah atau akhir
cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasehat, anjuran, larangan, dan
sebagainya. (Sudjiman,
1988: 57-58).
b.
Unsur
ekstrinsik novel
Menurut Burhan
Nurgiyantoro (2009:23) unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar
karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau
system organisme karya sastra. Sedangkan
menurut Atar Semi (1998:35) struktur luar (ekstrinsik) adalah segala unsur yang
berada di luar suatu karya tersebut, misalnya faktor sosial, ekonomi, politik,
agama dan tata nilai yangdianut masyarakat.
Adapun
unsur-unsur ekstrinsik tersebut antara lain adalah:
1) Nilai
Sosial
Nilai
sosial adalah nilai-nilai yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat. Contohnya
adat yang hidup dalam kelompok masyarakat tertentu belum tepat untuk diterapkan
di masyarakat kita.
2) Nilai
Kejiwaan
Nilai kejiwaan
adalah nilai-nilai kebatinan atau kerohanian. Contohnya mendalami jiwa orang
lain adalah penting, untuk dapat bergaul dengan masyarakat secara baik.
3) Nilai
Moral
Nilai moral
adalah nilai-nilai mengenai ajaran baik, buruk yang diterima umum mengenai
perbuatan, sikap, kejiwaan. Contoh mengenai akhlak, budi pekerti, susila, dan
lain-lain.
4) Nilai
Ekonomi
Nilai ekonomi
adalah nilai-nilai yang mementingkan khayal atau fantasi untuk menunjukkan
keindahan dan kesempurnaan meskipun tidak sesuai dengan kenyataan. Contohnya
sayang suatu pekerjaan tidak atau kurang diperjuangkan sungguh-sungguh,
sehingga belum tampak hasilnya ditinggalkan pergi.
5) Nilai
Politik atau Perjuangan
Nilaipolitik
atau perjuangan adalah nilai-nilai tentang salah satu wujud interaksi social,
termasuk perssaingan, pelanggaran dan konflik. Contohnya persaingan antara
kelas sosial yang tinggi dengan kelas sosial rendah.
6) Nilai
Filosofis
Nilai
filosofi adalah nilai yang berdasarkan pengetahuan dan penyelidikan dengan akal
budi mengenai hakikatsegala yang ada sebab, asal, dan hukumnya. Contohnya
kesengsaraan itu yang menjadikan orang putus asa dan mereka celaka.
7) Nilai
Didaktis
Nilai
didaktis adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan perubahan sikap dan tingkah
laku kearah yang lebih baik.
8) Nilai
Budaya
Nilai
budaya adalah nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat,
lingkungan organisasi, lingkungan masyarakat yang mengakar pada suatu
kebiasaan.
5.
ETIKA
JAWA
Ditinjau dari segi etimologis, etika berasal dari bahasa
Yunani, ethos yang berarti watak
kesusilaan atau watak. Menurut Ki Hajar
Dewantara (dalam Zaairul Haq, 2011:17) etika adalah ”ilmu yang mempelajari
semua kebaikan (dan keburukan) di dalam hidup manusia, teristimewa mengenai
gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan
sampai mengenai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan.”
Burhannudin Salam
(dalam Zaairul Haq, 2011:17 ), menyebutkan bahwa etika adalah sebuah
cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan
perilaku manusia dalam hidupnya. Etika adalah sebuah refleksi kritis dan rasional
mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujudnya dalam sikap dan
pola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok.
Berdasarkan kedua pendapat di atas, maka disimpulkan
bahwa etika merupakan ilmu yang mempelajari semua kebaikan dan keburukan di
dalam hidup manusia yang ditentukan oleh nilai dan norma moral dan terwujud
dalam suatu sikap atau perilaku manusia.
Etika sering kali dicampuradukkan dengan etiket. Pada dasarnya, etika dapat berarti
moral. Sedangkan etiket berarti sopan santun. Menurut K. Betrenz (dalam Zaairul
Haq, 2011:19) terdapat perbedaan yang sangat penting antara etika dan
etiket. Setidaknya
ada empat macam perbedaan sebagai berikut :
1) Etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan
manusia. Artinya etikat menunjukkan cara yang tepat, cara yang diharapkan serta
ditentukan dalam suatu kalangan tertentu.
Sedangkan etika tidak terbatas pada cara yang dilakukannya suatu
perbuatan; etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri. Etika
menyangkut masalah apakah suatu perbuatan boleh atau tidak.
2)
Etiket
hanya berlaku dalam pergaulan. Bila tidak ada orang lain hadir atau tidak ada
saksi mata, maka etiket tidak berlaku. Etika selalu berlaku meskipun tidak ada
saksi meta. Etika tidak tergantung pada hadir tidaknya orang lain. Contoh
larangan untuk mencuri tetap berlaku, larangan hubungan suami istri yang belum
sah selalu berlaku, barang yang dipinjam harus dikembalikan meskipun pemiliknya
mungkin sudah lupa.
3)
Etiket
bersifat relatif, yang dianggap tidak sopan dalm suatu kebudayaan, bisa saja
dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Contoh yang jelas adalah makan
menggunakan tangan atau bersendawa saat makan. Lain halnya dengan etika. Etika
jauh lebih absolute. “Jangan mencuri”, “Jangan berbohong”, “Jangan membunuh”,
merupakan prinsip-prinsip etika yang tidak bisa ditawar-tawar atau mudah diberi dispensasi.
Etika bermaksud membantu manusia untuk bertindak bebas
dan dapat dipertanggungjawabkan, karena setiap tindakan selalu lahir dari
keputusan pribadi yang bebas dengan selalu bersedia untuk
mempertanggungjawabkan tindakannya itu, karena memang ada alasan-alasan dan
pertimbangan-pertimbangan yang kuat mengapa ia bertindak begitu. Etika memberi
manusia orientasi bagaimana ia menjalankan hidupnya melalui rangkaian tindakan
sehari-hari. Ini berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan
bertindak secara tepat dalam menjalani hidup. Etika pada akhirya membantu kita
untuk mengambil keputuskan tentang tindakan apa yang patut dilakukan. Oleh
karena itu, etika merupakan bagian dari wujud pokok budaya. Pertama, yaitu gagasan atau sistem ide.
Menangkut masalah budaya atau kebudayaan di sini, bukan berarti budaya dalam
arti sempit, yang hanya bergerak dalam tataran seni seperti seni tari, seni
rupa, seni pahat, seni suara, atau pun seni drama. Namun, menyangkut tentang
hal ikhwal terkait dengan hajat hidup manusia sebagai makhluk sosial.
Masyarakat Jawa sebagai sebagai sebuah sistem memiliki
konsep etika sendiri yaitu etika Jawa. Pada hakikatnya etika Jawa adalah
norma-norma dan nilai-nilai yang berhubungan dengan baik dan buruk, serta hak
dan kewajiban yang dimiliki, ditaati, dan dijadikan pedoman dan penilaian oleh
masyarakat. Jadi, etika Jawa berlaku
untuk seluruh anggota masyarakat Jawa baik itu dari kalangan atas (Wong Gedhe) atau kalangan bawah (Wong Cilik).
a) Etika
Wong Gedhe
Wong
gedhe adalah orang yang masuk dalam kelas kalangan atas. Meskipun wong gedhe
ini masuk dalam kalangan atas namun tetap ada etika yang harus dijalankan.
Seperti dalam masyarakkat Jawa, pihak atasan (wong gedhe) harus menaati etika
antara lain, selalu bersikap prihatin, mengutamakan laku, mencegah hawa nafsu
dengan bertapa, dan selalu menyenangkan sesama hidup. dari pesan ini terkandung makna yang simbolik
bahwa seorang pimpinan harus menjadi suri tauladan. Pimpinan harus ing ngarso sung tulodha bagi bawahannya.
Pimpinan harus membudayakan etika saling pengertian dengan bawahan, agar bot-repote Negara saling bisa diatasi. Ini semua akan terwujud
jika terjadi manunggaling kawula –Gusti.
\Selain
itu, pimpinan itu harus mempunyai watak halus budi, melindungi (ngemong), dan
mengetahui kehendak bawahan. Contohnya yaitu seorang raja yang harus mengetahui
untung dan celaka atau nasib buruk rakyatnya. Bila raja menjatuhkan hukuman,
maka hukuman harus sepadan dengan kesalahan dan tidak memandang kedudukan
terhukum. Dari contoh tersebut maka
dapat diketahui bahwa seorang raja harus menggambarkan sikar dan prilaku raja
sebagai seorang penguasa.
b) Etika
Wong Cilik
Dalam kaitannya
hubungan sosial antara bawahan (abdi) kepada raja (wong geddhe), memiliki etika yang khas. Jika bawahan berhasil
menjalankan etika termaksud akan mendapatkan kemuliaan hidup. etika tersebut
meliputibawahan harus menjalankan: (1) mengikuti wiradat (upaya sendiri),
mengikuti ombyaking kahanan (perkembangan zaman) atau situasi dan kondisi, (2) rajin bekerja, (3) membantu menjaga
ketentraman negara, (4) menjaga agar negar tidak rugi, (5) ikut menjaga negara
jika dalam bahaya, (6) jangan sampai ikhlas jika negara dirusak oleh orang
lain. Seorang yang akan mengabdi,
agar selamat sebaikanya jangan mengikuti kata-kata lama yang tidak baik, dengan
teman agar jangan angkuh, jangan enggan bekerja, dan jangan mudah sakit hati
jika diperingatkan oleh atasan.
Calon
abdi agar dalam mencapai cita-cita dilandasi laku, yaitu dengan sembah raga, cipta, jiwa, dan rasa. Semabah raga adalah laku yang sering disebut sarengat, dalam melaksanakan harus
dengan jalan yang benar, dengan tingkatan-tingkatan yang tepat, tekun, dan
ajeg. Sembah cipta disebut tarekat, yaitu menyembah kepada Tuhan.
Penyuciannya dengan membersihkan hati dengan cara: tata (teratur), titi
(teliti), ngati-ati (berhati-hati), tetep
(ajeg), telaten (rajin), dan atul (terbiasa). Sembah jiwa merupakan laku batin. Ini inti dari sembah.
Penyuciannya harus awas (waspada) dan
emut (ingat). Sembah rasa yaitu laku yang dapat mencapai dengan kesentosaan
batin. Dengan sembah tersebut abdi akan menjadi yang sejati.
Etika
mengabdi kepada raja (atasan), jika ditaati akan menyebabkan seorang abdi mudah
naik pangkat. Hal ini seperti diterakan dalam Serat Panitisastra, “kalawang wong wus limpat wredining, sastra iku
ngresepaken manah, ing raja glispangundange.”
Artinya, apabila seorang bawahan tahu sastra (etika) akan dianggap
memiliki kelebihan di hadapan raja. Bawahan tersebut akan diangkat
kedudukannya. Itulah sebabnya, caraduduk, cara kerja, keberanian, dan segala
kepandaiannya akan akan dipertimbangkan oleh raja. Itulah sebabnya, apapun yang
menjadi aturan raja hendaknya dditaati karena raja adalah wakil Tuhan. Bawahan
juga harus bersikap jujur dihadapan raja.
c) Etika
Anak dan Istri
Orang
tua manjadi pimpinan bagi anak-anaknya, karena itu pesan-pesan orang tua bagi
anak sangat diperlukan. Dalam kaitan ini, orang tua memiliki falsafah sebagai sembur-sembur adas, siram-siram mbayem. Maksudnya, menjadi penyejuk anak-anaknya,
karena petuah dan petunjuk yang mereka berikan. Pesan-pesan itu banyak terkait
dengan masalah-masalah etika kehidupan dan biasanya disampekan dalam bentuk wawelar (larangan), agar hidup
anak-anaknya selamat. Diantara pesan itu adalah
jangan sampai terkecoh, jangan malu, jangan berbuat rusuh, jangan
berbuat jahat terhadap sesama, dan jangan membuat marah orang tua. Selain itu,
orang tua juga memberi pesan kepada anknya agar menganut agama dengan baik,
segera melaksanakan pernikahan untuk menyambung keturunan. Orang tua mempunyai
kewajiban untuk mendewasakan anak. Kewajiban ini sudah menjadi tugas naluriah
dan Illahiah. Karena itu, ia bertugas untuk memberikan bekal etika dan moral
kepada anak agar hidupnay kelak selamat.
Ada
beberapa hala etika bagi seorang wanita, baik dalma hubungan dengan masyarakat
secara umum maupun dalam keluarga. Dalam hubungannya sengan masyarakat secara
umum, seorang wanita yang baik harus dapat menjaga etika, yaitu berhati-hati,
menjaga kehormatan, segala perilaku harus dipikirkan dan diarahkan ke hal yang
baik. Hubungannya dengan suami, seorang wanita (istri) hendaknya
rajin,menghindari perilaku cacat, jangan menurutkan keinginan pribadi, harus
sesuai dengan kondisidan keperluan (harus empan papan), dan harus
mempertimbangkan berbagai hal.
Di
samping itu juga diajarkan bahwa ada lima syarat istri yang baik kepada suami
yaitu takut, kasih, percaya, menurut, dan berjuang demi suami. Takut artinya
tidak berani membantah. Kasih artinya hambar menanggapi pria lain. Percaya (ngimanaken) artinya selalu ingat dan
setia pada ajaran dan larangannya. Menurut yaitu melaksanakan semua perintah
baik berat maupun ringan. Berjuang (labuh)
artinya ikhlas hidupnya demi suami. Istri sebaiknya takut kepada Allah dan
takut kepada suami karenawanita itu tergantung pada rahmat keduanya yaitu dunia
dan akhirat. Dunia itu rahmat dari suami dan akhirat itu rahmat dari Allah.
Seorang istri yang setia kepada suami digambarkan sebagi cinta sehidup-semati,
yang diwujudkan dengan ikut merasakan apa yang dirasakan suaminya.
6.
MORAL
JAWA
Moral berasal
dari bahasa latin mores, yaitu jamak
dari kata mos yang berarti adat kebiasaan. Menurut
Abbudin Natta (dalam Zaairul Haq, 2011:21) moral adalah ”istilah yang digunakan
untuk memberikan batasan pada aktivitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik
atau buruk, benar atau salah.” Jika dalam kehidupan sehari-hari dikatakan bahwa
orang tersebut bermoral, maka yang dimaksudkan adalah bahwa orang tersebut
tingkah lakunya baik. Peorwadarminta (dalam Zaairul Haq, 2011:21) menegaskan
bahwa: moral mempunya arti ajaran tentang baik buruk perbuatan, kelakuan,
akhlak, dan kewajiban. Di samping itu, moral juga berarti kesusilaan yang
terbentuk dari kata sila berasal dari bahasa Sansekerta dan
mempunyai arti berbagai ragam. Sedangkan Sunoto (dalam Zaairul Haq, 2011:21) mengatakan bahwa ”moral berasal dari kata mores yang berarti adat istiadat, ialah
sesuatu yang di luar diri manusia dan memberi pengaruh ke dalam.”
Berdasarkan kedua pendapat para ahli di atas, dapat
disimpulkan bahwa moral merupakan kebiasaan
mengenai baik buruk suatu perbuatan atau tingkah laku manusia dalam suatu kehidupan.
Ajaran moral
memuat pandangan tentang nilai dan norma moral yang terdapat diantara kelompok
manusia. Adapun nilai moral adalah kebaikan manusia sebagai manusia. Norma
moral adalah tentang bagaimana manusia harus hidup supaya menjadi baik sebagai
manusia.
Zaairul Haq (2011:17) menegaskan bahwa persoalan moral
dalam masyarakat Jawa tidak bisa dianggap enteng. Masyarakat Jawa seringkali
menyebut ajaran moral dengan istilah pepali, unggah-ungguh, suba sita, tata karma,
tata susila, sopan santun, budi pekerti, wulang wuruk, pranatan, pituduh,
pitutur, wejangan, wulangan, wursita, wewarah, wedharan, duga prayoga, wewelar,
dan pitungkas. Orang Jawa akan berhasil hidupnya dalam bermasyarakat
kalau dapat empan papan, kalau dapat
menempatkan diri dalam hal unggah-ungguhing
basa, kasar alusing rasa, dan jugar
genturing tapa.
Manusia pada umumnya memiliki kesadaran moral. Mereka
diberi kelebihan untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Akan
tetapi, seiring berjalannya waktu, terdapat orang-orang yang kemudian terbawa
oleh arus hawaa nafsunya sendiri. Oleh karena itu, orang Jawa dahulu memberikan
pengajaran kepada keturunannya perihal menyikapi adanya nafsu dalam diri
manusia.
Dalam masyarakat Jawa, manusia bisa dikatakan sudah
bermoral apabila telah memegang teguh pancasila
atau lima pedoman yang harus dimiliki seseorang agar menjadi manusia
terpuji. Kelima pedoman tersebut adalah sebagai
berikut :
1.
Rila,
merupakan bentuk keikhlasan hati sewaktu
menyerahkan segala miliknya, kekuasannya, dan seluruh hasil karyanya kepada
Tuhan, dengan ikhlas, dengan mengingat bahwa semua itu ada di dalam kekuasaan
Tuhan dan tidak sepatutnya apabila berharap akan mendapatkan hasil dari
perbuatannya, apalagi sampai bersedih atau menggerutu terhadap semua
penderitaan (kesengsaraan, tuduhan, fitnah, kehilangan pangkat, kekayaan, dan
keluarga). Contoh Sikap rila ini jelas terlihat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
Sikap rila itu digambarkan pada tokoh
istri yang merelakan suaminya menjamah seorang ronggeng, mereka tidak
keberatan, namun malah sebaliknya mereka akan bangga terhadap apa yang telah
dilakukan oleh suaminya. Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut :
Krtika menonton Srintil menari
aku pernah mendengar percakapan perempuan-perempuan yang berdiri di tepi arena.
Percakapan mereka akan membuat para suaminya merasa tidak menyesal telah hidup
dalam kungkungan rumah tangga.
“Nanti
kalau Srintil sudah dibenarkan bertayub, suamiku menjadi laki-laki pertama yang
menjamahnya,” kata seorang perempuan.
“Jangan
besar cakap,” kata yang lain. “Pilihan seorang ronggeng akan jatuh pertama pada
lelaki yang memberinya uang paling banyak. Dalam hal suamiku tak bakal
dikalahkan.”
“Tetapi
suamimu sudah pikun. Baru satu babak menari pinggangnya akan terkena encok.”
“Aku
yang lebih tahu tenaga suamiku, tahu?”
“Tetapi
jangan sombong dulu. Aku bisa menjual kambing agar suamiku mempunyai cukup
uang. Aku tetap yakin, suamiku akan menjadi lelaki pertama yang mencium
Srintil.”
“Tunggulah
sampai saatnya tiba. Suami siapa yang bakal menang suamiku atau suamimu.”
Demikian. Seorang ronggeng di
lingkungan pentas tidak akan menjadi bahan percemburuan bagi perempuan Dukuh
Paruk. Malah sebaliknya. Makin lama seorang suami bertayub dengan ronggeng,
makin bangga pula istrinya. Perempuan semacam itu puas karena diketahui umum
bahwa suaminya seorang lelaki jantan, baik dalam arti uangnya maupun berahinya.
((Ronggeng Dukuh Paruk, 2004:38)
2.
Nrima,
berarti merasa puas dengan nasib dan
kewajiban yang telah ada, tidak memberontak, tetapi mengucapkan terima kasih. Nrima, banyak pengaruhnya terhadap ketentraman hati, jadi bukan
orang yang malas bekerja, tetapi yang merasa puas dengan nassibnya. Adapun yang
sudah terpegang di tangannya, dikerjakan dengan senag hati. Nrima berarti tidak menginginkan milik
orang lain serta tidak iri hati terhadap kebahagiaan orang lain, maka dari itu
orang yang nrima dapat dikatakan
sebagai orang yang bersyukur kepada Tuhan. Contoh Sikap nrimo ini jelas terlihat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Sikap itu ditunjukkan
melalui tokoh Srintil yang dengan ikhlas menerima semua kegetiran yang dialami
dalam hidupnya. Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut:
Srintil
masih terlalu muda untuk memahami keretakan-keretakan yang terjadi dalam
dirinya sendiri. Pada mulanya srintil merasa sedih dan putus asa. Kemudian
seperti yang diajarkan oleh Dukuh Paruk, Srintil menganggap semua kegetiran
yang dialaminya merupakan garis hidup yang harus dilaluinya. Maka pada dasarnya
Srintil pasrah dan nrimo saja. Dalam
hidup ini orang harus nrimo pandu; ikhlas
menerima jatah, jatah yang manis atau jatah yang getir. (Ronggeng Dukuh Paruk,
2004:140)
3.
Temen,
berarti menepati janji/ ucapannya sendiri, baik yang sudah diucapkan maupun
yang diucapkan dalam hati. Orang yang tidak menepati kata hatinya berarti
menipu dirinya sendiri, sedangkan kata hati yang telah diucapkan padahal tidak
ditepati, itu berarti kebohongan terhadap orang lain. Sikap temen ini terlihat
pada tokoh srintil pada novel Ronggeng
Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Tokoh Srintil ini mempunyai janji pada
Goder untuk membelikan balon dan es dan Srintilpun akhirnya menepati janjinya
pada Goder. Hal tersebut tergambar dalam kutipan berikut :
Keluar dari
balai desa Srintil berjalan cepat. Kalau bukan karena Goder yang menagih janji,
maka Srintil pasti akan langsung pulang. Tetapi karena Goder minta balon dan es
maka Srintil mampir ke sebuah warung. Dari sana Srintil meneruskan perjalanan.
Tiba-tiba saja dia kurang bernafsu melayani Goder yang berbicara macam-macam.
(Ronggeng Dukuh Paruk, 2004:327)
4.
Sabar,
menunjukkan ketiadaan hasrat, ketiadaan ketaksabaran, ketiadaan nafsu yang
bergejolak. Sabar merupakan tingkah laku yang terbaik, yang harus dimiliki oleh
setiap orang. Semua agama menceritakan bahwa Tuhan mengasihi kepada orang yang
sabar. Sabar itu berarti kuat terhadap segala cobaan, tetapi bukan berarti puas
putus asa, melainkan orang yang kuat imannya, luas pengetahuannya, tidak sempit
pandangannya. Kesabaran diumpamakan
sebagai minuman jamu yang pahit sekali rasanya, yang hanya kuat diminum oleh
orang yang kuat pribadinya, namun jamu itu tersesbut menyehatkan kesedihan dan
penyakit. Tokoh dalam novel yang menggambarkan sikap sabar yaitu tokoh Lasi
dalam novel Bekisar Merah karya Ahmad
Tohari. Dalam novel itu diceritakan bahwa tokoh Lasi sabar menunggu kepulangan
suaminya Darsa dari menderes nira. Hal
tersebut tergambar dalam kutipan berikut:
Api di
tungku sudah menyala. Tapi Lasi masih meniup-niupnya agar yakin api tidak
kembali padam. Pipi Lasi yang putih jadi merona karenapanas dari tungku. Ada
titik pijar memercik. Dan Lasi menegakkan kepala ketika terdengar bunyi ”hung”.
Wajahnya yang semula tegang, mencair.tetapi hanya sesaat kerena yang baru
didengarnya bukan ”hung” suaminya. Tak
salah lagi. Lasi mengenal aba-aba dari suaminya seperti ia mengakrabi semua
perkakas pengolahan nira. Lasi kembali jongkok di depan tungku. Wah kawah yang
masih kosong sudah panas, sudah saatnya nira dituangkan. Tetapi Darsa belum
juga muncul. (Bekisar Merah, 1993: 18)
5.
Budi
luhur, yaitu apabila manusia selalu berusaha untuk menjalankan hidupnya dengan
segala tabiat dan watak serta sifat-sifat yang dimiliki oleh Tuhan Yang Maha
Mulia, seperti kasih sayang kepada sesamanya, suci, adil, dan tidak
membeda-bedakan tingkat derajat : besar, kecil, kaya, dan miskin semua dianggap
sama sebagai saudara sendiri, tanpa menghilangkan tat karma dan tata susilanya.
Semua hanya dapat dilaksanakan apabila kekempat sifat di atas telah
dikuasainya. Sikap budi luhur ini jelas terlihat pada tokoh keluarga Haji Bakir dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari. Dalam novel itu keluarga Haji Bakir
bersikap baik hati. Ia tidak memandang status sosial. Meskipun Karman tergolong
orang dari kalangan bawah tapi dia tetap memperlakukan Karman dengan baik. Hal tersebut tergambar dlaam kutipan berikut:
Tiga tahun
berjalan. Setelah adik Karman bisa bermain sendiri, Bu Haji Bakir menemui Bu
Mantri. Mereka ingin membicarakan dan mencari kesepakatan tentang Karman.
Terjadi persetujuan antara kedua perempuan itu: Karman yang saat itu sudah
mencapai usia tiga belas tahun akan tinggal bersama keluarga Haji Bakir. Meski
belum dewasa, Karman akan dianggap bekerja penuh pada keluarga kaya itu. Pangan
dan pakaian sehari-hari Karman ditanggung, dan sehabis panen Karman berhak
menerimantiga kwintal padi sebagai upah tahunan. Ternyata keluarga Haji Bakir
tidak pernah memperlakukan Karman sebagai pembantu rumah tangga yang
sebenarnya. Anak itu diberi kesempatan menamatkan pendidikannya di sekolah rakyat yang sudah dua tahun ditinggalkannya.
Pekerjaan yang diberikan pada Karman adlah pekerjaan sederhana yang bisa
diselesaikan oleh anak seusianya. (Kubah , 2012:65)
Lima pedoman hidup di atas merupakan pedoman dasar bagi
terselenggaranya hubungan harmonis antara sesame manusia (hubungan horizontals).
Apabila kelima pedoman dasr itu telah dilaksanakan dengan baik, maka kemudian
setiap orang harus melengkapi pedoman hidupnya dengan menjalankan trisila atau tiga pedoman penting yang
menjadi dasar terciptanya hubungan harmonis antara manusia dengan penciptanya
(hubungan vertikal).
Menurut Budiyono (dalam Zaairul Haq, 2011:27-28) trisila merupakan pedoman pokok yang
harus dilaksanakan setiap hari oleh manusia, dan merupakan tiga hal yang harus
dituju oleh budi dan cipta manusia di dalam menyembah Tuhan. Adapun
isi dari trisila adalah sebagai
berikut :
1.
Eling atau sadar, yaitu sadar untuk selalu berbakti kepada Tuhan Yang Maha Tunggal.
Menurut Soenarto yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Tunggal adalah kesatuan
dari tiga sifat yaitu: Sukma Kawekas atau
Allah Ta’la, Suksma Sejati atau
Rasulullah dan Roh Suci atau jiwa
manusia yang sejati, ketiganya disebut Tri
Purusa. Dengan selalu sadar terhadap Tuhanmaka manusia akan dapat bersifat
hati-hati hingga dapat memisahkan yang benar dan yang salah, yang nyata dan
yang bukan.
2.
Pracaya atau
percaya, ialah percaya terhadap Suksma
Sejati atau Utusan-Nya, yang disebut Guru
Sejati dan berarti pula percaya kepada jiwa pribadinya sendiri serta kepada
Allah, karena ketiganya adalah Tri Purusa
tadi.
3.
Mituhu, ialah
setia kepada Allah dan selalu melaksanakan segala perintah-Nya yang disampaikan
melalui Utusan-Nya. Semua kewajiban manusia sebenarnya merupakan kemauan untuk
melaksanakan tugas daru Utusan-Nya , sebab semua tugas baik yang diterima
manusia pada hakikatnya adalah tugas yang diberika Allah.
Pedoman-pedoman hidup di atas adalah sangat penting bagi
setiap manusia tidak terkecuali bagi masyarakat Jawa. Sebab pedoman-pedoman
tersebut dapat digunakan sebagai senjata ampuh untuk melawan dan mengendalikan
hawa nafsu yang berada dalam diri manusia.
7.
Etika dan Moral dalam Karya Sastra
Etika merupakan ilmu yang mempelajari adat kebiasaan,
termasuk di dalamnya moral yang mengandung nilai dan norma yang menjadi
pegangan hidup seseorang atau sekelompok orang bagi pengaturan tingkah lakunya.
moral merupakan ajaran baik atau buruk yang dapat diterima tentang suatu
perbuatan atau tingkah laku. Namun, seiring berkembangnya zaman, etika dan
moral ini lambat laun mulai terkikis oleh kebudayaan baru atau
modernisasi. Kebanyakan lebih mengikuti
perkembangan dan kemajuan zaman, sehingga tanpa disadari nilai-nilai etika dan
moral yang seharusnya dipertahankan eksistensinya justru tidak diperhatikan
lagi. Dalam perkembangan sastra Indonesia, banyak karya sastra yang muncul dan
menonjolkan hal-hal yang berhubungan dengan etika dan moral. Salah satunya yaitu
karya sastra novel yang berjudul Centhini.
Di dalam karya sastra ini banyak sekali etika dan moral yang bisa
dipelajari. Jadi, penikmat sastra ketika
membaca sebuah karya sastra secara tidak langsung dapat belajar dan mengetahui
bagaimanakah etika dan moral yang baik yang harus diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari.
B. Kerangka Pikir
Karya
sastra seperti novel, dapat memberikan gambaran kepada pembaca tentang
kehidupan manusia baik perbuatan lahir maupun batin. Sastra adalah suatu bentuk
hasil pemikiran, seni dan kreatifitas manusia dalam kehidupannya dengan media
bahasa. Manusia akan menggunakan budi dan dayanya untuk merealisasi suatu hal
ke dalam karya sastra. Maka cerita rekaan dapat melukiskan, menggambarkan, dan
mencerminkan suatu kenyataan yang ada dalam kehidupan. Suatu karya sastra yang
dalam proses pembentukannya tidak terlepas dari unsur intrinsik dan ekstrinsik.
Novel Centhini Karya Sri Wintala Ahmad merupakan novel yang
dijadikan sumber oleh peneliti dan akan
dianalis dengan tujuan untuk mengetahui kandungan etika dan moral
Jawanya. Untuk memudahkan peneliti melakukan penelitian etika dan moral Jawa
maka sebelumnya peneliti menganalisis bagian intrinsiknya terlebih dahulu.
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa unsur intrinsik merupakan unsur yang
ikut serta dalam pembentukan sebuah karya sastra yang sifatnya berasal dari
dalam.
Adapun unsur intrinsik yang dianalisis meliputi tema,
penokohan, latar, dan juga amanat. Unsur intrinsik itu dianalisis hanya sebagai
pendukung atau acuan untuk memudahkan dalam menganalisis etika dan moral Jawa.
Setelah itu baru kemudian peneliti menganalis bagian etika Jawa yaitu etika wong gedhe,
etika wong cilik dan etika
anak dan istri, serta moral Jawa yang meliputi rila, nrima, temen, sabar dan budi luhur.
Gambar Bagan Kerangka Pikir
|
||||||
![]() |
||||||
|
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Definisi
Konsep
Definisi secara
umum merupakan suatu yang diterima dalam pikiran atau suatu ide umum dan
abstrak. Konsep merupakan penyajian internal dari sekelompok stimulus-stimulus,
di mana konsep tidak dapat diamati tapi harus disompulkan dari perilaku atau
generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu, sehingga dapat dipakai untuk
menggambarkan fenomena yang sama.
Dalam (KBBI, 2007:244) definisi
merupakan rumusan tentang ruang lingkup dan ciri-ciri suatu konsep yang menjadi
suatu pokok pembicaraan. Menurut (KBBI,20097:588) konsep adalah rancangan atau
cita-cita yang telah ada dalam pikiran. Jadi, definisi konsep adalah rumusan
tentang ruang lingkup dan ciri-ciri suatu rancangan atau cita-cita yang telah
ada dalam pikiran yang menjadi pokok pembicaraan.
Adapun definisi
konsep dalam penelitian ini yaitu :
1. Novel
merupakan suatu bentuk karya sastra fiksi yang menyajikan cerita mengenai
kehidupan para tokoh secara detail dan
imajinatif.
2.
Etika
adalah Etika merupakan ilmu pengetahuan yang
berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang di lakukan manusia untuk
dikatakan baik atau buruk, dengan kata lain aturan atau pola tingkah laku yang
di hasilkan oleh akal manusia.
3.
Moral adalah ajaran
tentang baik buruk suatu perbuatan atau sikap yang diterima oleh sesamanya
dalam hidup bermasyarakat.
4.
Menurut Magnis
Suseno (dalam Zairul Haq, 2011:2) masyarakat Jawa adalah “orang yang memakai
bahasa Jawa sebagai bahasa ibu dan merupakan penduduk asli bagian tengah dan
timur pulau Jawa.”
5. Konsep
penelitian ini yaitu “Analisis Etika dan Moral Jawa dalam Novel Centhini Karya Sri Wintala Ahmad”
B.
Instrumen
Penelitian dan Pengembangannya
Dalam menganalisis variabel dalam penelitian ini
penulis menggunakan kajian pustaka, yaitu mempelajari teori-teori dari
buku-buku yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti, tujuannya
untuk memperoleh data-data berdasarkan teori dari para ahli untuk membantu
mempermudah penyelesaian masalah yang penulis teliti. Maka dalam penelitian ini penulis menggunakan
metode deskkriptif.
Penelitian deskriptif menurut Suharsimi Arikunto
(1992: 206) merupakan penelitian non hipotesis sehingga dalam langkah
penelitiannya tidak menggunakan hipotesis.
Novel yang dijadikan objek penelitian dianalisis
sesuai dengan keadaan novel tersebut berdasarkan teori yang ada, kemudian
dideskripsikan sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mendapatkan gambaran
tentang etika dan moral Jawa yang terkandung dalam novel Centhini karya Sri Wintala
Ahmad.
Sumber data dalam penelitian ini adalah novel Centhini karya Sri Wintala Ahmad yang terdiri dari 272
halaman, cetakan pertama, dan diterbitkan oleh penerbit Araska.
C.
Teknis
Analisis Data
Penulis menggunakan teknik studi pustaka untuk
mengumpulkan data, yaitu membaca secara keseluruhan novel Centhini karya Sri Wintala Ahmad kemudian menganalisis etika dan
moral Jawa yang terkandung di dalamnya .
Adapun langkah-langkah analisis data dalam
penelitian ini digunakan teknik sebagai berikut :
a) Membaca
keseluruhan novel Centhini karya Sri Wintala
Ahmad.
b) Membuat
sinopsis
c) Menganalisis
unsur intrinsik yang meliputi tema, penokohan, latar, dan amanat novel Centhini karya Sri Wintala Ahmad.
d) Menganalisis
etika Jawa yang meliputi etika wong
gedhe, etika wong cilik, dan etika anak dan istri.
e) Menganalisis
moral Jawa yang meliputi rila, nrima.
Temen, sabar, dan budi luhur.
f) Menarik
kesimpulan
IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penyajian dan Analisis Data
1.
Penyajian Data
a. Judul Novel :
Centhini
b. Pengarang :
Sri Wintala Ahmad
c. Penerbit :
Araska
d. Tebal Buku :
164
e. Cetakan :
Kesatu, Bulan Juli 2012
f. Bahasa :
Bahasa Indonesia
2.
Analisis Data
a. Tema
b. Tokoh
dan penokohan
Sebuah karya
sastra khususnya novel, mempunyai tokoh-tokoh yang bberperan dalam cerita. Tokoh tersebut dapat digambarkan secara langsung
maupun tidak langsung. Dalam novel kunah karya ahmad tohari terdapat
tokoh-tokoh yang masing-masing diceritakan dengan penggambaran watak yang
berbeda-beda. Pada novel ini juga mempunyai tokoh utama dan tokoh tambahan.
Tokoh utama yang
terdapat dalam novel Centhini karya
Sri Wintala Ahmad adalah Kinanthi , sedangkan tokoh tambahan dalam novel ini diantaranya Syeh Amongraga,
Niken Tambangraras, Jayengwesthi (Jayengresmi), Jayengraga, Jayengsari (Syeh Mangunarsa),
Niken Rancangkapti (Nyai Wanareksa), Niken Turida, Raden Pandansari, Tumenggung
Alap-Alap, Sunan Giri Parapen, Buras (Monthel), Jamal (Gathak), Jamil (Gathuk),
Ki Bayi Panurta, Sultan Agung, Nyi Sembada, dan Ki Kulawirya.
Selain itu, masih banyak tokoh lain
yang berperan dalam cerita tetapi perananannya hanya sebagai pelengkap dalam
cerita saja seperti Nuripin, Nyi Malarsih,
Patih Singaranu, Pangeran Pekik, Ki Nurbayin, Nyi Darsinah, Kaum Ki Amat
Setahu, Ragarunting, Dhamengbudi, Ragaresmi, Ratu wetan, Ratu Kulon, Prajurit,
Nyi Pedali, Banem, Banikem, Bariyah, Rara Widuri, Nyi Randa Tilarsa, Ki Buyut
Wasi Bagena, Ki Ageng Karang, Nyi Ageng Karang, Ganda Arum, Ganda Sari, Ganda
Wangi, Cebolang (Agunggrimang), Pendeta
Harcacarana, Ki Wiracapa, Nyi Wiracapa, Ni Widaryati, Wirabancana, Wirangkara,
Wirabraja, Syeh Malangkarsa, Naga Geni, Naga Angin-Angin, Naga Samudra, Naga
Bantala, Palakarti, Nurwiti, Nyai Chandamundhing, Kartipala, Adipati Wirasaba,
Nyai Padmasastra, Seloka, Nyi Ratamsari, Nyai Sriyatna, Nyai Wulanjar, Warsi,
Darsi, Ramini, Banda Asmara, Nyi Sarkem, Dewi Kilisuci, Dhandhanggendhis,
Pangkur, Nyi Sendang.
Dalam penelitian ini, peneliti hanya akan
menganalisis tokoh dan penokohan tokoh utama dan tokoh tambahan.
a) Tokoh
Utama
b) Tokoh
tambahan
Tokoh tambahan
sebagi tokoh pembantu bagi tokoh utama, perannanya sangat diperlukan sekali.
Tokoh tambahan dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari diantaranya : Syeh
Amongraga, Niken Tambangraras, Jayengwesthi (Jayengresmi), Jayengraga,
Jayengsari (Syeh Mangunarsa), Niken Rancangkapti (Nyai Wanareksa), Niken
Turida, Raden Pandansari, Tumenggung Alap-Alap, Sunan Giri Parapen, Buras
(Monthel), Jamal (Gathak), Jamil (Gathuk), Ki Bayi Panurta, Sultan Agung, Nyi
Sembada, dan Ki Kulawirya. Untuk mengetahui karakter masing-masing tokoh
tersebut, berikut akan dijelaskan dengan kutipan-kutipan yang mendukung.
(1) Centhini
Tokoh ini
merupakan tokoh yang diperlukan oleh tokoh utama karena Centhini adalah ibu
Kinanthi. Centhini memiliki kepribadian yang tegar. Berikut merupakan kutipan
yang menggambarkan hal tersebut:
Sebagaimana orang-orang yang
meladang dengan tubuh dan wajah bermandikan keringat, Centhini masih tegar
mengayunkan cangkulnya ke tanah garapan. Agar tanaman jagungnya yang baru
berumur setengah bulan itu dapat tumbuh kembang dengan baik. Memberikan hasil
jagung- jagung segar yang besar.
Terbebas dari serangan hama dan ulat.( Centhini: 12).
Dari
kutipan di ataskita dapat mengetahui bahwa Centhini merupakan seorang tokoh
yang tegar dalam menjalani hidupnya. Meskipun ia seorang perempuan, ia tetap melakukan
pekerjaan yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang perempuan.
Selain memiliki
sifat di atas, marni juga memiliki sifat rendah hati. Adapun kutipan yang
mendukung sifat tersebut adalah:
“Sungguh!
Wajah Kinanthi bagaikan purnama. Matanya bagaikan sepasang bintang kembar.
Bibirnya serupa mawar merekah.”
“Pujian Den Ayu pada anak hamba
sangat berlebihan. Hamba takut, bila kepala Kinanthi nanti akan membesar. Dekat
dengan kesombongan. Jauh dari kerendah-hatian.” (Centhini :19).
Selain kutipan
di atas, masih ada kutipan lain yang menggambarkan hal tersebut. Berikut ini adalah kutipan yang menggambarkan
watak kerendahhatian Centhini:
“Hebat !” Jamil berdecak kagum
pada centhini. ”Tidak akau sangka, centhini. Di balik kesehajaan dirimu
ternyata menyimpan mutiara. Otakmu benar-benar cemerlang!”
“Tidak, paman! Aku ini hanya
seorang babu. Perempuan yang mendapatkan uang sesudah melayani tuannya.”(
Centhini : 74)
Dari
dua kutipan di atas, kita dapat mengetahui bahwa Centhini memiliki sifat rendah
hati karena ia tidak sombong dengan kecantikan yang dimiliki oleh anaknya,
Kinanthi. Dia tidak merasa bangga ketika anaknya dipuji, tetapi malah merasa
takut kalau nanti pujian itu hanya akan
membuat besar kepala anaknya. Dan sifat rendah hati itu juga ditunjukkan
ketika ia dipuji oleh Jamil bahwa ia memiliki otak yang cemerlang, namun
Centhini malah merendah dan mengatakan bahwa ia hanyalah seorang babu.
Centhini tidak hanya memiliki kedua sifat tersebut
tetapi Centhini juga memiliki sifat penurut. Berikut kutipan yang mendukung hal
tersebut:
“Centhini!” Ki Bayi Panurta
memanggil Centhini dengan suara lantang dari ruangan pendapa. Sesudah abdi
setia Niken Tambangraras itu menghadap, orang terhormat dari desa wanamarta itu
berkata, ”Tolong panggilkan tambangearas untuk menghadapku di pendapa!”
“ Sendika, Tuan.” Centhini
meninggalkan ruangan pendapa. Tak lama kemudian, ia telah kembali memasuki
pendapa beserta Niken Tambangraras. “Den Ayu Tambangraras telah menghadap,
Tuan.” ( Centhini : 63)
Dari
kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Centhini adalah seorang abdi yang
setia dan penurut. Hal itu ditunjukkan ketika Centhini disuruh oleh Ki Bayi
Panurta untuk memanggilkan Niken Tambangraras, Centhini langsung melakukan
sesuai dengan perintah Tuannya.
(2) Syeh
Amongraga
Dalam novel ini,
Syeh Amongraga merupakan kakak dari Jayengsari dan Niken Rancangkapti. Syeh
amongraga memiliki watak yang keras kepala. Berikut merupakan kutipan yang
menggambarkan hal tersebut:
“Jangan
banyak bicara, Diajeng! Waktu kita sangat terbatas. Segeralah Diajeng
Rancangkapti, Dhimas Jayengsari, dan Paman Buras mengambil jalan ke utara!
Biarlah aku, Paman Gathak, dan Paman Gathuk mengambil jalan ke barat.”
“ Tapi, Kakang…”
Tanpa memperdulikan perkataan
Niken Rancangkapti, Jayengresmi yang disertai Gathak dan Gathuk meninggalkan
pertigaan jalan di kaki gunung giri itu
kearah barat. Sementara Jayengsarii, Niken Rancangkapti, dan Buras melangkahkan
kaki kearah utara.” (Centhini :49).
Dari
kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Syeh Amongraga itu memiliki watak
keras kepala, ketika ia sudah memutuskan sesuatu,
siapa pun tidak bisa mengubahnya, meski oleh adik kandungnya sekalipun. Hal itu jelas terlihat ketika Syeh Amongraga tetap
bersikukuh untuk melanjutkan perjalanan tanpa memperdulikan perkataan adinya
sendiri.
Selain memiliki
sifat keras kepala, Syeh Amongraga juga memiliki sifat rendah hati. Berikut
beberapa kutipan yang menggambarkan hal tersebut :
“Jayengresmi
beranjak dari lincak. Meraih kedua tangan Ki Ageng Karang. Mendudukkan lelaki
paruh baya itu di tempatnya semula. Duduk selincak di sampingnya. “Tak perlu
Aki menghormatiku semulia itu. Aku bukan lagi pangeran yang tinggal di dalam
istana. Aku kini hanya seorang buron
Mataram yang tengah mencari perlindungan.”(Centhin : 51)
“Adhi
Jayengwesthi!” Syeh Amongraga tersenyum kecil. ”Apakah
aku yang masih ceblug ini pantas menjadi gurumu? Pengetahuanku masih
sesempit daun kelor,adhi Jayengwesthi.”
“Tidak, Kakang
Amongraga. Aku percaya bahwa kakang yang telah mampu menjelaskan
makna hasta brata pada Kangmbok Tambangraras sesungguhnya pantas aku dudukkan
sebagai guruku. “(Centhin : 67).
“Kisanak
Dharmengbudi ini aneh! Aku ini hanya seorang manusia yang lumrah. Manusia yang
serupa katak di dalam tempurung. Bagaimana aku dapat mengajarkan Kisanak
tentang ilmu sejati?”
“ Tuan…”
Ragaresmi nimbrung dalam pembicaraan.” Janganlah tuan terlalu merendah hati!
Melalui bisikan hati yang hambaterima, tuan bukan seorang manusia lumrah. Tapi,
tuan adalah seorang pinunjul yang telah menguasai ilmu baik
bersifat lahir maupun batin. Karenanya ajarkan hamba tentang ilmu sejati, Tuan!
Ilmu yang kelak menjadi pedoman hidup dan pelita hati hamba.”( Centhini : 97)
Dari
kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Syeh Amongraga bersifat rendah hati. Ia
tidak merasa sombong dengan gelar kehormatan yang melekat di dirinya. Ia tidak
sombong dengan status kepangerannya. Selain itu ia juga tidak merasa sombong
dengan ilmu yang dia miliki. Malah sebaliknya, ia merasa dia hanyalah seorang
yang lumrah. Manusia yang serupa katak di dalam tempurung. Sehingga ia merasa
kurang pantas untuk dijadikan seorang guru. Padahal Syeh Amongraga adalah
seorang pinunjul yang menguasai ilmu
baik yang bersifat lahir maupun batin.
(3) Niken
tambangraras
Dalam novel ini, Niken Tambangraras berperan sebagi
istri Syeh Amongraga. Tokoh ini memiliki sifat teguh pendirian. Berikut ini
merupakan kutipan yang menggambarkan hal tersebut:
“Ketahuilah, Kisanak Amongraga! aku ini
memiliki tiga orang putra. Mereka adalah Jayengwesthi, Jayengraga, dan Niken
Tambangraras. Kedua putera lelaki itu sudah menikah. Sementara
putri sulungku yang telah menginjak usia dua puluh tiga tahun itu masih legan. Berpuluh-puluh perjaka yang ingin
meminangnya gagal dalam sayembara. Mereka tak sanggup menjelaskan tentang makna
hasta brata pada putri sulungku itu.”( Centhini : 63)
Dari kutipan di atas, jelas sekali bahwa Niken
Tambangraras memiliki pendirian yang kuat. Ia tetap memegang teguh apa yang
telah menjadi prinsipnya. Ia tetap tidak menerima perjaka yang ingin
meminangnya karena perjaka itu tidak bisa menjelaskan makna dari hasta brata
sesuai dengan yang disyaratkan oleh Niken Tambangraras. Padahal usianya sudah
pantas untuk menikah, apalagi adiknya pun sudah menikah semua. Tapi
pendiriannya sedikitpun tetap tidak goyah sama sekali.
Di samping itu, sebagai seorang istri Niken
Tambangraras memiliki sifat yang setia dan penurut terhadap suaminya Syeh Amongraga. Berikut ini
merupakan kutipan yang menggambarkan hal tersebut:
“Terima kasih atas kesetiaan
cintamu padaku, Adhi Raras.” Syeh Amongraga mengecup kening Niken Tambangraras
dengan penuh kasih. “ Mumpung hari belum bedug, kita awali pengembaraan yang baru!”
Mendengar ungkapan terakhir Syeh
Amongraga, Niken Tambangraras mengayunkan langkah kaki. Tanpa mengenal lelah,
ia terus mengikuti suaminya.”( Centhini :92).
Dari
kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Niken Tambangraras adalah istri yang
setia dan penurut terhadap suami. Hal itu telihat ketika suaminya Amongraga
mengucapkan terimakasih kepada Niken Tambangraras atas kesetiaanny dan mau
mengikuli setiap langkah suaminya.
(4) Jayengwesthi
atau jayengresmi
Dalam novel ini, tokoh Jayengwesthi berperan sebagai
adik dari Niken Tambangraras tokoh ini memiliki kepribadian yang halus. Berikut
kutipan yang menggambarkan hal tesebut:
“Ya, Mak. Tetapi pada siapa akau
harus belajar? di desa jurang jakung kan belum ada seorang guru yang bisa
mengajarkan aku untuk bisa membaca dan menulis?”
“Memang, nduk. Tapi bila kamu
ingin belajar, aku dapat membawamu ke padepokan wanatawang. Di padepokan
itulah, kamu dapat belajar pada Denmas jayengresmi.” Centhini sejenak teringat
pada putra sulung ki bayi panurta dan nyi malarsih yang berwajah tampan dan
berkepribadian halus itu. (Centhini: 13).
Dari
kutipan di atas, maka dapat diketahui bahwa Jayengwesthi
atau jayengresmi mempunyai
kepribadian yang halus. Hal itu diungkapkan oleh Centhini, ketika ia menyuruh
anaknya Kinanthi belajar ilmu pengetahuan kepada Jayengresmi.
Selain itu,
Tokoh Jayengwesthi alias Jayengresmi juga tampak berwibawa dan Rendah hati.
Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut :
“Suasana pendapa padepokan wanatawang senyap. Tak lama
kemudian, suasana itu pecah saat jayengresmi yang usai menyantap makan siang
itu muncul di pendapa.duduk di depan Centhini dan Kinanthi dengan wajah yang
menyiratkan kewibawaan seorang guru.
“Sembah bakti hamba pada Denmas
Jayengresmi.”
“ Centhini.”
“Ya, Denmas.”
“Aku ini bukan raja. Aku tidak
berkuasa menerima sembah baktimu. Ketahuilah, Centhini! Aku hanya seorang yang
sederajad dengan manusia lainnya. Aku takut mendapatkan kutukan dari Tuhan.
Penguasa semesta yang berhak mendapatkan sembah bakti dari setiap manusia.”
(Centhini :20).
Dari
kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Jayengresmi adalah sosok yang berwibawa
dan rendah hati. Jayengresmi tidak membedakakn staus sosila. Ia menganggap ia
sama dengan manusia lainnya, sehingga tidak perlu untuk di sembah. Hal itu
jelas dikatakan sendiri oleh Jayengresmi ketika Centhini melakukan sembah bakti
kepadanya.
Di samping
memiliki sifat- sifat di atas, tokoh Jayengresmi
juga memiliki sifat pemarah. Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut :
Pagi berseri, langit pun cerah.
Sesudah menyantap sarapan bersama keluarga ki nurbayin; jayengresmi beserta
Jayengraga, Kulawirya, dan Nurupin meminta pamit untuk melanjutkan perjalanan.
Sepanjang perjalana nmenuju desa Padakan, wajah Jayengresmi tampak muram. Bukan
lantaran belum ditemukannya sisik melik keberadaan Syeh Amongraga, melainkan
lantaran ulah binal Jayengraga yang telah nekad bersembadan dengan ketiga anak
perawan Ki Nurbayin. (Centhini: 126).
Pagi hari berselimutkan awan kelabu. Tanpa
meminta pamit pada keluarga Wiracapa; Jayengresmi, Jayengraga, Kulawirya, dan
Nuripin meninggalkan desa Trenggalek Lembuasta. Sepanjang perjalanan menuju
padepokan Wanamarta, Jayengresmi tak pernah bicara dengan Jayengraga. Tampak
jelas dari wajahnya, bahwa Jayengresmi tengah marah besar pada adinya itu.(
Centhini1 : 32).
Kedua
kutipan di atas, menggambarkan bahwa selain memiliki memiliki kepribadian yang
halus dan rendah hati, ternyata Jayengresmi adalah sosok yang pemarah. Hal itu
ditunjukkan ketika ia marah kepada Jayengraga karena telah berulah yang tidak
seharusnya.
(5) Jayengraga
Dalam novel ini
tokoh Jayengraga memiliki sifat yang tidak baik atau amoral. Berikut kutipan
yang menggambarkan hal tersebut :
Tengah malam Centhini meraih sapu
lidi yang tergeletak di tepian amben. Membersihkan tikar mending yang
menghampar di amben itu. sesudah dirasa nyaman untuk
ditiduri, ia perlahan-lahan merebahkan tubuhnya di atas amben itu. menatap
lelangit kamar tidurnya. Teringat pada catatan-catatan lama yang masih terekam
diotaknya. Teringat pada Monthel yang meninggalkannya sesudah tergoda dengan
penari ronggeng. Teringat pada Syeh Amongraga yang pernah meninggalkan Niken
Tambangraras sesudah empat puluh malam empat puluh hari melintasi bulan madu di
dalam kamar pengantin. Teringat pada Jayengraga, putera Ki Bayi Panurta yang
pernah memperkosanya di kamar mandi dekat sumur di belakang padepokan
Wanamarta.(Centhini, 2012: 16).
Dari
kutipan di atas, maka dapat diketahui bahwa Jayengraga memiliki prilaku yang
tidak baik. Hal itu terlihat ketika Centhini pembantu di keluarga Ki Bayi
Panurta itu penah diperkosa oleh Jayengraga di dekat sumur belakang padepokan
Wanamarta.
Selain itu, ia
merupakan tokoh yang memiliki kelainan seks atau yang biasa disebut dengan
hiperseks. Berikut kutipan yang menerangkan hal tersebut :
Lantaran tak kuasa mengendalikan
hasrat birahinya, Jayengraga nekad menggeser kakinya ke arah
pintu. Hanya dengan sekali menyibakkan kain jarik
yang menutup pintu itu, putera bungsu Bayi Panurta memasuki ruangan tidur
ketiga anak perawan Ki Nurbayin itu. berdiri di depan bibir amben.
“Ssssttt….Jangan takut! Aku
datang bukan untuk menyakitikalian bertiga. Aku ingin memberikan pelajaran agar
kalian dapat menikmati asmara yang sempurna.”
“Sungguhkah?” Tanya Banem
setengah berbisik.” Ajarkan segera, Tuan Jayengraga! Aku dan kedua adikku
ini sudah tak sabar menerima pelajaran itu.”
Tanpa berpikir jauh, Jayengraga
melepas celananya. Menggagahi Banem, Banikem, dan terakhir Bariyah. Tak lama
kemudian, tubuh Jayengraga telah rebah di antaraketiga anak perawan Ki Nurbayin
itu. Lantaran belum mencapai puncak pendakian asmara, satu per satu dari ketiga
anak perawan itu menindih tubuh Jayengraga. Bersama kokok ayam jantan pertama,
permainan asmara pun usai. (Centhini:
126).
Dari
kedua kutipandi atas, dapat diketahui bahwa Jayengraga ini benar-benar memilik
kelainan seks atau yang biasa disebut dengan hipersex. Ia selalu tidak bisa
menhan hasrat birahinya ketika melihat seorang perempuan. Hal itu terlihat
ketika Jayengraga menginap di rumah Ki Nurbayin yang ternyata memiliki tiga
anak. Karena tidak bisa menahan hawa nafsunya ia langsung menyalurkan sekaligus
pada ketiga anak Ki Nurbayin bersamaan dalam satu malam.
Kelainan
seks itu juga ditunjukkan pada kutipan berikut ini:
Baru dua hari menjalin kehidupan
rumah tangga dengan Rara Widuri, Jayengraga kembali berulah. Bercinta dengan Ni
Wirdayati di sebuah gubug sawah di siang bolong peristiwa yang menggegerkan
keluarga ndalem kademangan itu membuat Rara Widuri marah besar pada Jayengraga. Lantaran Jayengraga tak
berani kembali di ndalem kademangan, Jayengresmi mengajaknya pulang ke
padepokan Wanamarta. (Centhini: 132).
Dari
kutipan di atas, dapat diketahui bahwa sifat buruk yang dimiliki tidak berubah
meskipun ia sudah beristri. Jayengraga tetap bermain dengan perempuan lain
bukan dengan istrinya. Padahal usia pernikahan mereka baru dua hari.
(6) Niken
Rancangkapti (Nyai Wanareksa)
Dalam novel ini
Niken Rancangkapti memiliki sifat yang sabar dan tahan uji. Berikut kutipan yang
menggambarkan hal tersebut:
Betapa erat, Syeh Amongraga
memeluk Niken Rancangkapti yang kemudian menderaikan air mata kebahagiaan di
ranum pipinya. Betapa bangga, Syeh Amongraga pada adik bungsunya yang sekian
lama dirindukannya itu telah
sanggup melintasi cobaan demi cobaan hidup, sesudah Kasunanan Giri dapat
dicengkeram kuku-kuku kekuasaan Sultan Agung dari Mataram. (Centhini: 84).
Dari
kutipan di atas, dapat diketahui bahwa adik Syeh Amongraga itu memiliki sifat
yang sabar dan tahan terhadap cobaan hidup yang harus dihadapinya. Niken Rancangkapti
harus melintasi cobaan demi cobaan dalam hidupnya ketika Kesunanan Giri jatuh
pada kekuasaan Mataram. Karena hal itu ia harus berpisah dengan kakaknya
Amongraga.
Selain memiliki
sifat sabar dan tahan uji, ia juga merupakan wanita yang tegar. Berikut kutipan
yang menggambarkan hal tersebut:
“Hebat!”
Pendeta Hercarana tersenyum sembari mengangguk-anggukkan kepalanya. Nak,
Kinanthi ini benar-benar hebat! Sekalipun seorang wanita dan masih dalam
berusia muda, namuntelah peduli dengan orang-orang di sekitarnya yang tengah
dilanda kesusahan. Jiwa Nak Kinanthi sungguh seperkasa dengan jiwa Gusti Ayu
Niken Rancangkapti. Ia tetap tegar sebagai
wanita sekalipun masa depan Kasunanan Giri telah luluh lantak sesudah
dikuasai Mataram.”(Centhini: 141-142).
Dari
kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa sosok Niken Rancangkapti adalah orang
yang tegar. Sifat itu diungkapkan oleh Pendeta
Hercarana kepada Kinanthi. Ia mengatakan
bahwa Kinanthi memiliki sifat yang sama dengan Niken Rancangkapti, yaitu
seorang wanita yang hebat. Seorang wanita yang tegar dalam menghadapi sesuatu
hal.
(7) Niken
Turida
Dalam novel ini,
tokoh Niken Turida memiliki watak yang lembut dan ramah. Berikut adalah kutipan
yang menggambarkan hal tersebut :
“Bukankan
kamu Centhini?”
“Benar, Den Ayu. Hamba,
Chenthini.”
Niken Turida menatap lembut pada
wajah Kinanthi. “Bukankah gadis belia yang berwajah cantik di sampingmu itu,
Kinanthi?”
“Benar, Den Ayu.”
“Anakmu benar-benar cantik,
Centhini.”
“Masak, Den Ayu. Ia hanya anak
seorang babu. Celak sela, tebih saking
raja gung binathara.”(Centhini: 19).
Dari
kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Niken Turida adalah orang yang ramah.
Bahkan dengan orang yang status soaialnya jauh di bawahnya. Ia terlihat ramah
dan lembut ketika sedang berbicara dengan Centhini, yang statusnya hanya
seorang pembantu. Bahkan ia pun memuji anak Centhini.
Sifat lembut dan
ramah pada tokoh Niken Turida juga tergambar dalam kutipan berikut ini:
Kinanthi tersentak, saat pintu
kamarnya diketuk Niken Turida. Tanpa berpikir panjang, Kinanthi beranjak dari
kursi. Membuka pintu itu tanpa deritan. “Oh…, Ibu Turida. Apakah
ada pekerjaan yang harus saya laksanakan?”
“Tak ada, Kinanthi.” Niken Turida
menjawab dengan lembut. ”Malam
ini ayahmu ingin berbicara denganmu. Beliau telah menunggumu di pendapa.” (Ceenthini : 27).
Dari
kutipan di atas dapat diketahui bahwa Niken Turida memang orang yang lembut.
Hal itu terlihat ketika ia berbicara dan menjawab pertanyaan Kinanthi. Ia
menjawab dengan lembut.
(8) Raden
Pandansari
Dalam novel ini,
Raden Pandansari merupakan puteri dari Sultan Agung Mataram. Meskipun ia adalah seorang wanita namun ia
adalah orang yang pemberani. Berikut adalah kutipan yang menggambarkan hal
tersebut :
Petarungan Sunan Giri dan Ratu
Pandansari seolah tak mengenal akhir. Mereka tampak memiliki kepiawaian dalam
olah pedang. Namun saat kuda penguasa Giri itu kelelahan, Ratu Pandansari
mengerahkan kekuatan batinnya. Menebaskan pedangnya ke pedang lawan. Hingga pedang yang sontak patah itu terlempar bersama
terjungkalnya Giri Parapen dari gigir kuda. (Centhini: 43).
Dari
kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Ratu
Pandansari adalah orang yang pemberani.
Meskipun ia adalah seorang perempuan, tetapi ia berani maju dalam perang
melawan Sunan Giri Parapen.
Selain seorang wanita yang pemberani, Raden
Pandansari juga memiliki watak Keras kepala. Berikut adalah kutipan yang
menggambarkan hal tersebut :
“Kita harus mengejarnya, Gusti
Ayu.”
“Harus, Paman. Tapi sebaiknya,
Paman Alap-Alap dan Kangmas Pekik pulang saja ke Mataram untuk menyerahkan
Sunan Giri Parapen di hadapan Kanjeng Rama Sultan. Biarlah aku sendiri yang
mengejar ketiga putera Sunan Giri Parapen itu.”
“Jangan Diajeng!” Pangeran Pekik
mencegah kemauan Ratu Pandansari. “ Sebaiknya kita pulng dulu ke Mataram.”
Tanpa sepatah kata yang meluncur
dari setangkup bibirnya yang mawar, Ratu Pandansari
menyeblakkan kendali kuda. Secepat kilat, kuda itu melaju meninggalkan
alun-alun Kasunanan Giri. Menyaksikan sikap adiknya yang keras kepala itu,
Pangeran Pekik hanya menggeleng-nggelengkan kepala. Demikian pula, Tumenggung
Alap-Alap dan seluruh prajurit Mataram. (Centhini: 44).
Dari
kutipan di atas, Ratu Pandansari terlihat tetap kukuh dengan kemauannya untuk mengejar
ketiga putera Giri Parapen. Meskipun sudah dihalangi oleh kakaknya. Ratu
Pandansari tetap saja pergi meninggalkan
kakanya, Tumenggung Alap Alap, dan prajurit Mataram. Hal itu jelass
menggambarkan bahwa Ratu Pandansari adalah sosok yang sangat kerass kepala.
(9) Tumenggung
alap-alap
Dalam
novel ini, Tumenggung Alap Alap
merupakan Abdi yang setia membela Mataram, ia juga seorang yang penurut.
Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut:
“Ehm….”
Sultan Agung mengalihkan pandangannya dari Patih Singaranu kearah Tumenggung
Alap-Alap.” Kakang Alap Alap!”
“Ya,
Paduka.’
“Sebelim
fajar pecah di ufuk timur, bawalah pasukan Mataram secukupnya untuk menyerbu
Giri! Bawalah serta kedua puteraku – Pangeran Pekik dan Ratu Pandansari –
sebagai senapti pengapit kanan dan kiri!”
“
Titah Paduka hamba laksanakan.” (Centhini: 40).
Dari kutipan di atas, Tumenggung
Alap Alap memang abdi yang setia, ia selalu menruti dan
melaksanakan perintah dari Sultan Agung Mataram. Hal itu terihat ketika Sultan
Agung Mataram memerintahkan untuk menyerbu Giri. Tanpa basa-basi ia langsung
siap dan melaksanakannya.
Selain
abdi yang setia dan penurut, Tumenggung Alap-Alap adalah orang yang pongah atau
sombong. Berikut adalah kutipan yang menggambarkan hal tersebut :
Di
atas gigir kuda, Tumenggung Alap-Alap tampak pongah sembari mengacung-acungkan
keris ligan ke langit. Sebelum ia memerintahkan pada
prajurit untuk memasuki kedaton, Sunan Giri Parapen yang duduk di gigir kuda
putih dengan pedang di tangan kanan itu menghadang di depan pintu gerbang
pagelaran. (Centhini: 41).
Dari
kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Tumenggung Alap Alap adalah orang yang
sombong. Hal itu terlihat ketika ia sedang memimpin penyerbuan dan memerintahkan pada prajurit untuk
memasuki kedaton, Kasunanan Giri.
(10) Sunan
Giri Parapen
Dalam novel
ini,tokoh Sunan Giri Parapen memiliki watak pantang menyerah. Berikut kutipan yang
menggambarkan hal tersebut:
Dari gigir kuda, Ratu Pandansari
mengarahkan pedangnya ke arah
wajah Giri Parapen yang terjatuh duduk di tanah.” Katakan, hei Parapen! Bahwa
kamu telah menyerah pada Mataram!”
“Sabdapendhita ratu, tan bisa wola-wali. Lebih baik aku mati
ketimbang hidup sebagai boneka Sultan Agung. Bunuhlah aku, Pandansari!
Sebagaimana kamu telah membunuh ayahku.”
“Pantang bagiku untuk membunuh
seorang senapati yang tak lagi bersenjata.”
“Namun sampai
bumi ini berakhir dilipat Tuhan, aku tak pernah menyerah pada Mataram.” ( Centhini : 43).
Dari
kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Giri Parapen tetap tidak mau menyerah
meskipun pedang Ratu Pandansari telah mengarah ke wajah Sunan Giri. Sunan Giri
tetap bersikukuh dengan pendiriannya. Lebih baik ia mati dari pada harus
menjadi boneka Sultan Agung.
(11)
Buras ( Monthel)
Dalam
novel ini, tokoh Buras alias Monthel meiliki watak gampang tergoda janda.
Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut:
Dalam diam,
Centhini mendesah. Teringat keputusannya yang bodoh. Menerima perintah Syeh
Amongraga untuk menikah dengan Monthel. Lelaki bertubuh tambun yang kemudian
menceraikannya sesudah tergoda dengan seorang janda kembang. Meninggalkannya
tanpa mengingat nasib Kinanthi. anak perempuannya yang akan merasa damai
tinggal di antara ayah dan ibunya. (Centhini: 12).
Dari kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Monthel yang
statusnya sudah beristrikan Centhini
tergoda dengan janda kembang dan malah lebih memilih menceraikan Centhini
dengan tanpa memikirkan nasib anaknya Kinanthi yang masih membutuhkan seorang
ayah.
(12)
Jamal ( Gathak)
Dalam novel ini,
tokoh Jamal alias Gathak memiliki sifat yang jujur. Berikut kutipan yang
menggambarkan hal tersebut. :
“Celaka, Gus.ketika hamba, Adhi
Gathuk, dan Adhi Buras tengah mencari buah-buahan di tepian ngarai; hamba
melihat seorang perempuan berkuda. Bila melihat pakaian yang dikenakannya, ia
adalah prajurit Mataram.”
“Apa yang paman Gathak katakana
itu bisa aku percaya?”
“Benar, Gus.” Gathuk dan Buras
menjawab dengan serempak. ”Apa yang disampaikan Kakang Gathak itu benar. Ia
adalah prajurit Mataram.” (Centhini : 48-49).
Dari
kutipam di atas, dapat diketahui bahwa Gathak merupakan orang yang jujur. Hal
itu terlihat ketika gathuk memberikan informasi mengenai prajrit Mataram yang
sedang mengajarnya. Ia mengatakan dengan jujur dan apa adanya, sesuai dengan
apa yang dia lihat.
Selain watak
tersebut, Jamal alias Gathak juga meiliki sifat tegas dan teliti. Berikut kutipan
yang menggambarkan hal tersebut :
“Kakang Jamal….” Jamil yang hanya
duduk di kursi di dalam bangunan tarub agung
itu mencolek pinggang Jamal. “Aneh, ya?
Kenapa Ki Kulawirya yang tengah ngibing
dengan penari berkulit kuning nemu giring
itu tiba-tiba terjatuh bergulingan
di tanah. Apa karena ia mabuk berat?”
“Tidak!” jawab Jamal
tegas. “Apakah kamu tidak melihat, kalau penari berkulit kuning nemu giring dan
tampak memiliki ilmu beladiri yang tinggi itu menjegal kaki kiri Ki Kulawirya?”
“Tidak, Kakang Jamal.” Jamil mengernyitkan
dahinya. (Centhini: 73).
Dari
kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Gathak selain seorang yang jujur,
ternyata dia juga termasuk orang yang tegas dan teliti. Hal itu dapat dilihat
ketika ia sedang menonton tarub, Gathak dengan teliti memperhatikan Ki
Kulawiraya yang sedang ngibing dengan
seorang penari. Dan dengan tiba-tiba Ki Kulawirya terjatuh. Karena sifat
teliti yang Gathak miliki, akhirnya ia dapat mengetahui penyebab jatuhnya Ki
Kulawiraya. Setelah ia tahu, kemudian ia mencoba memberitahu Gathuk dengan nada
yang tegas.
(13) Jamil
(Gathuk)
Dalam novel ini,
Jamil alias Gathuk merupakan seseorang yang berwatak jujur. Berikut kutipan yang
menggambarkan hal tersebut:
Selepas perempuan berkuda itu,
Jamal membawa keranjangnya yang belum penuh berisi rumput. Mendaki puncak bukit
dengan tergesa. Setiba di halaman gubug Ki Ageng Karang, ia memasuki ruangan
depan. Dimana Syrh Amongraga tengah berbincang dengan Jamal yang barusan pulang
dari meladang. “Celaka, Gus! Benar-benar celaka!”
“Ada apa, Paman?”
“Hamba kembali bertemu dengan perempuan
berkuda dari Mataram itu di ngarai. Aku percaya, perempuan yang ingin berguru
pada Ki Ageng Karang itu sesungguhnya telah mengetahui keberadaan Gus Amongraga disini.”
“Apa yang Paman katakana itu
dapat aku percaya?”
“Bila bohong, lidah hamba yang menjadi
taruhannya.” (Centhini: 53).
Dari
kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Gathuk termasuk orang yang jujur. Ketika
ia bertemu dengan seorang perempuan dari Mataram. Dengan jujur Gathak
membertahu Syeh Amongraga apa yang baru saja ia lihat. Bahkan ia sempat
bertaruh untuk meyakinkan bahwa dirinya tidak berbohong.
(14) Ki
Bayi Panurta
Dalam
novel ini, Ki Bayi Panurta merupakan ayah dari Niken Tambangraras,
Jayengwesthi, dan Jayengraga. Ia adalah orang yang periang. Berikut adalah kutipan yang menggambarkan
hal tersebut:
“He…, he….,
he….” Ki Bayi Panurta tertawa renyah. “Kisanak Amongraga ini aneh! Selain tak
ada di padepokan Wanamarta, bunga wijaya kusuma yang dapat mekar siang hari
juga tak ada di jagad raya ini.” (Centhini: 62).
Sontak Syeh
Amongraga mengerahkan akal budinya untuk mengakap makna lambing dari bunga
wijaya kusama yang apat mekar di malam dan siang ahri itu. “Apakah bunga itu
melambangkan seorang gadis yang tengah mekar hingga tampak mempesona baik siang
maupun di malam hari?”
“Tepat! Ki Bayi Panurta tertawa
renyah. “Ketahuilah, kisanak Amongraga! Aku ini memiliki tiga orang putra.
Mereka adalah jayengwesthi, jayengraga, dan niken tambangraras. Keduan putra
lelaki itu sudah menikah. Sementara putrid sulungku yang telah menginjak usia
dua puluh tiga tahun itu masih legan. Berpuluh-puluh perjaka yang ingin
meminangnya gagal dalam sayembara. Mereka tak sanggup menjelaskan tentang makna
hasta brata pada putrid sulungku itu.” (Centhini:
62-63)
Dari kutipandi atas, dapat diketahui bahwa Ki Bayi
Panurta adalah orang yang periang. Hal itu dapat terlihat ketika Ki Bayi
Panurta sedang berbincang dengan Syeh Amongraga mengenai bunga wijaya kusuma.
Ki Bayi Panurta tertawa mendengar apa yang telah dikatakan Amongraga mengenai
bunga wijaya kusuma.
Selain
seorang yang periang, ia juga seorang yang pemarah.berikut kutipan yang
menggambarkan hal tersebut:
“Sudah! Sudah,
Ayah! Tak perlu marah!”
“Bagaimana aku
tak marah? Bagimana kata orang-orang pada mbakyumu nanti. Mereka akan bilang; Tambangraras
tak ubah sekerat tebu. Habis manis, sepah dibuang!”
“Aku tahu, Ayah.
Tapi amarah ayah itu tidak akan pernah menyelesaikan persoalan.” Jayengresmi
terdiam sesaat. (Centhini : 108).
Dari kutipan di atas, dapat diketahui bahwa ternyata Ki
Bayi Panurta tidak hanya memiliki watak yang periang. Namun di sisi lain ia
adalah orang yang pemarah. Hal itu dapat dilihat ketika Ki Bayi Panurta seddang
berbincang dengan anaknya Jayengresmi mengenai Niken Tambangraras. Ki Baayi
Panurta tampak marah sekali terhadap apa yangdilakukan oleh Amongraga terhadap
anaknya Niken Tambangraras.
(15)
Syeh Mangunarsa (
Jayengsari)
Dalam
novel ini, Syeh Mangunarsa alias Jayengsari merupakan adik dari Jayengresmi
atau yang lebih dikenal dengan Syeh Amongraga. Dia memiliki sifat yang baik dan
religius karena dia selalu ingat pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Berikut kutipan
yang menggambarkan hal tesebut:
“Orang hidup itu
seperti wayang, Kinanthi.” Syeh Mangunarsa membuka
petuahnya. “ Hidup dan kematian wayang beraa di tangan dalang. Bila dalang
menghendaki kematiannya, maka matilah wayang itu.” (Centhini: 24)
Dari kutipan diatas, dapat diketahui bahwa Syeh Manguarsa
atau Jayengsari memiliki adalah orang yang baik dan religius. Hal itu tampak
pada apa yang dia nasihatkan pada Kinanthi. Ia memberikan petuah mengenai hidup
dan matinya manusia.
(16)
Sultan Agung
Dalam
novel ini, Sultan Agung memiliki sifat serakah. Berikut adalah kutipan yang
menggambarkan hal tesebut :
“Kita ketahui
bahwa Mataram telah dapat menaklukkan Madura, Surabaya, Wirasaba,
Lasem, Pasuruhan, dan daerah-daerah kecil lainnya. Kita telah dapat mengatasi
pemberontakan para ulama Tembayat serta orang-orang Sumedang dan Ukur. Bahkan,
kita telah mampu mengatasi pemberontakan Giri
Kedaton.”
“Benar, Paduka.”
Patih Singaranu menegaskan kebenaran sabda Sultan Agung. ”Kemudian rencana apa yang hendak Paduka
sabdakan pada hamba dan seluruh punggawa dipagelaran ini?”
“Sayap kekuasaan
Mataram di wilayah timur harus dikembangkan, Paman Singaranu. Kita harus
menundukkan Kasunanan Giri yang kini berada di bawah kekuasaan Giri Parapen.
Bagimana pendapatmu?”
“Hamba setuju,
Paduka.” (Centhini: 39).
Dari kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Sultan Agung
adalah orang yang serakah. Meskipun ia sudah banyak mengusai banyak daerah,
tetapi dia masih ingin menguasai
Kasunanan Giri.
(17)
Nyi Sembada
Dalam
novel ini, Nyi Sembada berperan sebagai janda yang memiliki kelainan seks
(hiperseks). Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut:
Di desa Pulung,
kami menyempatkan mampir di rumah Ki Banda Asmara. Malam harinya, kami
menyaksikan tayub di rumah seorang janda – Nyi sembada. Siapa tahu Kakang
Amongragaberada di antara para penonton itu. namun hasilny, kami tak menemukan
Kakang Amongraga. Bahkan satu hal yang sangat memalukan; Adhi Jarengraga, Paman
Kulawirya, dan Nuripin justru menghabiskan waktunya di desa itu untuk bercinta
dengan Nyi Sembada. Seorang perempuan yang tidak pernah puas bercinta dengan
hanya seorang laki-laki. (Centhini:
103).
Melihat
kemunculan Kulawirya dan Nuripin, Nyi Sembada yang
tak pernah puas bercinta dengan hanya seorang lelaki itu segera bangkit. Tanpa
memperdulikan kotangnya yang belum menutup sepasang payudaranya, kebayanya yang
belum terkancingkan, serta kain jarik dan bengkung yang tanggal dari tubuhnya;
janda itu menarik lengan Kulawirya dan Nuripin. Mereka berhelatdalam permainan
asmara yang sangat liar. Melampaui permainan asmara bangsa anjing. (Centhini: 113-114)
Dari kutipan di atas, maka dapat diketahui bahwa Nyi
Sembada adalah seorang janda yang memiliki kelainan seks (hiperseks) karena ia
tidak pernah puas bercinta hanya dengan seorang lelaki. Hal tersebut terlihat
ketika Nyi Sembada bercinta dengan Jayengraga, Kulawirya, dan Nuripin.
Selain
seorang yang hiperseks, Nyi Sembada merupakan janda yang suka menggoda
laki-laki : berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut:
“Menyukai
tayubnya atau penarinya, Kisanak Jayengraga?” Nyi Sembada mulai menggoda. “Bila
tertarik dengan salah satu dari empat penari itu, turunlah ngibing di dalam
arena. Kamu pasti akan lebih menyukainya. Apalagi kalau kamu bisa tidur dengan
seorang penari yang paling kamu minati itu.” (Centhini:
112).
Dari kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Nyi Sembada
adalah seorang penggoda. Ia mengoda Jayengraga dengan kata-kata yang keluar
dari mulutnya.
(18) Ki
Kulawirya
Dalam
novel ini, Ki Kulawirya berperan sebagai adik dari Ki BayiPanurta sekaligus
sebagai paman dari Jayengresmi atau Jayengwesthi. Tokoh ini memiliki tabiat
yang tidak baik, yaitu pemabuk. Berikut
kutipan yang menggambarkan hal tersebut:
“Kakang
Jamal….” Jamil yang hanya duduk di kursi di dalam bangunan tarub agung itu mencolek pinggang Jamal. “Aneh,
ya? Kenapa Ki Kulawirya yang tengah ngibing
dengan penari berkulit kuning nemu giring
itu tiba-tiba terjatuh bergulingan
di tanah. Apa karena ia mabuk berat?” (Centhini: 73).
Dari kutipan di atas,dapat diketahui bahwa Ki Kulawiraya
memiliki kebiaaan yang yang tidak baik, seperti mabuk. Hal itu terlihat ketika
ia ngining dengan seorang penari dengan keadaan masih mabuk berat.
c.
Latar
Latar atau setting adalah tempat di mana dan kapan
kejadian-kejadian atau peristiwa terjadi dalam kesatuan waktu. Latar meliputi
latar tempat, waktu, dan latar suasana.
1)
Latar Tempat
Latar tempat adalah latar yang menunjukkan tempat
kejadian dalam suatu karya fiksi. Latar tempat yang terdapat dalam novel Centhini karya Sri Wintala Ahmad antara
lain:
(a)
Di desa Jurang
Jakung.
Latar tempat di desa Jurang Jakung tergambar dalam
kutipan berikut:
Langit sufir
yang tak tergores awan memayungi desa Jurang Jakung. Desa yang menghampar di
lembah dengan di lingkungi perbukitan. Desa subur yang ditumbuhi aneka
pepohonan: kelapa, mahoni, jati, rambutan, jambu biji, jambu air, kelengkeng,
dan lainnya. Desa maksmur dengan hamparan ladang jagung, tomat, cabai, bayam,
bayung, sawi, kobis, kacang panjang, dan lainnya. Desa sejahtera yang diyakini
banyak orang sebagai irisan surga. (Centhini, 2012: 12).
Dari kutipan di atas, dapat diketahui bahwa latar tempat
dalam novel Centhini karyaSri Wintala
Ahmad berada di desa Jurang Jakung. Sebuah desa yang subur, makmur sehingga
banyak ditumbuhi berbagai pepohonan dan berbagai macam jenis tanaman.
(b)
Padepokan Wanamarta
Latar tempat di padepokan Wanamarta terlihat dalam
kutipan berikut:
Wanamarta. Desa
di sebelah selatan Gunung Giri dan berada di tlatah Majakerta itu sangat
tersohor berkat kesuburan tanahnya. Desa dengan dilingkungi hamparan sawah dan
ladang yang dibelah sungai berair hijau kebiruan. Desa yang masih lekat dengan
tradisi wiwitan sebelum masa panen, dan upacara sedekah bumi sesudah masa
penen.” (Centhini, 2012: 60).
Berdasarkan
kutipan di atas, dapat diketahui bahwa pengarang menggambarkan latar Wanamarta.
Sebuah desa yang tersohor karena kesuburannya
dan yang masih lekat dengan tradisi wiwitan sebelummasa panen.
(c)
Padepokan / perdukuhan
Wanatawang
Latar tempat di padepokan atau perdukuhan Wanatawang
tergambar dalam kutipan berikut:
Matahari terbit
diufuk timur. Diiringi semilir angin yang berhembus dari puncak bukit, Centhini
Kinanthi meninggalkan rumah. Meniti jalanan berbatu di kiri-kanannya ditumbuhi
aneka pepohonan dan semak-semak belukar liar. Melangkahkan kaki dengan penuh
keyakinan. Menuju padepokan Wanatawang. (Centhini, 2012: 17).
Berdasarkan kutipan di atas, latar tempat dalam novel ini
selain di desa Jurang Jakung dan Wanamarta, ternyata juga berlatarkan di
padepokan Wanatawang. Sebuah desa yang akan dituju oleh Centhini dan anaknya
Kinanthi.
Selain kutipan di atas, latar tempat di Wanatawang juga
terlihat pada kutipan berikut ini:
Beserta
Kinanthi, Centhini memasuki pendapa Wanatawang dengan langkah penuh sopan
santun. Sesuai duduk bersimpuh di
lantai pendapa yang berhamparkan tikar mending, Centhini tersentak. Manakala
kedua matanya menyaksikan lukisan yang melekat di tembok samping kanan pintu
penghubung pendapa dengan ndalem jero itu. Lukisan
keluarga Ki Bayi Panurta. Mereka duduk di kursi dengan wajah berseri dan
pandangan mata secerlang bintang panjer isuk. (Centhini, 2012: 19-20).
Berdasarkan kutipan diatas, dapat diketahui bahwa latar
tempat terjadi di pendapa Wanatawang. Hal itu terlihat ketika Centhini dan
Kinanthi memasuki pendapa Wanatawang. Kemudian duduk bersimpuh di lantai
pendapa dengan melihat lukisan keluarga Ki Bayi Panurta.
(d)
Sendang Klampeyan
Latar tempatdi Sendang Klampeyan tergambar dalam kutipan
berikut:
Ambang subuh, Kinanthi terbangun dari tidur.
Bergegas ke dapur untuk merebus air, meliwet nasi, menyayur
lodeh, menggoreng tempe, dan menyambal trasi. Seusai pekerjaan itu,
ia menyusul Centhini ke Sendang Klampeyan. Di Sendang yang semula dijadikan
tempat bertapa Syeh Amongragaitu, ia beserta emaknya mandi dan mencuci beberapa
potong pakaiannya yang telah kotor. (Centhini,
2012: 17)
Rasa haru dan
bahagia tak berperi mewarnai sendang
Klampeyan di desa Jurang Jakung. Serasa di antara mimpi dan kasunyatan, Syeh Amongraga yang telah
sempurana melakukan semadi itu menyaksikan orang-orang berdiri di bawah pohon
beringin putih di tepian sendang. (Centhini, 2012: 83)
Berdasarkan kedua kutipan di atas, dapat diketahui
bahwalatar tempat yang tergambar adalam Sendang Klampeyan. Sebuah tempat yang
semula dijadikan tempat bertapa atau semadi Syeh Amongraga dan telah berubah
menjadi tempat untuk mandi dan mencuci pakaian kotor.
(e)
Kaki Gunung Karang
Latar tempat di Kaki Gunung Karang jelas tergambar dalam
kutipan berikut:
Tujuh hari tujuh malam; Syeh Amongraga, Jamal, dan
Jamil tinggal di kaki Gunung Karang. Hari-hari telah mereka lintasi dengan
menggarap ladang dan mencari rumput untuk sapidan kambing milik Ki Ageng
Karang. Sekalipun hidup dengan kesahajaan, mereka merasa mendapatkan
perlindungan dari buruan orang-orang Mataram. (Centhini, 2012: 53).
Berdasarkan kutipan
di atas, dapat diketahui latar tempat terdapat di Kaki Gunung Karang. Sebuah
tempat yang ditinggali oleh Syeh Amongraga, Jamal dan Jamil. Tempat di mana
mereka berlindung dari buruan orang-orang Mataram.
(f) Perdukuhan
Andong Tinunu di kaki Gunung Sidoro
Latar tempat di perdukuhan Andong
Tinunu di kaki Gunung Sidoro tergambar
dalam kutipan berikut:
Pagi hari. Syeh
Amongraga, Jamal, dan Jamil kembali melanjutkan perjalanan. Sepanjang
perjalanan ke arah perdukuhan Andong Tinunu di kaki
Gunung Sidoro itu, Syeh Amongraga selalu teringat kisah Ki
Buyut Wasi Bagena tentang penjelajahan batin Bima. (Centhini, 2012: 57-58).
Dari kutipan di atass, dapat diketahui bahwa latar tempat
dalam novel ini terdapat di perdukuhan Andong
Tinunu di kaki Gunung Sidoro. Sebuah
tempat yang sedang dituju oleh Syeh Amongraga, Jamil, dan juga Jamal.
(g)
Kota Boja
Latar tempat di Kota Boja tergambar dalam kutipan berkut:
Sepekan sesudah
menobatkan Syeh Mangunarsa sebagai guru di padepokan Wanataka, Syeh Amongraga
dan Niken Tambangraras meninggalkan desa itu. Berkelana hingga sampai di hutan
Boja. Dengan kesaktiannya, Amongraga mengubah hutan yang merupakan kerajaan
para jin itu menjadi kota terindah dan terkaya di tanah Jawa. Oleh Amongraga,
kota itu diberi nama kota Boja. (Centhini, 2012: 90).
Dari kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa latar
tempat terdapat di Kota Boja. Sebuah tempat yang awalnya adalah hutan, kemudian
diubah oleh Syeh Amongraga menjadi kota terindah dan terkaya di tanah Jawa.
(h)
Desa Pulung
Latar tempat di desa Pulung tergambar dalam kutipan
berikut:
Setiba di pertigaan jalan; Jayengresmi,
Jayengraga, Kulawiraya, dan Nuripin membelokakan langkah ke arah desa Pulung. Sebuah desa yang
terbilang makmur, namun kebanyakan penduduknya tak suka pergi ke surau untuk memanjatkan rasa syukur
pada Tuhan. Mereka lebih suka menghambur-hamburkan uang dari hasil panen untuk
berjudi kartu dan dadu, menenggak tuak hingga teller, bersabung ayam.
Berselingkuh, dan nanggap tayub hingga fajar. (Centhini, 2012: 109).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa
latar tempat terdapat di desa Pulung. Sebuah desa yang terbilang makmur, namun
penduduknya merata tidak bersyukur kepada Tuhan. Penduduknya tidak suka
beribadah, tetapi sebaliknya mereka lebih suka melakukan hal yang di larang
oleh agama.
(i)
Goa Langse
Latar tempat di Goa Lengse tergambar dalma kutipan
berikut:
Suatu siang di
dalam salah satu ruangan Goa Langse. Syeh Amongraga yang telah sempurna
menuliskan kitab tentang kisah pengembaraannya itu tampak bersuka cita.
Wajahnya tampak berbinar-binar. Di mata Niken Tambangraras, ia serupa bayi yang
baru dilahirkan dari rahim seorang ibu. (Centhini, 2012: 94).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa
latar tempat terdapat di Goa Lengse. Sebuah goa yang dijadikan tempat oleh Syeh
Amongraga untuk menuliskan sebuah kitab yang berisi tentang kisah
pengembaraannya.
(j)
Gunung Kelud
Latar tempat di gunung Kelud tergamabar dalam kutipan
berikut:
Matahari sore
yang menebarkan cahaya layung perlahan-lahan menyelinap di balik
bukit yang membentang di sepanjang kaki langit barat. Gunung Kelud yang sesiang
tampak anggun tertangkap mata telanjang telah bersembunyi di balik selimut
kabut. Sebentuk anak panak, sekawan burung yang barusan membelah langit telah
kembali ke sarangnya. (Centhini, 2012: 116).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa
latar tempat terdapat di gunung Kelud. Sebuah tempat yang anggun yang masih
berselimutkan kabut.
(k)
Goa Pedali
Latar tempat di goa Pedali tergambar dalam kutipan
berikut:
Senja telah
berganti malam. Jayengresmi, Jayengraga, Kulawiraya, dan Nuripin yang telah
memasuki perut Goa Pedali itu duduk di lempengan batu. Duduk melingkar di bawah
naungan sinar bulan yang menembus lubang lelangit Goa. Lubang yang dijadikan
pintu oleh sekawanan kekelawar untuk keluar dari goa dan
kembali memasukinya. (Centhini, 2012: 116-117).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa
latar tempat terdapat di goa pedali.
Ketika malam tiba, Jayengresmi,
Jayengraga, Kulawiraya, dan Nuripin
memasuki goa tersebut. Mereka duduk melingkar di atas batu yang disinari oleh
sinar rembulan yang masuk ke dalam ruangan goa lewat lubang kecil di langit
goa.
(l)
Desa Trenggalek
Lembuasta
Latar tempat di desaTrenggalek Lembuasta tergamabar dlaam
kutipan berikut:
Dua hari dua
malam; Jayengresmi, Jayengraga, Kulawirya, dan Nuripin menempuh perjalanan jauh
dari kedung Bagong hingga Trenggalek Lembuasta. Di desa itulah, mereka menginap
di rumah Demang Ngabehi Kidang Wiracapa. (Centhini, 2012: 127).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa
latar tempat terdapat di desa Trenggalek Lembuasta. Sebuah desa yang dijadikan
tempat menginap oleh Jayengresmi,
Jayengraga, Kulawirya, dan Nuripin
setelah mereka menempuh perjalanan jauh dari Kidung Bagong.
(m)
Desa Wanasonya
Latar tempat di desa Wanasonya tergamabar dalam kutipan
berikut:
Berhari-hari,
desa Wanasonya tampak lengang dan kehilangan napas kehidupannya. Orang-orang
hanya terduduk di tepian reruntuhan rumah mereka. Merenungi nasib buruk yang
tak mereka tahu kapan berakhirnya. Merenungi sebagian besar keluarga mereka
yang telah tewas sebagai korban bencana alam. Mulut mereka terkunci untuk
meneriakkan beban jiwa yang ditanggungnya. Air mata mereka telah kering untuk
mengungkapkan rasa duka yang teramat dalam. (Centhini, 2012: 140).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa latar
tempat terdapat di desa Wanasonya. Sebuah desa yang masih porak-poranda setelah
dilanda bencana alam. Di desa itu, masih terlihat orang-orang yang masih merenungi
nasib buruk yang menimpa mereka. Merenungi sebagian besar keluarga mereka yang
tewas karena bencana alam itu.
(n)
Hutang Gunung Kidul
Latar tempat di hutan Gunung Kidul tergambar dalam
kutipan berikut:
Dengan langkah
pasti; Kinanthi, Dhandhanggendhis, dan Pangkur yang telah berpamitan dengan
pendeta Hercarana itu meninggalkan padepokan. Menuruni puncak Gunung Lima. Dari
kaki gunung itu, mereka mengarahkan langkahnya menuju hutan Gunung Kidul. Hutan
yang tersohor karena keangkerannya. Hingga hutan itu jauh dari jamahan kaki-kaki
manusia. (Centhini, 2012: 145-146).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa latar
tempat terdapat di hutan Gunung Kidul. Sebuah hutan yang sedang dituju oleh Kinanthi,
Dhandhanggendhis, dan Pangkur. Sebuah hutan
yang tersohor dengan keangkerannya.
2)
Latar Waktu
Latar waktu yaitu suatu latar yang menunjukkan kapan
suatu peristiwa terjadi.
(a)
Pagi
Latar waktu pagi tergambar dalam kutipan berikut ini:
Matahari
menyembul dari balik bukit timur. Kabut yang menggenangi desa Jurang Jangkung
perlahan-lahan tersingkap. Beburung yang berkicauan berloncatan dari dahan ke
dahan pepohonan. Kekupu dan capung-capung berterbangan tanpa menggendong beban
di punggungnya. Semilir angin yang menggetarkan dedaunan dan rerumputan terasa
memberikan kesejukan jiwa. (Centhini, 2012: 11).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa
waktu menunjukkan pagi hari. Hal itu ditandai dengan matahari yang mulai
mneymbul di balik bukit timur. Kabut pun masih menyelimuti desa Jurang Jakung.
Selain kutipan di atas, masih ada lagi yang menggambarkan
waktu masih pagi. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut:
Kokok ayam
jantan pertama terdengar bersahutan di kejauhan. Syeh Amongraga dan Jayengresmi
masih duduk dalam perbincangan. Tidak hanya perbincangan tentang pengetahuan,
namun pula tentang pengalaman
perjalanan Syeh Amongraga yang bermula dari kaki Gunung Giri hingga desa
Wanamarta. (Centhini, 2012: 69).
Adzan subuh
terdengar sayup sampai dari sebuah serambi surau. Tanpa berpikir panjang, Syeh
Amongraga dan Jayengresmi beranjak dari serambi. Bersama Ki Bayi Panurta, Nyi
Malarsih, Ki Kulawirya, Niken Tambangraras, Niken Turida, Niken Rarasati,
Centhini, Nuripin, Mbok Banem, Jamal, dan Jamil; mereka melangkahkan kaki
menuju surau. Menunaikan jamaah solat subuh. (Centhini,
2012:70).
Berdasarkan keduan kutipan di atas, maka dapat kita
ketahui bahwa waktu menunjukkan pagi (subuh). Hal itu ditandai dengan adanya
kokok ayam jantan pertama yang terdengar bersahutan. Setelah itu adzan subuh
terdengar dari sebuah serambi surau, menandakan waktu shalat subuh telah tiba.
(b)
Siang
Latar waktu siang hari tergambar dalam kutipan berikut
ini:
Di naungan
matahari yang semakin terik, Centhini mengatur napasnya yang mulai ngos-ngosan.
Menyeka leleran keringat di wajah dan leher dengan telapak tangan yang kasar.
Dengan memanggul cangkul, ia menuju gubug
di tepian pematang. Duduk di ambenan gubug itu. menenggak air yang keluar dari
lubang moncong kendi. Rasa segar menjalar ke seluruh
tubuhnya. (Centhini, 2012: 12).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa
waktu sudah menunjukkan sianghari. Hal itu di tandai dengan matahari yang
semakin terik ketika Centhini masih bekerja.
Sebagaimana
hari-hari sebelumnya, Jamal selalu menghabiskan waktu siangnya untuk merumput
di ngarai. Manakala ia tengah sibuk dengan sabitnya, seorang perempuan yang
turun dari gigir kuda bertanya,” Numpang Tanya, pak. Apakah Bapak tahu tempat
Ki Ageng Karang? Seorang pintar berilmu kebatinan tinggi yang tinggal di Gunung
Karang ini. Aku ingin berguru padanya. (Centhini, 2012: 53).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa
latar waktu menunjukkan siang hari. Waktu di mana Jamal melakukan aktivitas
seperti biasanya yaitu merumput di ngarai.
Suatu siang di
dalam salah satu ruangan Goa Langse. Syeh Amongraga yang telah sempurna
menuliskan kitab tentang kisah pengembaraannya itu tampak bersuka cita.
Wajahnya tampak berbinar-binar. Di mata Niken Tambangraras, ia serupa bayi yang
baru dilahirkan dari rahim seorang ibu. (Centhini, 2012: 94).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa
waktu menunjukkan siang hari. Pada saat itu, Syeh Amongraga telah menyelesaikan
tulisan yang dia buat yang berisi tentang kisah perjalanannya dalam sebuah
kitab:
Matahari
setinggi tombak. Sesudah berpamitan dan mengucapkan terima kasih pada Banda
Asmara; Jayengresmi, Jayengraga, Kulawirya, dan Nuripin meninggalkan Desa
Pulung. Mereka kembali mengayunkan langkah kaki. Mendaki jalanan berbatu.
Menuju Goa Pedaliyang masihjauh dari tangkapan mata memandang. (Centhini, 2012: 115).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa latar
waktu menunjukkan siang hari. Hal itu terlihat ketika diterangkan bahwa
matahari telah setinggi tombak. Secara tidak langsung berarti matahari itu
tepat atau tegak lurus di ata kepala.
(c)
Sore
Latar waktu yang menunjukkan sore hari terdapat dalam
kutipan berikut:
Semenjak sore,
seluruh murid Jayengresmi sibuk bekerja di pendapa dan di dapur. Mereka yang
ada di pendapa membersihkan lantai tanahanya dengan sapu lidi, sebelum
tikar-tikar mendong di gelar dengan rapimereka yang ada di dapur memasak air
dengan dandang dan menggodok ketela pohon dengan kuali. Sebagian merekka
lainnya, membersihkan cangkir-cangkir dengan serbet, mempersiapkan teko-teko
dan nampan-nampan kayu. (Centhini, 2012: 32).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa
waktu menunjukkan sore hari. Seluruh murid-murid Jayengresmi tampak sedang
sibuk denganpekerjaan masing-masing.
Awan menyelimuti
purnama semenjak senja. Tak ada anak-anak yang bermain sambil melantunkan
tembang-tembang di halaman padepokan Wanamarta. Pohon-pohon sawo yang tumbuh di
halaman padepokan itu tertunduk dalam duka. Seoalah pohon-pohon itu turut bela
rasa pada Bayi Panurta yang tengah berduka atas nasib buruk putrinya Niken Tambangraras. (Centhini, 2012: 107).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa waktu
menunjukkan sore hari. Saat itu awan tampak menyelimuti purnama semenjak senja,
sehingga tidak anak-anak yang bermain sambil melantunkan tembang. Suasana saat
itu memang sama dengan suasana hati Ki Bayi Panurta yang sedang sedih karena
nasib buruk yang menimpa pada anaknya.
Semakin sore,
perbincangan tentang kepergian Syeh Amongraga dari padepokan Wanamarta antara
Ki Nurbayin dengan Jayengresmi dan ketiga kawan seperjalanannya itu semakin
melebar. Tampaknya modin desa longsor itu sengaja membelokkan arah
perbincangannya mengenai ketiga anak perawannya yang sudah dibilang telat
menikah. Karena senja hampir turun, perbincangan mereka di ruangan tamu itu pun
usai. (Centhini, 2012: 124).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa
ketika waktu sudah semakin sore Ki Burbayin dengan Jayengresmi dan ketiga
temannya semakin asik membicarakan mengenai kepergian Syeh Amongraga.
Perbincangan pun semakin melebar yang awlanya hanya membahas tentang Amongraga
beralih memperbincangkan anak perawan Ki Nurbayin yang belumjuga menikah meski
usianya sudah dapat dibilang telat untuk menikah.
(d)
Malam
Latar waktu yang menuntukkan malam hari terdapat dalam
kutipan berikut:
Malam tanpa
bulan dan bebintang. Semilir angin serupa membawa pengaruh mantram aji
begananda. Melenakan orang-orang desa Jurang Jangkung ke dalam rasa kantuktak
berperi. Namun di dalam ruangan depan dan halaman rumah duka, orang-orang masih
khuyuk melakukan dzikir dan tahlilan. (Centhini, 2012: 23-24).
Berdasarkan
kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa waktu menunjukkan malam hari. Malam
yang gelap. Tanpa ada penerangan dari bulan maupun bintang. Keadaan itu membuat
orang-orang di Jurang Jakung terlena dalam kantuk yang tak berperi.
Usai makan
malam, Kinanthi kembali membuka-buka kitab yang ditulis syeh Amongraga itu di
ruangan belajar. Membaca ulang sekilas kisah emaknya yang tertulis di dalam
kitab itu. Semenjak ia mengambdi sebagai babu di padepokan wanamarta hingga
perjalanannya sampai di desa jurang jakung. (Centhini, 2012: 27).
Dari kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa waktu
menunjukkan malam hari. Pada saat itu, seusai makan malam, Kinanthi tampak
membuka-buka kitab yang ditulis oleh Syeh Amongraga mengenai kisah emaknya
semenjak mengabdi sebagai babu di padepokan Wanamarta.
Waktu terus
merayap, malam pun datang. di dalam ruang peraduan, Syeh Amongraga yang barusan menunaikan sholat tengah
malam itu mendengar pintu kamarnya
diketuk lembut dari luar. Tanpa berpikir panjang, Amongraga melangkah ke pintu
yang tidak dikuncinya itu.membukanya tanpa deritan. (Centhini, 2012: 66).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa
latar waktu menunjukkan malam hari. Malam yang semakin merayap hingga tengah
malam. Pada tengah malam itulah Syeh Amongraga melakukan shoalat malam.
3)
Latar Suasana
(a)
Sedih atau menyedihkan
Suasana sedih dalam novel Centhini karya Sri Wintala
Ahmad tergambar dalam kutipan berikut:
Dalam diam,
Centhini mendesah. Teringat keputusannya yang bodoh. Menerima perintah Syeh
Amongraga untuk menikah dengan Monthel. Lelaki bertubuh tambun yang kemudian
menceraikannya sesudah tergoda dengan seorang janda kembang. Meninggalkannya
tanpa mengingat nasib Kinanthi. anak perempuannya yang akan merasa damai
tinggal di antara ayah dan ibunya. (Centhini, 2012: 12).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa
suasana yang timbul dalam kutipan itu adalah sedih, karena Centhini merasa
sedih akan nasib yang menimpanya. Centhini merasa sedih karena suaminya Monthel
tergoda dengan janda kembang dan tega meninggalkannya tanpa memikirkan nasib
Kinanthi.
Matahari telah lingsir. Kinanthi dan Nyi Sartem
meninggalkan padepokan. Sepanjang jalan menuju desa Jurang Jangkung, wajah
Kinanthi senampak langit berselimutkan awan. Saat tiba di rumah, air matanya
serupa gerimis yang mulai turun ke bumi. Hatinya berduka saat menyaksikan
Centhini yang berbaring di amben dengan tubuh lunglai. Wajahnya pasi. Pandangan
matanya berkabut. Bibirnya biru kehitam-hitaman. (Centhini, 2012: 22).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa
Kinanthi merasa sedih ketika melihat ibunya terbaring lemah di atas ranjang merasakan
sakit. Air matanya perlahan jatuh menetes. Wajah Kinanthi senampak langit
berselimutkan awan. Hatinya berduka sekali.
Belum sempat
Kinanthi mengucapkan sepatah kata, napas Centhini tersengal-sengal. Usai
melafalkan lirih kalimat sahadat, ia mengehembuskan
napas terakhir. Kinanthi sontak menjerit. Jeritan yang membuat Nyi Sartem dan
tetangga kiri-kanannya berdatangan. Sebagian
mereka mengurus jenazah Centhini. Sebagian lainnya menghibur Kinanthi yang
terus menderaskan air mata hingga membasahi wajahnya. Bertetesan di lantai
tanah rumahnya. (Centhini, 2012: 23).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa
Kinanthi sedang merasakan kesedihan yang sangat dalam. Kinanthi menjerit secara
tiba-tiba ketika Centhini telah menghembuskan napas terakhirnya. Air matanya
langsung jatuh membasahi wajahnya.
Sebelum matahari
setinggi tombak, seorang lelaki dari desa Wanataka yang mengenakan surjan dan
sarung datang di padepokan Wanatawang. Mengabarkan bila Syeh Mangunarsa telah
berangkat ke alam keabadiannya. Mendengar berita duka
itu; wajah Jayengresmi, Niken Turida, Kinanthi, dan seluruh murid padepokan
Wanatawang sontak serupa matahari yang bercadarkan
awan. (Centhini, 2012: 101-102).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Jayengresmi,
Niken Turida, Kinanthi, dan seluruh murid padepokan Wanatawang merasakan kesedihan. Hati mereka bagai matahari yang
bercadarkan awan mendengar kabar bahwa Sywh Mangunarsa telah berpulang
kepangkuan Illahi.
Seolah
pohon-pohon itu turut bela rasa pada Bayi Panurta yang tengah berduka atas
nasib buruk puterinya, Niken Tambangraras. Seorang pengantin baru yang selalu
mengahabiskan waktunya sendirian di dalam kamar tidurnya. Meratapi nasibnya,
sesudah sekian lama diringgalkan Syeh Amongraga tanpa pamit. Tanpa pesan. (Centhini,2012: 107).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Ki
Bayi Panurta sedang bersedih. Ia memikirkan nasib anak perempuannya, yaitu
Niken Tambangraras yang selalu menghabiskan waktunya sendirian di kamar
tidurnya setelah ditinggal pergi oleh Syeh Amongraga dengan tanpa pamit.
(b)
Bahagia
Suasana bahagia dalam novel Centhini karya Sri Wintala
ahmad tergambar dalam kutipan berikut:
“Dengan senang hati, Centhini. Aku
bersedia mengangkat Kinanthi sebagai siswaku. Bahkan tak hanya aku angkat
sebagai siswa, namun pula sebagai anakku sendiri. Mengingat lelabuhan-mu pada keluarga Panurta sudah
tak dapat diukur dengan harta dan benda itu.”
Beribu-ribu terima kasih,
Denmas. ”Wajah Centhini serupa matahari yang baru saja terbebas dari
perangkap awan. Dalam sekejap, wajah itu dipalingkan
ke arah anak gadisnya. “ Kinanthi…..”(Centhini,
2012: 21).
Berdasarkan
kutipan di atas, dapat diketahui perasaan Centhini yang sangat gembira
mendengar anaknya diterima menjadi siswa sekaligus menjadi anak oleh
Jayengresmi. Wajah Centhini bagai matahari yang baru terbebas dari perangkap
awan. Terang sekali tanpa ada awan yang menyelimuti.
“Dengan demikian, kamu telah menerima Kisanak
Amongraga sebagai calon suamimu? Begitu?”
Niken
Tambangraras menganggukkan kepala.
“ Lega hatiku!”
Wajah Ki Byi Panurta sontak serupa matahari yang baru saja melepaskan cadar
awannya. “Nak Amongraga! Berhubung telah memenagkan sayembara, maka Nak
Amongraga jangancepat-cepat mencari adik perempuanmu itu! karena beberapa hari
lagi, aku ingin menikahkanmu dengan Tambangraras.” (Centhini, 2012: 65).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Ki
Bayi Panurta sedang merasakan suatu kebahagian. Anaknya Niken Tambangraras
telah menerima seorang Laki-laki bernama Syeh Amongraga sebagai suaminya
setelah Syeh Amongraga memenangkan
sayembara.
Betapa erat, Syeh Amongraga
memeluk Niken Rancangkapti yang kemudian menderaikan air mata kebahagiaan di
ranum pipinya. Betapa bangga, Syeh Amongraga pada adik bungsunya yang sekian
lama dirindukannya itu telah
sanggup melintasi cobaan demi cobaan hidup, sesudah Kasunanan Giri dapat
dicengkeram kuku-kuku kekuasaan Sultan Agung dari Mataram. (Centhini, 2012: 83-84).
Berdassarkan
kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Syeh Amongraga merasakan kebahagiaan.
Akhirnya berkat kesabarannya ia dapatbertemu kembali dengan adiknya Niken
Rancangkapti.
(c)
Mengerikan
Suasana mengerikan yang timbul dalam novel Centhini karya
Sri Wintala Ahmad tergambar dalam kutipan berikut:
Malam demi malam
telah dilalui Kinanthi dengan bersamadi di dasar sendang Klampeyan. Pada malam
ketujuh, ia telah melintasi godaan demi
godaan dari bangsa iblis yang berwujud lelaki tinggi besar bertubuh legam
dengan gigi-gigi bertaring sebesar gading gajah, berkuku sebesar pisang ambon;
pocongan, kuntilanak, banaspati, dan wedhon. (Centhini,
2012: 29).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa
Kinanthi merasakan sesuatu yang mengerikan mengahampirinya. Pada saat malam
ketujuh ia bertapa di sendang Klampeyan banyak sekali godaan-godaan yang
melintasinya. Godaan itu seperti iblis yang berwujud
lelaki tinggi besar bertubuh legam dengan gigi-gigi bertaring sebesar gading
gajah, berkuku sebesar pisang ambon; pocongan, kuntilanak, banaspati, dan
wedhon.
Dalam
sekejap, pasukan Mataram mendapatkan perlawanan dari pasukan Giri. Karena tak
siap umtuk melakukan pertempuran, pasukan Giri dapat dilumpuhkanp pasukan
Mataram hanya dalam beberapa gebrakan. Mayat-mayat dengan kepala terpisah
dengan raga. Mayat-mayat dengan dada berlubang hingga menembus punggungnya.
Mayat-mayat dengan usus menjurai keluar dari perutnya. Darah menggenangi
alun-alun. (Centhini, 2012: 41).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa
suasana mengerikan terjadi ketika Kasunanan Giri diserbu oleh pasukan Mataram.
Akibatnya terjadi pertempuran yang hebat. Banyak mayat yang meninggal karena
terpenggal, banyak dada yang berlubang hingga menembus punggungny, serta yang
lebih mengeraikan lagi yaitu banyak mayat dengan usus menjurai keluar dari
perutnya, sehingga darah menggenangi alun-alun.
(d)
Resah / gelisah
Suasana resah dalam novel Centhini karya Sri Wintala
Ahmad tergambar dalam kutipan berikut:
“Nak
Jayengresmi….” Ki Wiracapa membuka pembicaraan dengan wajah yang meyiratkan
ketenangan hati paling dalam. “Sudah dua hari, Nak Jayengresmi tinggal di gubugku ini. Namun rasanya, Nak Jayengresmi tampak selalu
gelisah. Sesungguhnya apa yang tengah Nak Jayengresmi rasa dan pikirkan? Apakah
sambutan yang kami berikan kurang berkenan bagi Nak Jayengresmi?” (Centhini, 2012: 128).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa
Jayengresmi sedang merasakan kegelisahan. Hal itu diungkapkan oleh Ki Wiracapa
ketika mengamati sikap Jayengresmi selama dua hari tinggal di gubuknya. Hingga
akhirnya ia menanyakan pada Jayengresmi mengenai masalah apa yang ada dalam
dirinya, apakah kurang puas dengan pelayanan yang diberikan oleh keluarga Ki
Wiracapa, atau ada masalah yang lain. Hingga akhirnya Ki Wiracapa mengetahui
penyebab kegelisahan pada diri Jayengresmi.
(e)
Menakutkan
Suasana menakutkan dalam novel Centhini karya Sri Wintala
Ahmad tergambar dalam kutipan berikut:
Awan menggantung
tebal di langit desa Longsor. Kilat menyambar-nyambar bagaikan naga api. Guntur
meledak hingga memekakkan telinga. Angin kencang
bersiutan menggoyang-goyangkan pepohonan. Tak lama kemudian, hujan pun bagai
ditumpahkan dari langit ke permukaan bumi. (Centhini, 2012: 125).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa
suasana di desa longsor sangat menakutkan. Kilat yang menyambar bagai naga api,
guntur meledak hingga memekakkan telinga, ditambah lagi angin kencang yang
terus saja menggoyang-goyangkan pepohonan.
(f)
Ramai
Suasana ramai dalam novel Centhini karya Sri Wintala
Ahmad tergambar dalam kutipan berikut:
Orang-orang
semakin merapat ke arena, manakala gending pembuka
pertunjukan tayub mulai ditalukan oleh sekawanan wiyaga. Mereka pun sontak bersorak sorai, manakala tiga penari muda
berparas menawan, berselendang kuning ganding, berjarik sidomukti, dan
berkemben cinde itu memasuki arena. Seirama rampak gamelan, tepakan gendang,
dan lantunan tembang dari seorang sindhen;
tiga penari itu mulai memainkan
selendang, lirikan mata, dan pantatnya. (Centhini, 2012: 72-73).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa
suasana dalam pertunjukkan tayub adalah ramai. Hal itu terlihat banyaknya orang
yang datang untuk melihat pertunjukkan tayub. Di tambah lagi dengan suara
gemuruh bunyi alat musik pengiring ketika menari.
Suatu malam
seusai waktu ‘isya, jayengresmi, Jayengraga, Kulawirya, danNuripin berkumpul
dan berbincang dengan keluarga besar Ki Wiracapa di ruangan pendapa joglo yang
cukup megah. Mereka tak hanya Ki Wiracapa dan
istrinya, melainkan pula keempat puteranya - Ni Widaryati, Wirabancana,
Wirangkara, Wirabraja; serta RaraWiduri keponakannya yang berparas jelita itu. (Centhini, 2012: 127-128).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa
suasana di ruangan pendapa joglo tampak ramai. Keramaian itu disebabkan oleh
banyaknya orang yang berkumpul dan berbincang di dalam ruangan itu.
Tiga hari
setelah lamaran itu, pesta pernikahan Jayengraga dengan Rara Widuri dimeriahkan
dengan pertunjukan kesenian. Tak hanya reyog yang digelar siang hari, namun pula wayang kulit yang
digelar malam harinya. Hingga banyak orang desa Trenggalek Lembuasta bilang,
bahwa ndalem kademangan pada siang dan malam itu seramai pasar tiban. (Centhini, 2012: 131).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa
suasana pernikahan antara Jayengraga dengan Rara Widuri sangatlah ramai dan
meriah. Hal itu terjadi karena pernikahan itu di meriahkan dengan pertunjukkan
kesenian baik siang maupun malam hari.
(g)
Mengharukan
Suassana mengerikan dalam novel Centhini karya Sri
Wintala Ahmad tergambar dalam kutipan berikut:
Betapa erat, Syeh Amongraga
memeluk Niken Rancangkapti yang kemudian menderaikan air mata kebahagiaan di
ranum pipinya. Betapa bangga, Syeh Amongraga pada adik bungsunya yang sekian
lama dirindukannya itutelah sanggup melintasi cobaan demi cobaan hidup, sesudah
Kasunanan Giri dapat dicengkeram kuku-kuku kekuasaan Sultan Agung dari Mataram (Centhini, 2012: 83-84).
Berdasarkan
kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Syeh Amongraga merasa terharu karena
telah bertemu dengan adiknya Niken Rancangkapti. Ketika ia bertemu dengan
adiknya, ia langsung memeluk adiknya dengan erat. Perasaan Syeh Amongraga
sangat bahagia dan haru, hingga ia menderaikan air matanya.
Dengan rasa
penuh haru, Syeh Amongraga melangkah ke arah Ki Bayi Panurta dan Nyi Malarsih.
Seusai melakukan sembah bakti pada kedua mertuanya, ia bangkit dan menjabat
tangan Jayengresmi, Jayengraga, Ki Kulawirya, dan Nuripin. Menjelang matahari
bersinggasana di puncak bukit barat, mereka memasuki gubug. Menikmati hidangan
sekadarnya, berbincang, dan melepaskan rasa rindu (Centhini, 2012: 89-90).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa
pertemuan antara Syeh Amongraga dengan Ki Bayi Panurta dan Nyi Malarsih terasa
sangat mengharukan. Amongraga tidak hanya bertemu dengan Bayi Panurta dan Nyi
Malarsih, tetapi juga bertemu dengan Jayengresmi,
Jayengraga, Ki Kulawirya, dan Nuripin.
(h)
Sepi
Suasana sepi dalam novel Centhini karya Sri Wintala Ahmad
tergambar dalam kutipan berikut:
Suatu malam
seusai waktu isya, jayengresmi, Jayengraga, Kulawirya, dan Nuripin berkumpul dan berbincang dengan
keluarga besar Ki Wiracapa di ruangan pendapa joglo yang cukup megah. Mereka tak hanya Ki Wiracapa dan
istrinya, melainkan pula keempat puteranya - Ni Widaryati, Wirabancana,
Wirangkara, Wirabraja; serta Rara Widuri
keponakannya yang berparas jelita itu. Namun menjelang tengah malam, ruangan pendapa itu tinggal
menyisakan Ki Wiracapa dan Jayengresmi (Centhini, 2012: 127-128).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa
suasana tengah malam terasa sepi, karena di ruangan pendapa yang awalnya ramai
tinggal Ki Wiracapa dan Jayengresmi.
(i)
Lengang
Suasana lengang dalam novel Centhini karya Sri Wintala
Ahmad tergambar dalam kutipan berikut:
Suasana di dalam
Goa Pedali sejenak lengang dari suara manusia. Hanya suara cerecet sekawanan
kekelawar, derik ular, dan senandung serangga yang
mengisi celah-celah kesunyian malam. Namun seusai semilir angin beraroma
serimpi menembus lubang lelangit goa itu, Nyi Pedali mengawali kisahnya (Centhini, 2012: 118).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa
suasana di Goa Pedali sejenak terasa lengang, tidak ada suara manusia, yang ada
hanyalah suara cerecet sekawan kekelawar, derik ular, dan senandung serangga.
(j)
Meriah
Suasana meriah dalam novel Centhini karya ri Wintala
Ahmad tergambar dalam kutipan berikut:
Tiga hari
setelah lamaran itu, pesta pernikahan Jayengraga dengan Rara Widuri dimeriahkan
dengan pertunjukan kesenian. Tak hanya reyog yang digelar siang hari, namun pula wayang kulit yang
digelar malam harinya. Hingga banyak orang desa Trenggalek Lembuasta bilang,
bahwa ndalem kademangan pada siang dan malam itu seramai pasar tiban (Centhini, 2012: 131).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat
diketahui bahwa pesta pernikahan antara Jayengraga dengan Rara Widuri sangat
meriah karena ada pertunjukkan kesenian . pertunjukkan itu tidak hanya pada
siang hari, tetapi juga pada malam hari.
B.
Pembahasan
Sastra
adalah karya dan kegiatan seni yang berhubungan dengan ekspresi dan kejiwaan
yang berupa pengalaman dan imajinasi pengarang. Dengan membaca karya sastra
kita dapat memahami berbagai macam kehidupan manusia dan segala permasalahan
yang diungkapkan sehingga dapat menambah pengalaman serta pelajaran hidup bagi
kita.
1)
Etika Jawa
(a)
Etika Wong Cilik
“Ma’af,
Centhini!” Niken Turida sejenak terdiam. “Oh ya, Centhini. Masuklah dulu ke
pendapa!”
Beserta
Kinanthi, Centhini memasuki pendapa padepokan Wanatawang dengan langkah penuh
sopan santun. Seuasai duduk bersimpuh di lantai pendapa yang berhamparkan tikar
mendong, Centhini terrsentak manakala kedua
matanya menyaksikan lukisan yang melekat di
tembok samping kanan pintu penghubung pendapa dengan ndalem njero itu.
(Centhini, 2012: 19)
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa
Centhini yang sedang bertamu di rumah Niken Turida. Sebagai seorang yang
statusnya hanylah seorang babu Centhini dengan diikuti anaknya Kinanthi masuk
dan duduk bersimpuh selayaknya orang yang berasal dari kalangan bawah.
“Oh mangga! Mangga!” Lelaki paruh baya yang tak lain Ki Ageng
Karang itu menyambut dengan tawa renyah. Silakan! Silakan duduk, KIsanak
sekalian!”
“Terima
kasih.”
“Oh
ya, Kisanak. Kalau boleh tahu, Kisanak bertiga ini siapa namanya?”
“Aku
Gathak.”
“Gathuk
dan Gathak. Dua nama unik yang terdengar lucu.” Ki Ageng Karang yang tertawa
lepas itu mengalihkan pandangannya pada Jayengresmi. “Lha …. Kalau nama Kisanak
yang berparas tampan ini siapa?”
“Apa sampeyan belum pernah mendengar nama
Pangeran Jayengresmi dari Kesunanan Giri?” Dengan sikap jumawa, Gathak sontak nimbrung
dalam pembicaraan. “Beliau ini Pangeran Jayengresmi, Ki.”
“Benarkah
demikian, Kisanak?”
Jayengresmi
mengangguk pelan sembari melepaskan senyuman samar. Sontak Ki Ageng Karang
turun dari lincak. Duduk bersila di tanah. Menghaturkan sembah. “Mohon ampun,
Pangeran. Hamaba tak tahu bila yang datang ke gubug hamba adalah putera mahkota
Kanjeng Sunan Giri Parapen.” (Centhini, 2012: 50-51)
Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Ki
Ageng Karang yang notabenya berasal dari kalangan bawah atau wong cilik melakukan sembah bakti kepada
Syeh Amongraga, seorang pangeran dari Kasunanan Giri.
“Centhini!”
Ki Bayi Panurta memanggil Centhini dengan suara lantang dari ruangan pendapa.
Sesudah abdi setia Niken Tambangraras itu menghadap, orang terhormat dari desa
Wanamarta itu berkata, “Tolong panggilkan Tambangraras untuk menghadapku di
pendapa!”
“Sendika, Tuan.” Centhini meninggalkan
ruangan pendapa. Tak lama kemudian, ia telah kembali memasuki pendapa beserta
Niken Tambangraras. “Den Ayu Tambangraras telah menghadap, Tuan.”
“Terima
kasih. Kembalilah ke dapur!” Selepas Centhini dari pendapa, Ki Bayi Panurta
mengarahkan pandangannya pada Niken Tambangraras. “Duduk, anakku!”
“Ya,
Ayah.” (Centhini, 2012: 63)
Berdasarkan kutipan di atas, dapat dikethaui bahwa
Centhini adalah seorang babu di rumah Ki
Bayi Panurta. Sebagai seorang babu, ia selalu menuruti apa yang diperintahkan
oleh Tuannya. Seperti ketika Centhini disuruh untuk memanggilkan Niken
Tambangraras, Centhini langsung melaksanakannya. Hal itu sesuai dengan etikanya
wong cilik yang harus memenuhi segala
permintaan dan menuriti segala perintah Tuannya.
“Terima
kasih, Nyai.” Kinanthi bersujud di hadapan perempuan paruh baya itu. tanpa
pertolongan Nyai, aku pasti menjadi boneka birahi orang-orang itu.”
“Seharusnya
kamu tidak perlu berterima kasih padaku, cah
ayu. Sebaliknya, aku meminta ma’af padamu atas kekurangajaran murid-muridku
itu.” Perempuan paruh baya menghirup semilir angin sore. “Tapi, sudahlah!
Lupakan itu semua!” (Centhini, 2012: 149)
“Inna
lillahi wa inna illaihi roji’un.” Perempuan paruh baya itu menitikkan air
mata di pipinya. “Tidak aku sangka kalau Kakang Jayengresmi, Mbakyu Niken
Turida, dan Mbakyu Niken Rarasati telah mendahuluiku untuk menghadap Gusti Kang
Murbeng Dumadi.”
“Tampaknya
Nyai telah mengenal Guru Jayengresmi, Ibu Niken Turida, dan Niken Rarasati?
Sesungguhnya siapa Nyai ini?”
“Akulah
orang yang ingin kamu temui itu, Kinanthi.”
“Jadi…” Kinanthi sontak terperangah. “Nyai adalah
Gusti Ayu Niken Rancangkapti?”
Perempuan
paruh baya itu menganggukkan kepalanya dengan pelan. Tanpa berpikir panjang,
Kinanthi yang kemudan diikuti Dhandhanggendhis dan pangkur itu menghaturkan
sembah dengan serempak. “Seribu ampun, Gusti Ayu Niken Rancangkapti. Sama
sekali, hamba tak tahu bila yang telah melindungi hamba di hutan ini adalah
Gusti ayu.” (Centhini, 2012: 150-151)
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa
Kinanthi beserta Dhandhanggendhis dan pangkur mengahturkan sembah bakti sebagai seorang bawahan kepada
atasan, karena Gusti Ayu Niken Rancangkapti merupakan seorang wanita keturunan
dari Kasunanan Giri. Sudah selayaknya dan semestinya Kinanthi melakukan itu
karena statusnya dia hanyalah orang kecil yang harus menghormati wong gedhe.
(b) Etika
Wong Gedhe
“Ma’af,
Centhini!” Niken Turida sejenak terdiam. “Oh ya, Centhini. Masuklah dulu ke
pendapa!”
Beserta
Kinanthi, Centhini memasuki pendapa padepokan Wanatawang dengan langkah penuh
sopan santun. Seuasai duduk bersimpuh di lantai pendapa yang berhamparkan tikar
mendong, Centhini terrsentak manakalakedua matanya menyaksikan lukisan yanh
melekat di tembok samping kanan pintu penghubung pendapa dengan ndalem njero
itu. lukisan keluarga Ki Bayi Panurta. Mereka duduk di kursi pendapa dengan
wajah berseri dan pandangan mata secerlang bintang panjer isuk.
“Centhini…..”
“Ya,
Den Ayu.”
“Kalau
boleh tahu, apa maksud kedatanganmu bersama Kinanthi di padepokan?”
“Tak
ada maksud hamba, selain ingin menghadap Denmas Jayengresmi.”
“Oh
…. Begitu.” Niken Turida mengangguk-anggukkan kepala. “Baiklah. Tunggu
sebentar!”
Suasana
pendapa padepokan Wanatawang senyap. Tak lama kemudian, suasan itu pecah saat
Jayengresmi yang usai menyantap makan siang itu muncul di pendapa. Duduk di
depan Centhini dan Kinanthi dengan wajah menyiratkan kewibawaan seorang guru.
“Sembah
bakti pada Denmas Jayengresmi.”
“Centhini.”
“Ya,
Denma.”
“Aku
ini bukan raja. Aku tidak berkuasa menerima sembah baktimu. Ketahuilah,
Centhini! Aku hanya seorang manusia lumrah. Makhluk Tuhan yang sederajat dengan
manusia lainnya. Aku takut mendapatkan kutukan dari Tuhan. penguasa semesta
yang berhak mendapatkan smebah bakti dari setiap manusia.” (Centhini, 2012:
19-20)
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa
Jayengresmi termasuk orang dalam kalangan yang biasa disebut dengan wong gedhe. Walaupun begitu, Jayengresmi
tidak angkuh ataupun sombong dengan hal itu. Ia tetap menghormati orang yang di
bawahnya (wong cilik). Hal itu
terlihat ketika Centhinimemberikan sembah bakti kepadanya. Dia malah menolak.
Dengan kerendahan hatinya dia menerangkan bahwa yang berhak untuk Centhini
semmbah hanyalah Tuhan, bukanlah dia.
“Dengan
senang hati, Centhini. Aku bersedia mengangkat Kinanthi sebagai siswaku. Bahkan
tak hanya aku angkat sebagai siswa, namun pula sebagai anakku sendiri.
Mengingat lelabuhan-mu pada keluarga
Panurta sudah tak dapat diukur dengan harta dan benda itu.”
“Beribu-ribu
terima kasih, Denmas.” Wajah Centhini serupa matahari yang baru saja terbebas
dari perangkap awan. Dalam sekejap, wajah itu dipalingkan ke arah anak
gadisnya. “Kinanthi…”(Centhini, 2012: 21)
Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa
Jayengraga benar-benar tidak membedakan manusia dari tingkatan sosialnya. Hal
tersebut dapat dilihat ketika Centhini memasukkan anaknya Kinanthi untuk
berguru dengannya, dengan sikap yang bijak, Jayengresmi menerima Kinanthi
sebagai siswanya sekaligus menjadikannya sebagai anaknya sendiri. Hal tersebut
membuktikan bahwa Jayengresmi adalah orang yang sangat baik, ia mau menjadikan
Kinanthi sebagai anaknya meskipun ia tahu bagaimana latar belakang sosial orang
tuanya.
“Mohon ampun, Rama Sultan.” Pangeran Pekik
menggeser duduknya ke depan hingga mendekati singgasana Sultan Agung. “Seusai
Sunan Giri Parapen dapat ditaklukkan, Diajeng Pandansari memasuki istana untuk
menangkap ketiga putera Giri. Namun, mereka telah lolos dari istana……”
“Lantas?”
“Tanpa
bisa hamba cegah, Diajeng Pandansari memburu ketiga putera Giri itu.”
“Pekik!”
“Ya,
Ramanda Sultan.”
“Kamu
telah bersalah besar. Karenanya, tebuslah kesalahanmu itu dengan membawa
Pandansari pulang ke Mataram! Jangan sekali-kali menghadapku, sebelum kamu
membawa pulang adikmu itu!”
“Baiklah
Rama, hamba mohon pamit.”
“Segera
pergi! Temukan dan bawalah pulang adikmu!” Sultan Agung memalingkan wajahnya ke
arah Tumenggung Alap Alap. (Centhini, 2012: 45-46)
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa
Sultan Agung sedang marah dengan apa yang telah dilakukan oleh Pangeran Pekik
dan Tumenggung Alap Alap. Sultan Agung adalah orang yang masuk dalam golongan wong gedhe. Sebagai wong gedhe ia dapat melakukan apa saja, termasuk memberikan hukuman
kepada yang salah. Seperti kepada anaknya dan Tumenggung Alap Alap. Hukuman
yang diberikannya pun sesuai dengan kesahan yang telah dilakukannya.
“Tidak
salah, Tuan,” Dharmengbudi menjawab sembari tertawa kecil. “Telah
bertahun-tahun kami melakukan lelana
brata. Namun belum ada seorang guru yang mengajarkan hamba tentang ilmu
sejati. Karenanya bila Tuan berkenan, ajarkan hamba tentang ilmu sejati!”
“Kisanak
Dharmengbudi ini aneh! Aku ini hanya seorang manusia lumlah. Manusia yang
serupa katak dalam tempurung. Bagaimana aku dapat mengajarkan Kisanak tentang
ilmu sejati?”
“Tuan
….” Ragaresmi nimbrung dalam pembicaraan. “Janganlah Tuan terlalu merendah
hati! Melalui bisikan hati yang hamba terima, Tuan bukan seorang yang lumrah.
Tapi, Tuan adalah seorang pinunjul yang telah menguasai ilmu baik yang bersifat
lahir maupun batin. Karenanya jarkan hamba tentang ilmu sejati, Tuan! Ilmu yang
kelak akan menjadi pedoman hidup dan pelita hati hamba. Bukankah islam
mengajarkan, bila seorang meninggal hanya tiga hal yang dapat menjadi kunci
surge. Anak soleh, amal jariyah, dan ilmu yang bermanfaat bagi orang lain?”
Mendengar
penuturan Ragaresmi, Syeh Amongraga menghela napas panjang. “Baiklah! Aku akan
mengajarkan Kisanak sekalian tentang ilmu sejati itu.”
“Wah…
terima kasih, Tuan,” jawab Dharmengbudi dan Ragaresmi serempak. “ Karena Tuan
telah berkenan, maka kami siap untuk menerima wejangan itu.”
“Kisanak
sekalian, ketahuilah! Ilmu bisa dikatakan sejati, bila dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. ……. (Centhini, 2012: 97)
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa
Syeh Amongraga adalah pangeran dari kasunanan Giri. Ia sudah banyak mempelajari
ilmu baik yang bersifat lahir maupun Batin. Meskipun begitu ia masih merasa
kurang. Menurutnya masih banyak hal yang perlu ia pelajari sehingga ia
mengumpamakan dirinya bagai katak dalam tempurung. Ia bersikap begitu ketika
ada seseorang yang ingin berguru padanya. Awalnya Syeh Amongraga tidak mau
namun akhirnya ia pun mau. Syeh Amongraga (wong
gedhe) banyak memberikan nasihat yang dapat berguna dalam menjalani suatu
kehidupan.
(c) Etika
Anak Dan Istri
“Kamu
sudah terbangun Kinanthi? Apakah otot bebayu-mu
sudah pulih kembali sesudah bersemadi di sendang Klampeyan?”
“Sudah,
Ibu.”
“Syukurlah!
Niken Turida tersenyum lega. “Sekarang mendilah! Kenakan pakaian yang bagus!”
“Memangnya
ada apa, Ibu?”
“Sudahlah,
Kinanthi. Nanti kamu akan tahu sendiri.” Mendengar jawaban Niken Turida,
Kinanthi tak lagi bertanya. Sekalipun rasa keingintahuannya tentang alasan
kesibukan ibu angkatnya, Nyai Darsinah, dan seluruh siswa Jayengresmi di
pendapa dan di dapur semakin mengganggu pikirannya. Terlebih saat ia diminta
mengenakan pakaian yang bagus. Permintaan aneh yang tak pernah didengar
sebelumnya.
“Kenapa
kamu hanya berdiri termangu di situ, Kinanthi? Segeralah mandi dan kenakan
pakaian yang begus! Sebentar lagi senja.”
Kinanthi
mengangguk pelan. Meningglakan pringgitan. Memasuki kamar pribadinyamengambil
kain jarik dan kebayanya yang bagus. Menuju sumur di belakang padepokan.
Menimba air untuk dituang ke dalam lubang batang bamboo yang menembus salah
satu sisi tembok kamar mandi dan mengarah lempang di atas bak batu putih.
Sesudah iar memenuhi bak, ia memasuki kamar mandi yang berdinding gedek dan
beratap genting itu. menutup pintunya. (Centhini, 2012: 33-34)
Berdasarkan kutipan di atas,
dapat diketahui bahwa Niken Turida sangatlah sayangdan perhatian pada Kinanthi. Padahal, Kinanthi bukanlah
anak kandungnya. Sebagai seorang ibu, Niken
Turida selalu memberikan kasah sayang dan perhatian pada anak angkatnya dengan
sepenuh hati. Halitu terlihat ketika Kinanthi selesai melakukan laku tapa, dan
Niken Turida menanyakan bagaimana kondisi Kinanthi, bahkan Niken Turida dan
suaminya telah mempersipakan acara selamatan untuk Kinanthi yang telah berhasil
melakukan laku tapa, itu pun tanpa sepengetahuan Kinanthi.
“Beliau
orang terhormat di padepokan Wanamarta. Pada keluarga Ki Bayi, aku dan nenekmu
bekerja sebagai babu. Orang-orang yang dikastakan di tingkatan sudra. Semoga
kamu tidak malu mempunyai nenek dan simbok yang pernah bekerja sebagai babu.
Tidak bisa baca dan tulis. Bisanya hanya memeras keringat dari tubuhnya untuk
memenuhi perintah juragan yang mengupahnya. Untuk itu, kamu harus belajar!
Mumpung usiamu masih belia. Biar kelak, kamu tidak hanya hidup sebagai babu.”
“Ya,
Mak. Tetapi pada siapa aku harus belajar? Di desa Jurang Jangkung kan belum ada
seorang guru yang bisa mengajarkan aku untuk bisa membaca dan menulis?”
“Memang,
Nduk. Tapi bila kamu ingin belajar, aku dapat membawamu ke padepokan Wanatawang
. di padepokan itulah, kamu dapat
belajar pada Denmas Jayengresmi.” Centhini sejenak teringat pada putra sulung
Ki Bayi Panurta dan Nyi Malarsih yang berwajah tampan dan berrkepribadian halus
itu. “Bagimana, Nduk? Apakah kamu bersedia untuk mencecap ilmu dari beliau?”
“Tentu,
Mak.”
“Bagus!”
Wajah Centhini senampak langit biru berlulurkan cahaya matahari. “ Kalau begitu
persiapkan perbekalan secukupnya. Sebelum matahari terbit esok pagi, kita harus
meninggalkan desa Jurang Jangkung. Pergi ke padepokan Wanatawang.”(Centhini,
2012: 13-14)
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa
Centhini sangat sayang pada anaknya. Ketika
memberikan nasihat pun ia selalu menggunakan nada yang rendah dan dengan
bahasa yang baik. Sebagai seorang ibu yang menginginkan kehidupan anaknya lebih
baik darinya, mencoba untuk memberikan
arahan pada Kinanthi untuk mulai belajar membaca dan menulis, agar kelak tidak
seperti ibunya yang hanya bisa bekerja sebagai babu, karena memang itu yang
dapat ia kerjakan. Itulah wujud kasih sayang Centhini kepada anak satu-satunya itu.
Centhini
beranjak dari duduknya. Sesudah berjabat tangan dengan Jayengresmi dan Niken Turida, ia meninggalkan padepokan.
Tanpa disertai Kinanthi, ia melangkah pulang ke desa Jurang Jangkung. Sepanjang
perjalanan, wajahnya tampak sumringah.
Mengingat anak semata wayangnya kelak tak akan lepas dari kudangan. Hidup berbahagia dengan berbekal ilmu pengetahuan.
Lentera bagi khalifah di sepanjang jalan kegelapan. (Centhini, 2012: 21)
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa
Centhini rela berpisah dengan anaknya agar nantinya Kinanthi bisa hidup lebih
baik darinya. Bisa membaca dan menulis. Meski harus berpisah dengan anak semata
wayangnya, Centhini tetap merasa bahagia.wajahnya tampak semringah. Itu bagian
dari kasih sayang yang dapat Centhini berikan pada Kinanthi.
Kinanthi
tersentak, saat pintu kamarnya diketuk Niken Turida. Tanpa berpikir panjang,
Kinanthi beranjak dari kursi. Membuka pintu itu tanpa deritan. “Oh…..,Ibu
Turida. Apakah ada pekerjaan yang harus aku laksanakan?”
“Tidak
ada, Kinanthi.” Niken Turida menjawab dengan lembut. “Malam ini, ayahmu ingin
berbicara denganmu. Beliau telah menunggumu di pendapa.”
“Baiklah,
ibu. Aku akan segera ke pendopo.”
Selepas
Niken Turida, Kinanthi meletakkan kitab yang ditulis Syeh Amongraga itu di atas
mejanya. Melangkahkan kakinya menuju ruang pendapa. (Centhini, 2012: 27)
Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa
Kinanthi termasuk anak yang rajin dan penurut. Sebagai seorang anak, ia sangat
berbakti pada kedua orangtuanya. Ia selalu menuruti apapun perintah orang
tuanya. Hal itu terlihat ketika Niken Turida meminta Kinanthi untuk segera
menemui Jayengresmi di ruang pendapa. Tanpa pikir panjang Kinanthi langsung
meletakkan kitab yang sedang ia baca dan segera menemui ayahnya Jayengresmi di
ruang pendapa.
2)
Moral Jawa
(a) Sabar
Di naungan matahari yang semakin terik , Centhini
mengatur napasnya yang mulai ngos-ngosan. Menyeka leleran keringat di wajah dan
leher dengan tapak tangannya yang kasar. Dengan memanggul cangkul, ia menuju
gubuk di tepian pematang. Duduk di ambenan gubuk itu. menenggak air yang keluar
dari lubang mencong kendi. Rasa segar menjalar ke seluruh tubuhnya.
Dalam
diam, Centhini mendesah. Teringat pada keputusannya yang bodoh. Menerima
perintah Syeh Amongraga untuk menikah dengan Monthel. Lelaki bertubuh tambun
yang kemudian menceraikannya sesudah tergoda dengan janda kembang.
Meninggalkannya tanpa mengingat nasib Centhini. Anak perempuan semata wayangnya
yang akan merasa damai tinggal di antara ayah dan ibunya (Centhini, 2012: 12).
Berdasarkan kutipan di atas, centhi bersikap sabar atas
apa yang terjadi padanya. Ia sabar menerima keputusan suaminya yang
menceraikannya karena ia tergoda oleh janda kembang.
“Ayah
….” Jayengresmi bicara dengan nada
lembut dan santun. “Kepedihan Kangmbok Tambangraras atas kepergian Kakang Amongraga yang tanpa pamit dan pesan
itu tidak cukup hanya untuk diratapi!”
“Bagaimana
aku tak meratapinya, Jayengresmi? Kenapa mbakyumu harus menerima nasib seburuk
ini. ditinggal suaminya sendirian. Sekalipun, aku tahu kalau kepergian mantu Amongraga itu mencari adik perempuanya.
Namun, kenapa ia pergi tanpa pamit. Datang baik-baik. Pergi seperti maling.”
“Sudah!
Sudah, Ayah! Tak perrlu marah!”
“Bagaimana
aku tak marah? Bagaimana kata orang-orang pada mbakyumu nanti. Mereka akan
bilang; Tambangraras tak ubah sekarat tebu. Habis manis, sepah dibuang!”
“Aku
tahu, Ayah. Tetapi amarah ayah itu tidak akan pernah menyelesaikan persoalan.”
Jayengresmi terdiam sesaat. “Hanya dengan mencari Kakang Amongraga dan
memintanya pulang ke Padepokan Wanamarta adalah jalan terbaik, Ayah.”
Bayi
Panurta menghirup napas dan menghempaskannya kuat-kuat. “Apa yang kamu katakna
itu benar, Jayengresmi! Lantas …..Siapakah orang yang tepat untuk mencari Kakak
iparmu itu?” (Centhini, 2012: 108).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa
Jayengresmi mempunyai sikap yang sabar dari pada ayahnya. Jayengresmi terlihat
lebih sabar dalam mengahdapi masalah adiknya Niken Tambangraras. Berbeda dengan
ayahnya yang pemarah. Ki Bayi Panurta marah pada sikap Amongraga yang
meninggalkan anaknya begitu saja tanpa pamit,
namun tidak bagi Jayengresmi. Ia tetap sabar dan berpikiran positif
serta tetap tenang, sehingga ia dapat menemukan jalan keluar untuk membantu
menyelesaikan masalah adiknya.
Berhari-hari,
desa Wanasonya tampak lengang dan kehilangan napas kehidupannya. Orang-orang
hanya terduduk di tepian reruntuhan rumah mereka. Merenungi nasib buruk yang tak mereka tahu
kapan berakhirnya. Merenungi sebagian besar keluarga mereka yang telah tewas
sebagai korban bencana. Mulut mereka terkunci untuk meneriakkan beban jiwa yang
ditanggungnya. Air mata mereka talah kering untuk mengungkapkan rasa duka yang
teramat dalam. Sebagaimana orang-orang desa Wanasonya, Kinanthi yang
tergoncang jiwanya sesudah kematian
Jayengresmi, Niken Turida, dan sebagian murid padepokan Wanatawang itu
perrlahan-lahan bangikt. Tak ada yang terselip di dalam benak kepalanya, selain
hasratnya untuk menghadap Syeh Agungrimang dan Niken Rancangkapti. Meminta
bantuan sandang, pangan, dan topangan jiwa bagi orang-orang desa Wanasonya yang
telah putus asa dalam mengahdapi cobaan hidup (Centhini, 2012: 140).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa
Kinanthi tetap sabar menerima semua cobaan yang menimpanya. Melihat di
sekitarnya orang-orang Wanasonya masih tertunduk layu, merenungi nasib mereka,
sedangkan Kinanthi dengan kesabarannya dia berusaha bangkit dari keterpurukan.
Ia berhasrat untuk mencari bantuan pada Syeh Agunggrimang dan Niken
Rancangkapti.
(b) Nrima
“Beliau
orang terhormat di padepokan Wanamarta. Pada keluarga Ki Bayi, aku dan nenekmu bekerja
sebagai babu. Orang-orang yang dikastakan di tingkatan sudra. Semoga kamu tidak
malu mempunyai nenek dan simbok yang pernah bekerja sebagai babu. Tidak bisa
baca dan tulis. Bisanya hanya memeras keringat dari tubuhnya untuk memenuhi
perintah juragan yang mengupahnya. Untuk itu, kamu harus belajar! Mumpung
usiamu masih belia. Biar kelak, kamu tidak hanya hidup sebagai babu.”
(Centhini, 2012: 13).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kitaketahui bahwa
Centhini adalah orang yang nrima, ia
bisa menerima apa yang sudah jadi nasibnya. Ia bisa menerima kalau dia hanyalah
seorang babu. Babu yang harus mengabdi pada juragan yang mengupahnya.
Tujuh
hari tujuh malamyeh Amongraga, Jamal, dan Jamil tinggal di kaki Gunung Karang.
Hari-hari telah mereka lintasi dengan menggarap ladang dan mencari rumput untuk
sapi dan kambing milik Ki Ageng Karang. Sekalipun hidup dengan kesehajaan,
mereka merasa mendapatkan perlindungan dari buruan orang-orang Mataram. .
(Centhini, 2012: 53).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa
Syeh Amongraga anak Ki Bayi Panurta, seorang yang terhormat, mau melakukan hal
tidak biasa ia lakukan. Ia ikut menggarap ladang dan mencari rumput untuk sapi
dan kambing milik Ki Ageng Karang. Syeh Amongraga dapat menerima hal itu.
Berhari-hari,
desa Wanasonya tampak lengang dan kehilangan napas kehidupannya. Orang-orang
hanya terduduk di tepian reruntuhan rumah mereka. Merenungi nasib buruk yang tak mereka tahu
kapan berakhirnya. Merenungi sebagian besar keluarga mereka yang telah tewas sebagai
korban bencana. Mulut mereka terkunci untuk meneriakkan beban jiwa yang ditanggungnya.
Air mata mereka telah kering untuk mengungkapkan rasa duka
yang teramat dalam. Sebagaimana orang-orang desa Wanasonya, Kinanthi yang
tergoncang jiwanya sesudah kematian
Jayengresmi, Niken Turida, dan sebagian murid padepokan Wanatawang itu
perrlahan-lahan bangikt. Tak ada yang terselip di dalam benak kepalanya, selain
hasratnya untuk menghadap Syeh Agungrimang dan Niken Rancangkapti. Meminta
bantuan sandang, pangan, dan topangan jiwa bagi orang-orang desa Wanasonya yang
telah putus asa dalam mengahdapi cobaan hidup. (Centhini, 2012: 140)
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa
Kinanthi sudah bisa menerima cobaan yang melintasi perjalanan hidupnya. Meski
ia masih merasakan duka yang mendalam karena ia harus kehilangan Jayengresmi,
Niken Turida, dan sebagian murid padepokan Wanatawang, tapi ia berusaha untuk
menerima hal itu dan kemudian bangkit.
Kinanthi berusaha untuk menghadap Syeh Agunggrimang dan Niken Rancangkapti guna
meminta bantuan.
(c) Temen
Di
dalam ruang tidur Centhini, Kinanthi yang berhasrat mempersiapakan jarik dan
kebaya untuk dikenakan emaknya esok pagi menuju padepokan Wanatawang itu
tersentak. Manakala membuka pintu almari kayu di sudut ruangan itu, Kinanthi
menyaksikan sebendel lontar di rak atas. Mengambil bendelan lontar itu dengan
hati-hati. Seusai membuka-buka halaman demi halamannya, Kinanthi bicara dalam
hati. “Aku berjanji. Bila guru Jayengresmi telah mengajarkanku ilmu membaca, tidak
ada kitab yang pertama aku baca selain kitab ini.” (Centhini, 2012: 40)
Hari
demi hari terus melintas. Hingga tak terasakan oleh Kinanthi, bila usianya
telah menginjak dua puluh tahun. Sekalipun usianya telah matang untuk memasuki
kehidupan rumah tangga, namun tak pernah terlintas satu nama lelaki pun di
dalam benaknya. Waktu kehidupannya hanya dihabiskan untuk bekerja, menulis, dan
membaca. Hingga dalam satu bulan, Kinanthi diangkat sebagai anak keluarga
Jayengresmi itu telah tuntas membaca kitab dari Syeh Amongraga yang diberikan
pada mendiang emaknya, Centhini. (Centhini, 2012: 26-26)
Berdasarkan kutipan yang pertama, Kinanthi telah berjanji
pada dirinya sendiri kalau nanti ia bisa membaca dan menulis, kitab yang
pertama kali akan ia baca yaitu kitab yang tertulis dalam sebuah sebendel
lontar. Kitab itu ditulis oleh Syeh Amongraga yang kemudian diberikan kepada
Centhini. Benar saja, ketika Kinanthi telah bisa membaca dan menulis, sesuai
dengan janjinya kitab yang pertama kali ia baca yaitu kitab dari Syeh Amongraga
yang diberikan kepaada Centhini.
Sontak
Syeh Amongraga mengerahkan akal budinya
untuk menangkap makna lambang dari bunga wijaya kusuma yang dapat mekar di malam dan siang hari itu. “Apakah
bunga itu melambangkan seorang gadis yang tengah mekar hingga tampak mempesona
baik di siang maupun malam hari?”
“Tepat!” Ki Bayi Panurta tertawa renyah. “Ketahuilah,
Kisanak Amongraga! Aku ini memiliki tiga orang putra. Mereka adalah
Jayengwesthi, Jayengraga, dan Niken Tambangraras. Kedua putera lelaki itu sudah
menikah. Sementara puteri sulungku yang telah menginjak usia dua puluh tiga
tahun itu masih legan. Berpuluh-puluh
perjaka yang ingin meminangnya gagal dalam sayembara. Mereka tak sanggup
menjelaskan tentang makna hasta brata pada puteri sulungku itu. Karenanya bila
kisanak Amongraga hendak memetik bunga wijaya kusuma di padepokan Wanamarta,
maka harus mampu memenuhi persyaratan itu. bagaimana, Kisanak?”
“Ehm
….” Syeh Amongraga menghela napas panjang. “Aku sanggup, KI.”
“Jadi….
Kisanak Amongraga sungguh-sungguh ingin mengikuti sayembara? Berkehendak untuk
menjelaskan makna hasta brata pada Tambangraras
“Ya.”
(Centhini,
2012: 62-63)
“Mohon
doa restu, Ki.” Syeh Amongraga mengerahkan kekuatan akal budinya untuk
mengingat kembali wejangan makna hasta brata
yang pernah diberikan Wasi Kameswara di tengah perjalanannya. Seuasai
wejangan itu kembali diingatnya, Amongraga memalingkan wajahnya ke arah Niken
Tambangraras yang tampak di matanya laksana Bathari Supraba turun di mayapada.
“Harap dimengerti Kisanak Tambangraras! Hasta brata adalah delapan laku mulia
yang harus dilaksanakan oleh setiap manusia dalam hamemayu hayuning buwana.”
“Delapan
laku itu apa saja, Kisanak?” Niken Tambangraras bertanya dengan tegas. “Tolong
sebutkan!”
“Laku
pertama adalah laku Sang Hyang Yama. Mengikuti laku Yama, manusia harus berbuat
adil. Meskipun saudaranya sendiri, bila bersalah harus dihukum dengan selaras
kesalahannya. Laku kedua adalah laku Sang Hyang Surya. Mengikuti laku Surya
berarti manusia harus selalu memberikan jalan terang saat manusia lain dalam
kegelapan. Laku ketiga adalah laku Sang
Hyang Candra. Meneladani laku Candra, manusia harus bersikap ramah pada
sesamanya. Laku keempat adalah laku Saang Hyang Indra. Mencontoh laku Indra,
manusia harus berikap rendah hati pada sesamanya. Laku kelima adalah laku Sang
Hyang Bayu. Mengikuti laku Bayu, manusia harus selalu membangkitkan jiwa
kehidupan pada sesamanya. Laku keenam adalah laku Sang Hyang Kuwera. Mengikuti
laku Kuwera berarti manusia harus selalu mengolah batinnya demi kesejahteraan
bangsa dan negaranya. Laku ketujuh adalah laku Sang Hyang Baruna. Meneladani
laku Baruna, manusia harus mampu mengendalikan hawa nafsunya. Laku kedelapan
adalah laku Sang Hyang Brama. Meneladani laku Brama berarti manusia harus
selalu siaga membinasakan keangkara-murkaan di muka bumi.” Syeh Amongraga
menatap Niken Tambangraras yang kemudian menundukkan wajahnya. “Bagaimana
Kisanak Tambangraras? Apakah aku telah memenangkan sayembara itu?”
“Ya.”
“Jadi
…..” Ki Bayi Panurta terperangah saat mendengarkan jawaban Niken Tambangraras
atas pertanyaan Syeh Amongraga. “Apakah jawaban Kisanak Amongraga ini tidak
meleset dari pengetahuanmu tentang hasta brata?”
“Tidak,
Ayah.”
“Dengan
demikian, kamu telah menerima Kisanak Amongraga sebagai calon suamimu? Begitu?”
Niken
Tambangraras menganggukkan kepala.
“Lega
hatiku!” Wajah Ki Bayi Panurta sontak serupa matahari yang baru saja melepaskan
cadar awannya. “Nak Amongraga! Berhubung telah memenangkan sayembara, maka Naak
Amongraga jangan cepat-cepat mencari adik perempuanmu itu! karena beberapa hari
lagi, aku ingin menikahkanmu dengan Tambangraras.” (Centhini, 2012: 64-65)
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa
Niken Tambangraras benar-benar menepati janji. Ia mau menerima Syeh Amongraga
menjadi suaminya setelah Syeh Amongraga bisa menjelasakan tentang makna hasta
brata. Hal itu sesuai dengan janji yang
di ungkapkan oleh Niken Tambangraras dalam sebuah syaembara. Isi janji yang
diungkapkan itu yaitu jika ada orang perjaka yang dapat menjelaskan makna hasta
brata dengan benar maka dia bisa menikah dengan dirinya. Setelah sayembara itu
diumumkan, maka berpuluh-puluh perjaka datang untuk mengikutibara itu, namun berpuluh-puluh perjaka itu tidak ada
yang mampu mengungkapkan makna hasta brata kecuali Syeh Amongraga.
Selagi
Niken Tambangraras dan Niken Rancangkapti tengah berjabat tangan dan saling
memperkenalkan diri, Syeh Amongraga membawa Syeh Mangunarsa untuk menyingkir
dari mereka. “Dhimas Mangunarsa! Karena kan datang tamu tak diundang di Sendang
Klampeyan ini, aku berharap agar Adhi membawa mereka ke perdukuhan
Wanataka. Aku akan menyusulnya.” (Centhini, 2012: 86)
“Kangmas
Pangeran Pekik!” Ratu Pandansari membuka pembicaraan sambil mengamati seorang
lelaki yang tengah bertapa mengambang di permukaan Sendang Klampeyan. “Apakah
orang itu yang bernama Amongraga?”
“Kalau
melihat wajahnya yang serupa wajah Sunan Giri Parapen, aku meyakini bahwa ia
yang bernama Amongraga.”
“Menurut,
Paman Tumenggung?”
“Hamba
setuju dengan pendapat Nak Mas Pangeran Pekik. Orang itu yang bernama,
Amongraga.”
“Kalau
begitu, kita tangkap orang itu.” Ratu Pandansari mengerahkan kekuatan batinnya.
Bagaikan seekor elang, puteri Sultan Agung itu melesat terbang dari atas gigir
kuda. Menyambar seseorang yang mengambang di permukaan sendang Klampeyan tanpa
menyentuh airnya. Dari udara, ia melempatkan orang itu dengan sikap terduduk di
depan Tumenggung Alap alap yang masih berada di gigir kuda. “Kita pulang ke
Mataram, Paman. Kita serahkan putera mahkota Giri Parapen ini pada Rama
Sultan.”
Tanpa
berpikir panjang, Tumenggung Alap alap beserta Ratu Pandansari, Pangeran Pekik,
Ganda Arum, Ganda sari, dan Ganda Wangi yang telah merasa berhasil menangkap
Syeh Amongraga itu meningglakan tepian sendang Klampeyan …….
Selepas
orang-orang Mataram, Syeh Amongraga yang bersembunyidi balik rerimbun semak itu
menampakkan dirinya. Meniti jalanan mendaki di bikit tepian desa Jurang
Jangkung. Tiada tempat yang bakal ia tuju, selain pedukuhan Wanataka. Tempat
dimana istri dan kedua saudara kandungnya telah menanti. (Centhini, 2012:
87-88)
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa
Syeh Amongraga meminta pada Syeh
Mangunarsa untuk membawa Niken Tambangraras dan Niken Rancangkapti ke perdukuhan Wanataka. Ia berjajni akan
meyusulnya setelah urusannya selesai. Syeh Mangunarsa menuruti. Ternyata Ssyeh
Aamongraga menepati janjinya, setelah semua urusannya selesai ia langsung
menysul istri dan adiknya di perdukuhan Wanataka.
(d) Rila
Selepas
matahari dari uncak kubah langit, jenazah Centhini yang dibaringkan dengan
terbungkus kain mori di dalam keranda kayu itu dipanggul empat pelayat menuju
pemakaman. Sepanjang jalan menuju pemakaman, Kinanthi yang melangkah gontai di
barisan depan pelayat itu tak henti-hentinya mengucurkan air mata di pipinya.
Terlebih saat jenazah emaknya yang dibaringkan di dasar galian lubang kubur itu
usai ditimbun dengan tanah.
Makam
kembali lengang. Para pelayat telah pulang ke rumahnya masing-masing.
Sebagaimana Syeh Mangunarsa, Jayengraga, Jayengresmi, Niken Turida, dan Niken
Rarasati; Kinanthi yang dlam pelukan Nyi Sartem itu pun telah meninggalkan
makam. Mereka berkumpul di ruangan depan
rumah duka. Tiada yang mereka lakukan,
selain memberikan kekuatan pada jiwa Kinanthi.
“Orang
hidup itu seperti wayang, Kinanthi.” Syeh Mangunarsa membuka petuahnya. “ Hidup
dan kematian wayang berada di tangan dalang. Bila dlaang menghendaki
kematiannya, maka matilah wayang itu.”
“Karenanya,
Kinanthi.” Jayengraga menyambung petuah Syeh Mangunarsa. “Selagi blenccong
masih menyalakan apinya, wayang hanya bisa memaknainya segala kisah yang
dibeber dalang dengan jiwa samudera.”
“Benar
petuah Syeh Mangunarsa dan Adhi Jayengraga.” Jayengresmi turut melengkapi
petuah itu. “Hendaklah kamu tidak perlu sedu sedan! Emakmu kini tinggal damai
di alam keabadiannya.”
Mengakap
makna di balik petuah Syeh Mangunarsa, Jayengraga, dan Jayengresmi; jiwa
Kinanthi yang serupa kain robek itu serasa mendapatkan jahitan. Darah dan
napasnya perlahan-lahan mengalir lancar. Langit yang berselimutkan awan tampak
memercikkan cahaya. Meskipun rasa kedukaan atas meninggalnya Centhini masih
membekas di dalam hati. (Centhini, 2012: 24-25)
Berdasarkan kutipan di atas, dapaat kita ketahui bahwa
Kinanthi baru saja kehilangan ibunya. Orang yang telah mengandung dan
membesarkannya. Awan mendung menyelubungi hatinya. Air matanya selalu jatuh
menetes. Kinanthi merasakan kesedihan yang sangat mendalam. Untung saja banyak
orang di sekitarnya yang selalu memberikan kekuatan pada Kinanthi agar tidak
berlarut-larut dalam kesedihan. Orang-orang itu antara lain Syeng Maangunarsa,
Jayengresmi, dan Jayengraga. Atas petuah dari ketiga orang tersebut akhirnya
Kinanthi bisa merelakan ibunya. Wajah kinathi yang tadinya berselimutkan awan
tampak memercikkan cahaya.
(e) Budi
Luhur
“Ayah…..”
Kinanthi bertanya pada Jayengresmi dengan penuh santun. “Apakah hasil dari laku tapa seseorang pantas diceritakan pada sesamanya? Apakah hal itu
tidak tabu?”
“Tidak,
anakku. Selama kamu tidak menambahi dan mengurangi atas apa yang kamu peroleh
selama menempuh laku tapa itu. bukankah berbagi sesuatu yang
bermaslahat dengan sesamanya adalah tindakan mulia?”
“Baiklah,
Ayah.” Kinanthi menarik napas panjang sebelum dihembuskannya kuat-kuat.
(Centhini, 2012: 36)
Berdasarkan kutipan di atas, dpata diketahui bahwa
Jayengresmi adalah orang yang baik, berbudi luhur. Jayengresmi selalu
memberikan pelajaran yang baik dengan nada bicara yang pelan, namun maknanya
dalam. Hal itu terlihat dari ucapan Jayengresmi ketika mengajarkan pada
Kinanthi untuk berbicara apa adanya sesuai dengan apa yang telah terjadi, tidah
ditambah-tambahi ataupun dikurangi.
“Kisahkan padaku, Ki! Aku akan menyimaknya dari awal hingga akhir.”
“Baiklah!” Ki Wasi Buyut Bagena menyalakan lampu minyak jarak dengan api
yang dipercikkan lewat gesekkan dua batu item, saat kegelapan malam mulai
turunbersma kabut dari puncak Gunung
Gora. “Blencong yang dinyalakan memancarkan cahaya pada kelir. Sang Bima mengayunkan
langkah kaki menuju pertapan Sokalima. Tiada hasrat yang ingin dicapainya,
selain ingin mendapatkan petunjuk Druna gurunya tentang dimana tirta
perwitasari itu berada. Oleh gurunya, Bima disarankan untuk memenuhi
persyaratannya terlebih dahulu. Mendapatkan susuhing
angin di puncak Gunung Candramuka. Sesudah mendapatkan yang dicari melalui
Saang Hyang Bathara Indra dan Sang HyangBhatara Bayu, Bima kembali pada gurunya. Oleg Druna, Bima diperintahkan
untuk menyelam ke dassar samudra laya. Di situlah, tempat tirta perwitasari.”
“Kenapa Aki menghentikan kisahnya?” Syeh Amongraga yang mulai hanyut ke
dalam kisah penjelajahan batin Bima itu bertanya pada Ki BuyutWasi Bagena.
“Apakah kisahnya hanya sampai di situ, Ki?”
“Masih panjang.”
“Lanjutkan saja, Ki. Aku sangat senag menyimaknya.”
“Baik.” Ki Buyut Wasi Bagena meraih lintingan sirih yang telah berisi
secuil gambir dan seleletan injet untuk dikunyahnya. Sesudah mengnyah-unyah
kinang dan meludahkan dubangnya di luar gubuk itu, ia melanjutkan kisahnya. “Dengan
sepenuh keyakinan, Bima meninggalkan pertapan Sokalima. Tanpa menghiraukan
keluarga Pandawa dan saudara Bayu-nya, Bima melajukan langkahnya menuju samudra
laya. Setiba di pantai, Bima mencenurkan diri ke dalam lautan. Berhelat dengan
gelombang dan badai hingga berakhir bersabung nyawa dengan naga Amburnawa.
Karena kesentosaan jiwanya, Bima dapat melintasi cobaan terakhirnya itu.”
“Sungguhmenarik kisahnya, Ki.” Jamal yang semula hanya teriam sontak
memenggal kisah yang tengah dibeberkan Ki BuyutWasi Bagena. “Lantas bagaimana
sesudah Bima mampu menanggulangi cobaan terakhirnya?”
“Singkat cerita, Bima bertemu dengan Sang Hyang Bathara Ruci. Dewa bajang
yang sesungguhnya sang guru jati Bimaitu sendiri. Melalui Ruci, Bima
mendapatkan tirta perwitasari. Air suci yang dapat menjernihkan jiwa hingga
Bima mendapatkan pencerahan batin. Apakah Kisanak tahu makna air
suci itu?”
“Sama
sekali tidak, Ki.”
“Ketahuilah,
Kisanak! Air suci itu melambangkan wewarah-wewarah
Sang Hyang Bathara Ruci pada Bima. Hendaklah Bima selalu bertindak sesudah
mengerti benar tentang tujuannya. Hendaklah Bima tidak seperti orang udik yang
tidak bisa membedakan mana Loyang mana emas. Hendaklah Bima tidak mudah
bingunngan, lantaran segelap-gelapnya jalan selalu ada sepercik cahaya Tuhan. Hendaklah Bima selalu
menghidupkan budi jatmika yang dapat
sebagai bekal di dalam memahami perlambang alam. Hendaklah Bima selalu
mendekatkan diri pada dzat sejati, karena kedekatan itu dapat menjadikan bekal
dalam memahami gagalnya tujuan dan cita-cita. Hendaklah Bima memahami makna di
balik mati sajroning urip dan urip sajroning pati. Karena dengan
memahaminya ilmu sejati dan makna cinta kasih pada sesamanya.” (Centhini, 2012:
56-57)
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Ki
Buyut Wasi Begana adalah orang yang berbudi luhur.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar