Kamis, 26 Desember 2013

skripsi Rositi "Analisis Etika dan Moral Jawa pada Novel Centhini Karya Sri Wintala Ahmad"

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Sastra merupakan hasil karya manusia yang kreatif, artinya manusia dalam mengungkapkan penghayatan dan pengalamannya melalui bahasa, baik secara lisan maupun tulisan yang dapat menimbulkan rasa indah serta dapat menggetarkan hati pembaca dan pendengarnya.

Sastra atau kesusastraan merupakan karangan yang indah, baik bahasa maupun isinya. Hal tersebut berarti bahwa karya sastra diungkapkan melalui bahasa yang artistik dan melalui proses imajinatif. Karya sastra ditulis atau diciptakan  oleh pengarang bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan untuk disampaikan kepada pembaca. Hal ini karena di dalam karya sastra terdapat ide, pengalaman, dan amanat si pengarang yang hendak disampaikan kepada pembaca dengan harapan, apa yang disampaikan itu menjadi masukkan, sehingga pembaca dapat mengambil kesimpulan dan menginterpretasikannya sebagai sesuatu yang dapat berguna bagi perkembangan hidupnya.
Menurut Semi (dalam Kinayati Djojosuroto, 2006 : 17) hakikat kesusastraan atau karya sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah menusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Dengan demikian kesusastraan sebagai karya kreatif harus mampu melahirkan suatu kreasi yang indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan manusia. Sastra harus pula mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan tentang kehidupan manusia. 

Karya sastra merupakan hasil karya seni manusia yang mempersoalkan masalah-masalah manusia dan kemanusiaan. Karya sastra dapat menjadi wadah bagi para satrawan untuk menyampaikan ide atau gagasanya tentang kehidupan manusia. Banyak hal yang menambah pengetahuan hidup manusia melalui karya sastra. Selain itu karya sastra merupakan refleksi pengarang tentang hidup dan kehidupan yang dipadu dengan daya imajinasi dan kreasi yang didukung oleh pengalaman dan pengamatannya atas kehidupan tersebut. Dengan batasan seperti di atas, maka jelaslah bahwa karya sastra mempunyai peranan yang amat penting bagi kehidupan manusia. Segala sesuatu yang menyangkut kehidupan manusia sampai dengan yang paling kompleks sekalipun dapat diungkapkan dalam suatu karya sastra.

Suatu karya sastra yang indah bukanlah karena bahasanya yang beralun-alun dan penuh irama, tetapi harus dilihat secara keseluruhan, baik unsur intrinsik maupun unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik seperti tema, alur, penokohan, latar, sudut pandang, dan amanat, sedangkan unsur ekstrinsiknya meliputi nilai soaial, budaya, moral, agama, politik . Sebuah karya sastra dikatakan benilai apabila di dalam karya sastra tersebut terkandung ajaran atau hal-hal yang penting dan berguna bagi kemanusiaan. Ajaran atau hal yang penting dan berguna bagi kemanusiaan tentunya berhubungan dengan perbuatan baik  yang sering dikaitkan dengan hal  yang biasa disebut dengan etika dan moral.
Etika menurut Bertens (dalam Zaairul Haq, 2011:17) diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang adat kebiasaan, termasuk di dalamnya moral yang mengandung nilai dan norma yang menjadi pegangan hidup seseorang atau sekelompok orang bagi pengaturan tingkah lakunya.

Moral menurut Abinudin Natta (dalam Zaairul Haq, 2011:21) merupakan istilah yang dugunakan untuk memberikan batasan terhadap aktivitas menusia dengan nilai ( ketentuan ) baik atau buruk, benar atau tidak.

Menurut Frans Magnis Suseno (dalam Zaairul Haq, 2011:18) etika jawa merupakan keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana seharusnya manusia menjalankan kehidupannya. Seperti terlihat dalam kehidupan masyarakat Jawa, bagaimana cara  bertutur, bertingkah laku atau bertindak. Semua itu diatur dalam aturan yang disebut etika. Sedangkan moral Jawa yaitu adat istiadat atau kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa dalam kehidupannya yang berkaitan dengan baik atau buruknya suatu hal. Moral ini berkaitan dengan sikap seseorang seperti sikap seorang yang rila, nrima, temen, sabar, dan budi luhur.        

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa etika dan moral Jawa merupakan keseluruhan norma yang mengikat atau mengatur bagaimana seorang manusia harus bersikap, bertindak, dan bertutur dalam kehidupan masyarakat sehingga diketahui baik buruknya terhadap apa yang telah dilakukannya.
Berkaitan dengan masalah etika dan moral, maka peneliti memilih menganalisis suatu karya sastra yang berbentuk prosa berjenis novel. Novel merupakan karya sastra yang menceritakan suatu kisah secara luas dan kompleks. Dalam KBBI (2007:788) novel diartikan sebagai karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.
Adapun novel yang peneliti pilih untuk dianalisis yaitu novel Centhini karya Sri Wintala Ahmad. Dipilihnya novel tersebut karena novel tersebut belum pernah dianalisis. Novel ini ditulis oleh seorang pengarang yang sudah berpengalaman dalam hal menulis yang dibuktikan dengan karya-karyanya yang sudah banyak terbit antara lain novel Dharma Cinta, Jaman Gemblung, Sabdapalon, Kiamat, Dharma Gandul, dan Centhini. Selain itu, novel Centhini  merupakan novel yang menggambarkan kehidupan masyarakat Jawa yang di dalamnya menceritakan suatu kisah pelarian dan pengembaraan tokoh Syeh Amongraga karena dikejar oleh prajurit Mataram. Dalam kisah ceritanya, banyak sekali ajaran-ajaran yang dapat dipelajari. Ajaran tersebut seperti ajaran etika dan moral.   Oleh karena itu, peneliti tertarik menganalisis etika dan moral Jawa yang terkandung dalam novel Centhini karya Sri Wintala Ahmad.

B.     RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian yang ada dalam latar belakang masalah di atas, maka masalah yang timbul dan akan diteliti adalah: “ Bagaimanakah etika dan moral  Jawa dalam novel Centhini   karya Sri Wintala Ahmad.

Berdasarkan rumusan masalah, maka penulis merumuskan judul sebagai berikut:
Analisis Etika dan Moral Jawa dalam Novel Centhini  Karya Sri Wintala Ahmad.

C.  RUANG LINGKUP

Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Objek yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah etika dan moral Jawa dalam novel Centhini   karya Sri Wintala Ahmad, cetakan pertama, bulan Juli 2012, penerbit Araska.
2.      Etika Jawa yang akan dikaji dalam penelitian ini meliputi:
a.       Etika Wong Gedhe ( Etika Orang Besar)
b.      Etika Wong Cilik ( Etika Orang Kecil )
c.       Etika anak dan istri
3.    Moral Jawa yang akan dikaji dalam penelitian ini meliput :
a.       Rila
b.       Nrima
c.       Temen
d.      Sabar
e.       Budi luhur

D.      TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1.      Tujuan

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami etika dan moral yang ada dalam masyarakat Jawa dalam novel Centhini karya Sri Wintala Ahmad. Sedangkan secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan deskripsi sebagai berikut:
a.       Untuk mengetahui bagaimanakah etika wong gedhe pada masyarakat Jawa dalam novel Centhini karya Sri Wintala Ahmad
b.      Untuk mengetahui bagaimanakah etika wong cilik pada masyarakat Jawa dalam novel Centhini karya Sri Wintala Ahmad.
c.       Untuk mengetahui bagaimanakah etika anak dan istri pada masyarakat Jawa dalam novel Centhini karya Sri Wintala Ahmad.
d.      Untuk mengetahui bagaimanakah sikap rila, nrima, temen, sabar, dan budi luhur pada masyarakat Jawa dalam novel Centhini karya Sri Wintala Ahmad.

2.      Manfaat Penelitian
Penelitian ini berguna bagi penulis untuk mengembangkan wawasan pemikiran dalam bidang ilmiah khususnya kesusastraan.
a)      Sebagai bahan peningkatan pemahaman serta apresiasi terhadap karya sastra Indonesia, khususnya novel Centhini  karya Sri Wintala Ahmad
b)      Sebagai sumbangan pemikiran bagi guru bahasa dan sastra Indonesia dalam rangka meningkatkan pengajaran apresiasi sastra.
c)      Menambah wawasan yang lebih mendalam tentang etika dan moral Jawa yang terkandung dalam novel Centhini  karya Sri Wintala Ahmad.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A.      Analisis Etika dan Moral Jawa pada Novel Centhini  Karya Sri Wintala Ahmad

1.      Pengertian Sastra

Secara etimologis, kesusastraan berarti karangan yang indah. “ Sastra ” (dari bahasa Sansekerta) yang berarti tulisan, karangan. Akan tetapi sekarang pengertian “ kesusastraan “berkembang melebihi pengertian etimologisnya. Kata “indah” sangat luas maknanya. Tidak saja menjangkau pengertian-pengertian lahiriah tetapi terutama adalah pengertian lahiriah.

Menurut Teeuw (dalam Ratna, 2011:4) sastra berasal dari bahasa sansekerta, yang berawal dari “sas“ yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan intruksi.akhiran “tra“ yang berarti alat atau sarana. Jadi secara leksikal sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Sedangkan susatra diartikan  sebagai hasil ciptaan yang baik dan indah.

Menurut Jakob Sumarjdo dan Saini K.M (1989:3) “sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat dan keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.”

Senada dengan yang dikemukakan oleh Jakob dan A. Teeuw, Abdul Rozak Zaidan, dkk (2007:180)mengemukakan bahwa sastra merupakan tulisan dalam arti luas, yang pada umumnya berupa teks rekaan, baik puisi maupun prosa yang dinilainya tergantung pada kedalaman pikiran dan ekspresi jiwa .
Berdasakan pendapat dari pakar di atas, maka dapat disimpulakan bahwa sastra merupakan tulisan, karangan atau ungkapan pribadi manusia yang berupa pikiran, gagasan yang pada umumnya berbentuk teks rekaan, puisi,maupun prosa yang memiliki nilai keindahan.

2.      Pengertian Novel
Prosa berasal dari bahasa inggris yang disebut dengan prose : language not in vers form (poetry).  Dalam buku pengantar seni sastra slamet mulyana mengemukakan istilah “prosa” bersal dari bahasa latin “oratio provorsa ” yang berarti ucapan langsung, bahasa percakapan, sehingga prosa berarti bahasa bebas, bercerita, ucapan langsung. Sedangkan secara etimologi prosa yaitu mengungkapkan apa yang dirasakan, diketahui,dan dimaksudkan pengarang, langsung diucapkan dengan bahasa yang langsung dan bebas, tidak memerlukan bahasa yang rumit seperti puisi. Berdasarkan pengertian ini slamet mulyana memberi batasan prosa sebagai lahirnya angan dalam bentuk yang sederhana, dalam ucapan langsung.
Prosa dalam  pengertian kesusastraan juga disebut dengan fiksi, teks naratif, atau wacana naratif. Istilah fiksi dalam hal ini berarti cerita rekaan atau cerita khayalan.
Dengan demikian dapat disimpulakan bahwa prosa adalah karangan bebas yang mengekpresikan pengalaman batin atau ungkapan jiwa pengarang mengenai masalah kehidupan dalam bentuk dan isi yang harmonis dan sederhana yang bersifat khayalan sehingga  menimbulkan kesan estetik.
Salah satu bentuk karya fiksi yaitu novel. Istilah novel berasal dari bahasa italia yaitu novella yang secara harfiah berarti ”sebuah barang baru yang kecil”, dan kemudian diartikan sebagai “cerita pendek dalam bentuk prosa” Abram (dalam Nurgiantoro, 2010: 9).
Dalam bahasa latin kata novel berasala dari kata novellus yang diturunkan pula dari kata noveis yang berarti baru.  “dikatakan baru karena dibandingkan dengan jenis-jenis lain, novel ini baru muncul kemudian” (Tarigan, 1984:164).
Menurut KBBI (2007:788) novel diartikan sebagai ”karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.”
Berdasarkan pendapat para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa novel merupakan suatu bentuk karya sastra fiksi yang menyajikan cerita mengenai kehidupan para tokoh  secara detail dan imajinatif.
Berbicara tentang novel tidak akan terlepas dari istilah roman. Padahal  pada dasarnya istilah novel itu hampir sama dengan istilah roman. Namun dalam buku kesusastraaan Indonesia pengertian antara novel dan roman itu dibedakan pengertiannya.  Hal ini terjadi karena bangsa Indonesia pernah mendapatkan pendidikan Belanda.
Roman berasal dari kata “roman” yaitu cerita yang pada mulanya ditulis dalam bahasa Romawi (Badudu, 1977: 41). Van Leeuwan, seperti disitir H.B. Jasin dalam Tifa Penyair dan Daerahnya mengemukakan roman lebih banyak melukiskan seluruh hidup pelaku-pelaku, mendalami sifat-sifat watak mereka, dan melukiskan sekitar tempat mereka hidup. Kemudian Jassin,(1959: 36-44) mengemukakan bahwa roman itu melingkupi seluruh kehidupan, pelaku-pelakunya dilukiskan dari kecil hingga matinya, dari ayunan hingga ke kubur.

Pendapat yang hampir senada tentang roman dikemukakan oleh Mochtar Lubis (1960:30) bahwa roman merupakan suatu kronik penghidupan, pelau-pelaku diceritakan mulai dengan waktu muda, mereka menjadi tua, mereka bergerak dari satu scene ke scene yang lain, dari satu tempat ke tempat yang lain.
Dari beberapa pendapat di atas,dapat disimpulkan bahwa roman merupakan suatu cerita fiksi yang menceritakan kronik kehidupan tokoh secara detail dan mendalam, dari kecil hingga tua, bahkan hingga tokoh itu meninggal.

3.      Ciri-ciri Novel

Menurut Burhan Nurgiyantoro (2010:9) pengertian “novel merupakan bentuk kesusatraan baru. Novel (Inggris: novel) merupakan bentuk karya satra yang sekaligus disebut dengan fiksi bahkan dalam perkembangannya yang kemudian, novel ia anggap bersinonim dengan fiksi.”

Burhan Nurgiyantoro (2010:10) menyebutkan ciri-ciri novel sebagai berikut:
a.       Ceritanya panjang dan tidak mungkin habis dibaca dalam waktu sekali duduk.
b.      Berjumlah ratusan halaman.
c.       Novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks.

Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka novel tidak mungkin habis dalam sekali baca, sebab panjangnya sebuah novel yang berjumlah hingga ratusan halaman. Hal itu pula yang dapat memberikan peluang bagi para novelis untuk mengembangkan karakter tokoh dalam perjalanan waktu mulai dari pertumbuhan tokoh sejak masih kecil hingga dewasa. Selain itu, novel juga memungkinkan adanya penyajian isi secara panjang lebar tentang ruang dan waktu yang dialami oleh manusia. Maka tidak mengherankan jika manusia dan kehidupannya dapat menjadi permasalahan yang menarik bagi para pengarang.
4.      Unsur- unsur novel
a.      Unsur Intrinsik Novel
Unsur-unsur pembangun sebuah  novel yang kemudian secara bersama membentuk sebuah totalitas, secara garis besar dikelompokkan menjadi dua yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik
Menurut Burhan Nurgiantoro (2010: 23) Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsure yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsure intrinsik sebuah novel adalah unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Kepaduan antar unsur inilah yang membuat sebuah novel terwujud. Unsur intrinsik yang dimaksud meliputi tema, plot, penokohan, setting atau latar. Sudut pandang,  dan amanat.


1)      Tema
Jika kita membaca suatu cerita, sering terasa bahwa pengarang tidak sekedar ingin menyampaikan sebuah cerita demi bercerita saja. Ada sesuatu yang dibungkusnya dengan cerita; ada suatu konsep sentral yang dikembangkan dalam cerita itu. alasan pengarang hendak menyajikan cerita ialah hendak mengemukakan suatu gagasan. Gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasar suatu karya sastra itu yang disebut dengan tema. Adanya tema membuat suatu karya lebih penting dari pada sekedar bacaan hiburan.
Tema menurut Stanton (1965:20) dan Kenny (1966:88) adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Namun, ada banyak makna yang dikandung dan ditawarkan oleh sebuah cerita (novel). Dengan demikian, untuk memahami dan menemukan tema sebuah karya fiksi, ia haruslahdisimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu.

Tema menurut Stanton (1965:21) yaitu ”makna sebuah cerita yang khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana. Tema menurutnya, kurang lebih dapat bersinonim dengan ide utama dan tujuan utama.”
Dengan demikian, tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya novel.  Gagasan dasar umum inilah yang tentunya telah ditentukan sebelumnya oleh pengarang yang dipergunakan untuk mengembangkan sebuah cerita.
Berdasarkan pendapat pakar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tema merupakan gaagasan utama dalam suatu cerita yang digunakan sebagai dasar pengembangan sebuah cerita yang digarap oleh pengarang agar ceritanya itu tidak keluar dari gagasan awal yang telah ditentukan sebelumnya,
Menurut Burhan Nurgiantoro (2010:77) penggolongan tema terbagi menjadi 2 yaitu tema tradisional dan tema nontradisional. Tema tradisional yaitu tema yang menunjuk pada tema yang hanya “ itu-itu “ saja, dalam arti ia telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan dalam berbagai cerita, termasuk cerita lama.
Selain mengangkat hal-hal yang bersifat tradisional, tema sebuah karya sastra mungkin juga mengangkat sesuatu yang tidak lazim , katakana sesuatu yang bersifat nontradisional. Karena yang sifatnya nontradisional, tema yang demikian, mungkin tidak sesuai dengan harapan pembaca, bersifat melawan arus, mengejutkan, bahkan boleh jadi mengesalkan, mengecewakan, atau berbagai reaksi afektif yang lainya.
Burhan Nurgiantoro (2010:82) juga membedakan tema menjadi dua yaitu tema mayor dan tema minor. Tema mayor yaitu makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu. sedangkan tema minor adalah makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita, dapat diidentifikasikan sebagai makna bagian atau makan atau tambahan.

Sedangkan menurur Shipley (dalam Burhan Nurgiantoro, 2010:80) membedakan tema karya sastra ke dalam beberapa bagian antara lain:
a)      Tema tingkat fisik
tema tingkat fisik ini lebih banyak menyaran atau ditujukkan oleh banyaknya aktifitas fisik dari pada kejiwaan.

b)      Tema tingkat organik
Tema tingkat ini lebih banyak mempersoalkan masalah seksualitas, suatu aktivitas yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk hidup.

c)      Tema tingkat sosial
Manusia merupakan makhluk social, oleh karena itu manusia tidak akan terlepas dari berbagai masalah, baik masalah ekonomi, politik, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, propaganda, hubungan atasan-bawahan, dan berbagai masalah sosial lainnya.

d)     Tema tingkat egoik
Selain sebagai makhluk sosial, manusia juga sebagai makhluk individu. Dalam  kedudukannya sebagai makhluk individu, manusia juga memiliki banyak permasalahan seperti masalah  egoistitas, martabat, harga diri, atau sifat dan sikap tertentu manusia lainnya, yang pada umumnya lebih bersifat batin dan dirasakan oleh yang bersangkutan.

e)      Tema tingkat divine
Masalah yang menonjol pada tingkat ini adalah masalah hubungan manusia dengan Sang Pencipta, masalah religiusitas, atau berbagai masalah yang bersifat filosofis lainnya seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan.

Panuti Sudjiman (1988:50) mengatakan bahwa tema yang banyak dijumpai dalam karya sastra yang bersifat dedaktis adalah pertentangan antara buruk dan baik.secara lebih konkrit tema pertentangan baik dan buruk ini dinyataka dalam bentuk kebohongan melawan kejujuran.

2)      Tokoh dan Penokohan
Dalam pembicaraan Fiksi , sering dipergunakan istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. Istilah-istilah tersebut sebenarnya tidak menyaran pada pengertian yang persis sama. istilah “ tokoh “ menunjuk pada oraangnya, pelaku ceritanya. Sedangkan watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan, yang menunjuk pada penempatan tertentu dalam sebuah cerita. Atau seperti yang dikatakan oleh Jone (1968:33), penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.
Penggunaan istilah “ karakter “ (character) sendiri dalam berbagai literature bahasa inggris menyaran pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan dan sebagai sikap ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip-prinsip moral yang dimiliki tokoh tersebut (Stanton, 1965: 17).  Dengan demikian character dapat diartikan sebagai “ pelaku cerita ” dan dapat pula berarti “perwatakan”.
Menurut Grimes dalam (Sudjiman, 1988:16) ia tidak menggunakan istilah tokoh melainkan participant, sedang Shahon Ahmad dalam bukunya Gubahan Novel (1979) lebih menggunakan istilah watak, dan menurut Sudjiman (1988 : 16) watak digunakan dengan arti tabiat, sifat kepribadian. 
Tokoh cerita (character), menurut Abram (1981:20) adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembacaditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Dengan demikian istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya dari pada “tokoh ” dan “perwatakan” sebab ia mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan, dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.
(a)   Macam-macam Tokoh
Berdasarkan fungsi tokoh dalam sebuah cerita tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh yang memegang peranan pimpinan disebut tokoh utama atau protagonist (Sudjiman, 1988:16).
Protagonist selalu menjadi tokoh sentral dalam cerita. Ia bahkan menjadi pusat sorotan dalam kisahan .
Protagonis dapat juga ditentukan dengan memperhatikan hubungan antar tokoh. Protagonist berhubungan dengan tokoh-tokoh yang lain, sedangkan tokoh-tokoh itu sendiri tidak semua berhubungan dengan yang lain. Adapun tokoh yang merupakan penentang utama dari protagonis disebut antagonis atau tokoh lawan . antagonis termasuk tokoh sentral.
Adapun yang dimaksud dengan tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya di dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama (Grimes, 1975:43-44).
Menurut Panuti Sudjiman (1986:6) dalam suatu cerita rekaan terdapat tokohan bawahan yang menjadi kepercayaan protagonis. Tokoh semacam ini disebut tokoh andalan.
Berdasarkan cara menampilkan tokoh di dalam cerita dapat dibedakan atas tokoh datar dan tokoh kuat. Istilah lain untuk tokoh datar ialah tokoh sederhana, Shahon Ahmad (1979:66) menggunakan sebutan tokoh pipih. Tokoh datar bersifat statis, di dalam perkembangan lakuan, watak tokoh itu sedikit sekali berubah, bahkan ada kalanya tidak berubaah sama sekali (1986:75).
Termasuk dalam tokoh datar ini tokoh yang stereotip, misalnya tokoh ibu tiri yang selalu dilukiskan berwatak kejam. Namun, tidak berarti hanya tokoh stereotip yang dapat dogolongan tokoh datar, melainkan juga tokoh yang sifat atau segi wataknya yang dominan saja disoroti. Tokoh datar banyak digunakan dalam cerita wayang dan cerita-cerita didaktis.
Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan teru-menerus sehingga terasa mendoninasi sebagian besar cerita dan sebaliknya , ada tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita , dan itupun mungkin dalam porsi penceritaan yang relative pendek. Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama cerita. Dan tokoh yang kedua adalah tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan. Dipihak lain, pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit. Tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama secara langsung maupun tidak langsung.
Menurut Altenberd dan Lewis (dalam Nurgiaantoro, 2010:178) Jika dilihat dari fungsi penampilan tokoh, maka tokoh dapat dibedakan menjadi dua yaitu tokoh protagonist dan tokoh antagonis. Tokoh pritagonis yaitu tokoh yang kita kagumi, yang salah satu jenisnya secara popular disebut hero, tokoh yang merupakan pengejawatan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita. Sedangkan tokoh antagonis adlah tokoh yang menyebabkan konflik.

Ditinjau dari segi perwatakannya, tokoh cerita juga dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu tokoh sederhana dan tokoh kompleksatau tokoh bula.  Tokoh sederhana dalam bentuknya yang asli adalah tokoh yang memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu pula.  Tokoh sederhana dapat saja melakukan berbagai tindakan, namun semua tindakannya itu akan dapat dikembalikan pada perwatakan yang dimiliki dan yang telah diformulasikan. Dengan ddemikian, pembaca akan dengan mudah memahami watak dan tingkah laku tokoh sederhana. Tokoh bulat atau kompleks adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, kepribadiannya dan jati dirinya. Ia dapat saja memiliki watak tertentuyang dapat diformulasikan, namun iapun dapat pula menampilkan watak dan tingkah laku yang bermacam-macam. Oleh karena itu, tokoh kompleks lebih sulit dipahami darp pada tokoh sederhana.
Alternberg dan Lewis (dalam Nurgiantoro, 2010:188) membedakan tokoh ke dalam dua jenis yaitu tokoh statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan  atau perkembangan perwatakan sebagai akaibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi.  Tokoh berkembang yaitu tokoh ccerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan perkembangan peristiwa dan plot yang dikisahkan. Dalam penokohan yang bersifat statis dikenal dengan adanya tokoh hitam (dikonotasikan sebagai tokoh jahat) dan putih (dikonotasikan sebagai tokoh baik).

(b)   Teknik Pelukisan Tokoh
Tokoh-tokoh cerita sebagaimana dikemukakan di atas tidak serta merta hadir kepada pembaca. Mereka memerlukan sarana yang memungkinkan kehadirannya. Sebagi bagian dari karya fiksi yang bersifat menyeluruh dan padu, dan mempunyai tujuan arstistik, kehadiran dan penghadiran tokoh-tokoh cerita haruslah dipertimbangkan dan tidak lepas dari tujuan tersebut.  Masalah penokohan dalam sebuah karya tidak semata-mata hanya berhubungan dengan masalah pemilihan jenis dan perwatakan para tokoh cerita saja, melainkan juga bagaimana melukiskan kehadiran dan penghadirannya secara tepat sehingga mampu menciptakan dan mendukung tujuan artistik karya sastra yang bersangkutan.
Secara garis besar teknik pelukisan tokoh dalam suatu karya dapat dibedakan menjadi dua cara yaitu ekspositori, dan teknik dramatik (Alternberg dan Lewis, 1966:56).

1)      Teknik ekpositori
Teknik ini sering disebut dengan teknik analitis. Pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung.  Tokoh cerita hadir dan dihadirkan oleh pengarang kehadapan pembaca secara tidak berbeli-belit, melainkan begitu saja dan langsung dissertai deskripsi kediriannya, yang mungkin berupa sikap, sifat, watak, tingkah laku, atau bahkan juga cirri fisiknya.

2)      Teknik dramatik
Penampilan tokoh cerita dalam teknik dramatic, artinya mirip dengan yang ditampilakan pada drama, dilakukan secar tidak langsung. Artinya, pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh.  Pengarang membiarkan tokoh cerita untuk menunjukkan kediriannya sendiri melaluiberbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal maupun non verbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juag melalui peristiwa yang terjadi.
                       
3)      Alur (Plot)
Menurut Sayuti (dalam Wiyatmi, 2009:36) “alur atau plot adalah rangkaian peristiwa yang disusun berdasarkan hubungan kausalitas. Secara garis besar alur dibagi menjadi tiga bagian, yaitu awal, tengah, akhir.” “Alur merupakan perpaduan unsur-unsur yang membangun cerita sehingga merupakan kerangka utama cerita” (Semi, 1988:43). Selanjutnya, Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2010:113) “menyatakan bahwa plot adalah cerita yang berisikan urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan sebab akibat, peristiwa  yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa lain.”

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa alur atau plot adalah urutan peristiwa atau kejadian dalam sebuah cerita yang saling berkesinambungan antara peristiwa yang satu dengan yang lainnya.

Plot dalam sebuah karya sastra tidak selalu menyajikan cerita berdasarkan pada urutan waktu cara  secara kronologis. Akan  tetapi, terkadang akhir sebuah cerita terletak di awal atau di tengah cerita. Jadi, tidak selalu awal sebuah cerita merupakan awal sebuah cerita, bisa jadi terletak dimanapun tergantung pada kemauan pengarang.

Burhan Nurgiyantoro, (2010:142) menyatakan secara teoritis tahapan sebuah plot sebagai berikut :
a.    Tahap awal, tahap ini sering disebut tahap perkenalan. Pada umumnya berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap berikutnya, misalnya berupa penunjukkan atau pengenalan latar seperti nama tempat, suasana alam, dan waktu kejadian (pendeskripsian setting). Pada tahap ini tokoh diperkenalkan, baik desskripsi fifik atau sedikit disinggung perwatakannya. Jadi, fungsi utama tahap awal yaituuntuk mendeskripsikan latar dan penokohan.
b.    Tahap tengah, disebut juga tahap pertikaian atau tahap komplikasi. Konflik-konflik yang sudah mulai muncul di bagian awal cerita semakin meningkat.
c.    Tahap akhir, disebut juga tahap peleraian, menampilkan adegan-adegan tertentu sebagai akibat klimaks, tahap ini disebut dengan denaoment atau penyelesaian. Tahap ini berisi bagaimana akhir sebuah cerita, penentuan nasib seorang tokoh.

4)      Latar Atau Setting

Latar atau setting sering juga disebut juga sebagi landass tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan social tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan, Abram (dalam Nurgiantoro, 2010 : 216).

Menurut sudjiman (1988:44) menyatakan bahwa segala keterangan, petunjuk, pengacuan, yang berkaitan dengan waktu, ruang dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra membangun latar cerita.
Burhan Nurgiantoro (2010: 227) mengemukakan bahwa latar terdiri dari tiga unsur pokok yang meliputi latar tempat, waktu dan sosial. Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu berhubungan dengan masalah “ kapan “ terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar sosial yaitu menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan prilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.

Berbeda dengan pendapat di atas, maka Hudson (dalam Panuti Sudjiman, 1988: 44) membedakan latar menjadi dua yaitu latar sosial dan latar fisik atau material. Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan lain-lain yang melatari peristiwa. Adapun yang dimaksud dengan latar fisik atau material adalah tempat dalam wujud fisiknya, yaitu bangunan, daerah, dan sebagainya.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa latar itu ialah tempat terjadinya suatu peristiwa dalam suatu karya sastra yang mencakup latar fisik, social, dan waktu.
5)      Sudut Pandang atau Pusat Pengisahan
Sudut pandang dalam karya fiksi (novel) mempersoalkan siapa yang menceritakan atau dari posisi mana peristiwa atau tindakan itu dilihat”. (Burhan Nurgiyantoro, 2010:246)
Menurut Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2010:248) mengatakan sudut pandang merupakan cara atau pandangan yang dapat digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembacanya.

Sedangkan menurut Tarigan (1986:246) “Sudut pandang adalah hubungan yang terdapat antara sang  pengarang dengan alam fiktif ceritanya ataupun antara sang pengarang dengan pikiran dan perasaan pembacanya.” Menurut Semi (1988:57) “mengatakan pusat pengisahan adalah posisi dan penempatan diri pengarang dalam ceritanya, atau dari mana ia melihat peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam ceritanya.”

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa sudut pandang atau pusat pengisahan yang ada dalam sebuah cerita terdapat hubungan antara pengarang dengan alam fiktif ceritanya sehingga dapat diketahui posisi pengarang di dalam cerita.
6)   Amanat
Karya sastra yang mengandung tema sesungguhnya merupakan suatu penafsiran atau pemikiran tentang kehidupan. Permasalahan yang terkandung di dalam tema ataau topik cerita ada kalanya diselesaikan secara positif ataupun secara negatif. Dari karya sastra ada kalanya dapat diangkat suatu ajaran moral, atau pesan yang ingin disampaikan pengarang. Hal itulah yang disebut dengan amanat.
Amanat terdapat pada  sebuah karya sastra secara implicit ataupun secara eksplisit. Implicit jika jalan keluar atau ajaran moral itu disiratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang akhir cerita dan eksplisit, jika pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasehat, anjuran, larangan, dan sebagainya. (Sudjiman, 1988: 57-58).

b.      Unsur ekstrinsik novel

Menurut Burhan Nurgiyantoro (2009:23) unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau system organisme karya sastra. Sedangkan menurut Atar Semi (1998:35) struktur luar (ekstrinsik) adalah segala unsur yang berada di luar suatu karya tersebut, misalnya faktor sosial, ekonomi, politik, agama dan tata nilai yangdianut masyarakat.
Adapun unsur-unsur ekstrinsik tersebut antara lain adalah:
1)      Nilai Sosial
Nilai sosial adalah nilai-nilai yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat. Contohnya adat yang hidup dalam kelompok masyarakat tertentu belum tepat untuk diterapkan di masyarakat kita.
2)      Nilai Kejiwaan
Nilai kejiwaan adalah nilai-nilai kebatinan atau kerohanian. Contohnya mendalami jiwa orang lain adalah penting, untuk dapat bergaul dengan masyarakat secara baik.
3)      Nilai Moral
Nilai moral adalah nilai-nilai mengenai ajaran baik, buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kejiwaan. Contoh mengenai akhlak, budi pekerti, susila, dan lain-lain.
4)      Nilai Ekonomi
Nilai ekonomi adalah nilai-nilai yang mementingkan khayal atau fantasi untuk menunjukkan keindahan dan kesempurnaan meskipun tidak sesuai dengan kenyataan. Contohnya sayang suatu pekerjaan tidak atau kurang diperjuangkan sungguh-sungguh, sehingga belum tampak hasilnya ditinggalkan pergi.
5)      Nilai Politik atau Perjuangan
Nilaipolitik atau perjuangan adalah nilai-nilai tentang salah satu wujud interaksi social, termasuk perssaingan, pelanggaran dan konflik. Contohnya persaingan antara kelas sosial yang tinggi dengan kelas sosial rendah.
6)      Nilai Filosofis
Nilai filosofi adalah nilai yang berdasarkan pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikatsegala yang ada sebab, asal, dan hukumnya. Contohnya kesengsaraan itu yang menjadikan orang putus asa dan mereka celaka.
7)      Nilai Didaktis
Nilai didaktis adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan perubahan sikap dan tingkah laku kearah yang lebih baik.
8)      Nilai Budaya
Nilai budaya adalah nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, lingkungan organisasi, lingkungan masyarakat yang mengakar pada suatu kebiasaan.

5.        ETIKA JAWA
Ditinjau dari segi etimologis, etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau watak.  Menurut Ki Hajar Dewantara (dalam Zaairul Haq, 2011:17) etika adalah ”ilmu yang mempelajari semua kebaikan (dan keburukan) di dalam hidup manusia, teristimewa mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan.”
Burhannudin Salam  (dalam Zaairul Haq, 2011:17 ), menyebutkan bahwa etika adalah sebuah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya. Etika adalah sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujudnya dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok.
Berdasarkan kedua pendapat di atas, maka disimpulkan bahwa etika merupakan ilmu yang mempelajari semua kebaikan dan keburukan di dalam hidup manusia yang ditentukan oleh nilai dan norma moral dan terwujud dalam suatu sikap atau perilaku  manusia.
Etika sering kali dicampuradukkan dengan  etiket. Pada dasarnya, etika dapat berarti moral. Sedangkan etiket berarti sopan santun. Menurut K. Betrenz (dalam Zaairul Haq, 2011:19) terdapat perbedaan yang sangat penting antara etika dan etiket.  Setidaknya ada empat macam perbedaan sebagai berikut :
1)      Etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan manusia. Artinya etikat menunjukkan cara yang tepat, cara yang diharapkan serta ditentukan dalam suatu kalangan tertentu.  Sedangkan etika tidak terbatas pada cara yang dilakukannya suatu perbuatan; etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri. Etika menyangkut masalah apakah suatu perbuatan boleh atau tidak.
2)      Etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Bila tidak ada orang lain hadir atau tidak ada saksi mata, maka etiket tidak berlaku. Etika selalu berlaku meskipun tidak ada saksi meta. Etika tidak tergantung pada hadir tidaknya orang lain. Contoh larangan untuk mencuri tetap berlaku, larangan hubungan suami istri yang belum sah selalu berlaku, barang yang dipinjam harus dikembalikan meskipun pemiliknya mungkin sudah lupa.
3)      Etiket bersifat relatif, yang dianggap tidak sopan dalm suatu kebudayaan, bisa saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Contoh yang jelas adalah makan menggunakan tangan atau bersendawa saat makan. Lain halnya dengan etika. Etika jauh lebih absolute. “Jangan mencuri”, “Jangan berbohong”, “Jangan membunuh”, merupakan prinsip-prinsip etika yang tidak bisa ditawar-tawar  atau mudah diberi dispensasi.
Etika bermaksud membantu manusia untuk bertindak bebas dan dapat dipertanggungjawabkan, karena setiap tindakan selalu lahir dari keputusan pribadi yang bebas dengan selalu bersedia untuk mempertanggungjawabkan tindakannya itu, karena memang ada alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan yang kuat mengapa ia bertindak begitu. Etika memberi manusia orientasi bagaimana ia menjalankan hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari. Ini berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam menjalani hidup. Etika pada akhirya membantu kita untuk mengambil keputuskan tentang tindakan apa yang patut dilakukan. Oleh karena itu, etika merupakan bagian dari wujud pokok budaya. Pertama, yaitu gagasan atau sistem ide. Menangkut masalah budaya atau kebudayaan di sini, bukan berarti budaya dalam arti sempit, yang hanya bergerak dalam tataran seni seperti seni tari, seni rupa, seni pahat, seni suara, atau pun seni drama. Namun, menyangkut tentang hal ikhwal terkait dengan hajat hidup manusia sebagai makhluk sosial.
Masyarakat Jawa sebagai sebagai sebuah sistem memiliki konsep etika sendiri yaitu etika Jawa. Pada hakikatnya etika Jawa adalah norma-norma dan nilai-nilai yang berhubungan dengan baik dan buruk, serta hak dan kewajiban yang dimiliki, ditaati, dan dijadikan pedoman dan penilaian oleh masyarakat. Jadi,  etika Jawa berlaku untuk seluruh anggota masyarakat Jawa baik itu dari kalangan atas (Wong Gedhe) atau kalangan bawah (Wong Cilik).
a)      Etika Wong Gedhe
Wong gedhe adalah orang yang masuk dalam kelas kalangan atas. Meskipun wong gedhe ini masuk dalam kalangan atas namun tetap ada etika yang harus dijalankan. Seperti dalam masyarakkat Jawa, pihak atasan (wong gedhe) harus menaati etika antara lain, selalu bersikap prihatin, mengutamakan laku, mencegah hawa nafsu dengan bertapa, dan selalu menyenangkan sesama hidup.  dari pesan ini terkandung makna yang simbolik bahwa seorang pimpinan harus menjadi suri tauladan. Pimpinan harus ing ngarso sung tulodha bagi bawahannya. Pimpinan harus membudayakan etika saling pengertian dengan bawahan, agar bot-repote Negara  saling bisa diatasi. Ini semua akan terwujud jika terjadi manunggaling kawula –Gusti.

\Selain itu, pimpinan itu harus mempunyai watak halus budi, melindungi (ngemong), dan mengetahui kehendak bawahan. Contohnya yaitu seorang raja yang harus mengetahui untung dan celaka atau nasib buruk rakyatnya. Bila raja menjatuhkan hukuman, maka hukuman harus sepadan dengan kesalahan dan tidak memandang kedudukan terhukum.  Dari contoh tersebut maka dapat diketahui bahwa seorang raja harus menggambarkan sikar dan prilaku raja sebagai seorang penguasa. 

b)      Etika Wong Cilik
Dalam kaitannya hubungan sosial antara bawahan (abdi) kepada raja (wong geddhe), memiliki etika yang khas. Jika bawahan berhasil menjalankan etika termaksud akan mendapatkan kemuliaan hidup. etika tersebut meliputibawahan harus menjalankan: (1) mengikuti wiradat (upaya sendiri), mengikuti ombyaking kahanan (perkembangan zaman) atau situasi dan kondisi,  (2) rajin bekerja, (3) membantu menjaga ketentraman negara, (4) menjaga agar negar tidak rugi, (5) ikut menjaga negara jika dalam bahaya, (6) jangan sampai ikhlas jika negara dirusak oleh orang lain. Seorang yang akan mengabdi, agar selamat sebaikanya jangan mengikuti kata-kata lama yang tidak baik, dengan teman agar jangan angkuh, jangan enggan bekerja, dan jangan mudah sakit hati jika diperingatkan oleh atasan.

Calon abdi agar dalam mencapai cita-cita dilandasi laku, yaitu dengan sembah raga, cipta,  jiwa, dan rasa. Semabah raga  adalah laku yang sering disebut sarengat, dalam melaksanakan harus dengan jalan yang benar, dengan tingkatan-tingkatan yang tepat, tekun, dan ajeg. Sembah cipta disebut tarekat, yaitu menyembah kepada Tuhan. Penyuciannya dengan membersihkan hati dengan cara: tata (teratur), titi (teliti), ngati-ati (berhati-hati), tetep (ajeg), telaten (rajin), dan atul (terbiasa). Sembah jiwa merupakan laku batin. Ini inti dari sembah. Penyuciannya harus awas (waspada) dan emut (ingat). Sembah rasa yaitu laku yang dapat mencapai dengan kesentosaan batin. Dengan sembah tersebut abdi akan menjadi yang sejati.

Etika mengabdi kepada raja (atasan), jika ditaati akan menyebabkan seorang abdi mudah naik pangkat. Hal ini seperti diterakan dalam Serat Panitisastra, “kalawang wong wus limpat wredining, sastra iku ngresepaken manah, ing raja glispangundange.”  Artinya, apabila seorang bawahan tahu sastra (etika) akan dianggap memiliki kelebihan di hadapan raja. Bawahan tersebut akan diangkat kedudukannya. Itulah sebabnya, caraduduk, cara kerja, keberanian, dan segala kepandaiannya akan akan dipertimbangkan oleh raja. Itulah sebabnya, apapun yang menjadi aturan raja hendaknya dditaati karena raja adalah wakil Tuhan. Bawahan juga harus bersikap jujur dihadapan raja.

c)      Etika Anak dan Istri
Orang tua manjadi pimpinan bagi anak-anaknya, karena itu pesan-pesan orang tua bagi anak sangat diperlukan. Dalam kaitan ini, orang tua memiliki falsafah sebagai sembur-sembur adas, siram-siram mbayem.  Maksudnya, menjadi penyejuk anak-anaknya, karena petuah dan petunjuk yang mereka berikan. Pesan-pesan itu banyak terkait dengan masalah-masalah etika kehidupan dan biasanya disampekan dalam bentuk wawelar (larangan), agar hidup anak-anaknya selamat. Diantara pesan itu adalah  jangan sampai terkecoh, jangan malu, jangan berbuat rusuh, jangan berbuat jahat terhadap sesama, dan jangan membuat marah orang tua. Selain itu, orang tua juga memberi pesan kepada anknya agar menganut agama dengan baik, segera melaksanakan pernikahan untuk menyambung keturunan. Orang tua mempunyai kewajiban untuk mendewasakan anak. Kewajiban ini sudah menjadi tugas naluriah dan Illahiah. Karena itu, ia bertugas untuk memberikan bekal etika dan moral kepada anak agar hidupnay kelak selamat.

Ada beberapa hala etika bagi seorang wanita, baik dalma hubungan dengan masyarakat secara umum maupun dalam keluarga. Dalam hubungannya sengan masyarakat secara umum, seorang wanita yang baik harus dapat menjaga etika, yaitu berhati-hati, menjaga kehormatan, segala perilaku harus dipikirkan dan diarahkan ke hal yang baik. Hubungannya dengan suami, seorang wanita (istri) hendaknya rajin,menghindari perilaku cacat, jangan menurutkan keinginan pribadi, harus sesuai dengan kondisidan keperluan (harus empan papan), dan harus mempertimbangkan berbagai hal.
Di samping itu juga diajarkan bahwa ada lima syarat istri yang baik kepada suami yaitu takut, kasih, percaya, menurut, dan berjuang demi suami. Takut artinya tidak berani membantah. Kasih artinya hambar menanggapi pria lain. Percaya (ngimanaken) artinya selalu ingat dan setia pada ajaran dan larangannya. Menurut yaitu melaksanakan semua perintah baik berat maupun ringan. Berjuang (labuh) artinya ikhlas hidupnya demi suami. Istri sebaiknya takut kepada Allah dan takut kepada suami karenawanita itu tergantung pada rahmat keduanya yaitu dunia dan akhirat. Dunia itu rahmat dari suami dan akhirat itu rahmat dari Allah. Seorang istri yang setia kepada suami digambarkan sebagi cinta sehidup-semati, yang diwujudkan dengan ikut merasakan apa yang dirasakan suaminya.

6.        MORAL JAWA
     Moral berasal dari bahasa latin mores, yaitu jamak dari kata  mos yang berarti adat kebiasaan. Menurut Abbudin Natta (dalam Zaairul Haq, 2011:21) moral adalah ”istilah yang digunakan untuk memberikan batasan pada aktivitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah.” Jika dalam kehidupan sehari-hari dikatakan bahwa orang tersebut bermoral, maka yang dimaksudkan adalah bahwa orang tersebut tingkah lakunya baik. Peorwadarminta (dalam Zaairul Haq, 2011:21) menegaskan bahwa: moral mempunya arti ajaran tentang baik buruk perbuatan, kelakuan, akhlak, dan kewajiban. Di samping itu, moral juga berarti kesusilaan yang terbentuk dari kata  sila berasal dari bahasa Sansekerta dan mempunyai arti berbagai ragam. Sedangkan Sunoto (dalam Zaairul Haq, 2011:21)  mengatakan bahwa ”moral berasal dari kata mores yang berarti adat istiadat, ialah sesuatu yang di luar diri manusia dan memberi pengaruh ke dalam.”
Berdasarkan kedua pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa moral merupakan        kebiasaan mengenai baik buruk suatu perbuatan atau tingkah laku manusia  dalam suatu kehidupan.
     Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan norma moral yang terdapat diantara kelompok manusia. Adapun nilai moral adalah kebaikan manusia sebagai manusia. Norma moral adalah tentang bagaimana manusia harus hidup supaya menjadi baik sebagai manusia.
Zaairul Haq (2011:17) menegaskan bahwa persoalan moral dalam masyarakat Jawa tidak bisa dianggap enteng. Masyarakat Jawa seringkali menyebut ajaran moral dengan istilah  pepali, unggah-ungguh, suba sita, tata karma, tata susila, sopan santun, budi pekerti, wulang wuruk, pranatan, pituduh, pitutur, wejangan, wulangan, wursita, wewarah, wedharan, duga prayoga, wewelar, dan  pitungkas. Orang Jawa akan berhasil hidupnya dalam bermasyarakat kalau dapat empan papan, kalau dapat menempatkan diri dalam hal unggah-ungguhing basa, kasar alusing rasa, dan jugar genturing tapa.

Manusia pada umumnya memiliki kesadaran moral. Mereka diberi kelebihan untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, terdapat orang-orang yang kemudian terbawa oleh arus hawaa nafsunya sendiri. Oleh karena itu, orang Jawa dahulu memberikan pengajaran kepada keturunannya perihal menyikapi adanya nafsu dalam diri manusia.
Dalam masyarakat Jawa, manusia bisa dikatakan sudah bermoral apabila telah memegang teguh pancasila atau lima pedoman yang harus dimiliki seseorang agar menjadi manusia terpuji. Kelima pedoman tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Rila, merupakan bentuk keikhlasan hati sewaktu menyerahkan segala miliknya, kekuasannya, dan seluruh hasil karyanya kepada Tuhan, dengan ikhlas, dengan mengingat bahwa semua itu ada di dalam kekuasaan Tuhan dan tidak sepatutnya apabila berharap akan mendapatkan hasil dari perbuatannya, apalagi sampai bersedih atau menggerutu terhadap semua penderitaan (kesengsaraan, tuduhan, fitnah, kehilangan pangkat, kekayaan, dan keluarga). Contoh Sikap rila ini jelas terlihat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Sikap rila itu digambarkan pada tokoh istri yang merelakan suaminya menjamah seorang ronggeng, mereka tidak keberatan, namun malah sebaliknya mereka akan bangga terhadap apa yang telah dilakukan oleh suaminya. Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut :
Krtika menonton Srintil menari aku pernah mendengar percakapan perempuan-perempuan yang berdiri di tepi arena. Percakapan mereka akan membuat para suaminya merasa tidak menyesal telah hidup dalam kungkungan rumah tangga.
“Nanti kalau Srintil sudah dibenarkan bertayub, suamiku menjadi laki-laki pertama yang menjamahnya,” kata seorang perempuan.
“Jangan besar cakap,” kata yang lain. “Pilihan seorang ronggeng akan jatuh pertama pada lelaki yang memberinya uang paling banyak. Dalam hal suamiku tak bakal dikalahkan.”
“Tetapi suamimu sudah pikun. Baru satu babak menari pinggangnya akan terkena encok.”
“Aku yang lebih tahu tenaga suamiku, tahu?”
“Tetapi jangan sombong dulu. Aku bisa menjual kambing agar suamiku mempunyai cukup uang. Aku tetap yakin, suamiku akan menjadi lelaki pertama yang mencium Srintil.”
“Tunggulah sampai saatnya tiba. Suami siapa yang bakal menang suamiku atau suamimu.”
Demikian. Seorang ronggeng di lingkungan pentas tidak akan menjadi bahan percemburuan bagi perempuan Dukuh Paruk. Malah sebaliknya. Makin lama seorang suami bertayub dengan ronggeng, makin bangga pula istrinya. Perempuan semacam itu puas karena diketahui umum bahwa suaminya seorang lelaki jantan, baik dalam arti uangnya maupun berahinya. ((Ronggeng Dukuh Paruk, 2004:38)


2.      Nrima, berarti merasa puas dengan nasib dan kewajiban yang telah ada, tidak memberontak, tetapi mengucapkan terima kasih. Nrima, banyak pengaruhnya terhadap ketentraman hati, jadi bukan orang yang malas bekerja, tetapi yang merasa puas dengan nassibnya. Adapun yang sudah terpegang di tangannya, dikerjakan dengan senag hati. Nrima berarti tidak menginginkan milik orang lain serta tidak iri hati terhadap kebahagiaan orang lain, maka dari itu orang yang nrima dapat dikatakan sebagai orang yang bersyukur kepada Tuhan. Contoh Sikap nrimo ini jelas terlihat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Sikap itu ditunjukkan melalui tokoh Srintil yang dengan ikhlas menerima semua kegetiran yang dialami dalam hidupnya. Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut:

Srintil masih terlalu muda untuk memahami keretakan-keretakan yang terjadi dalam dirinya sendiri. Pada mulanya srintil merasa sedih dan putus asa. Kemudian seperti yang diajarkan oleh Dukuh Paruk, Srintil menganggap semua kegetiran yang dialaminya merupakan garis hidup yang harus dilaluinya. Maka pada dasarnya Srintil pasrah dan nrimo saja. Dalam hidup ini orang harus nrimo pandu; ikhlas menerima jatah, jatah yang manis atau jatah yang getir. (Ronggeng Dukuh Paruk, 2004:140)

3.      Temen, berarti menepati janji/ ucapannya sendiri, baik yang sudah diucapkan maupun yang diucapkan dalam hati. Orang yang tidak menepati kata hatinya berarti menipu dirinya sendiri, sedangkan kata hati yang telah diucapkan padahal tidak ditepati, itu berarti kebohongan terhadap orang lain. Sikap temen ini terlihat pada tokoh srintil pada novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Tokoh Srintil ini mempunyai janji pada Goder untuk membelikan balon dan es dan Srintilpun akhirnya menepati janjinya pada Goder. Hal tersebut tergambar dalam kutipan berikut :
Keluar dari balai desa Srintil berjalan cepat. Kalau bukan karena Goder yang menagih janji, maka Srintil pasti akan langsung pulang. Tetapi karena Goder minta balon dan es maka Srintil mampir ke sebuah warung. Dari sana Srintil meneruskan perjalanan. Tiba-tiba saja dia kurang bernafsu melayani Goder yang berbicara macam-macam. (Ronggeng Dukuh Paruk, 2004:327)


4.      Sabar, menunjukkan ketiadaan hasrat, ketiadaan ketaksabaran, ketiadaan nafsu yang bergejolak. Sabar merupakan tingkah laku yang terbaik, yang harus dimiliki oleh setiap orang. Semua agama menceritakan bahwa Tuhan mengasihi kepada orang yang sabar. Sabar itu berarti kuat terhadap segala cobaan, tetapi bukan berarti puas putus asa, melainkan orang yang kuat imannya, luas pengetahuannya, tidak sempit pandangannya.  Kesabaran diumpamakan sebagai minuman jamu yang pahit sekali rasanya, yang hanya kuat diminum oleh orang yang kuat pribadinya, namun jamu itu tersesbut menyehatkan kesedihan dan penyakit. Tokoh dalam novel yang menggambarkan sikap sabar yaitu tokoh Lasi dalam novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari. Dalam novel itu diceritakan bahwa tokoh Lasi sabar menunggu kepulangan suaminya Darsa dari menderes nira.   Hal tersebut tergambar dalam kutipan berikut:
Api di tungku sudah menyala. Tapi Lasi masih meniup-niupnya agar yakin api tidak kembali padam. Pipi Lasi yang putih jadi merona karenapanas dari tungku. Ada titik pijar memercik. Dan Lasi menegakkan kepala ketika terdengar bunyi ”hung”. Wajahnya yang semula tegang, mencair.tetapi hanya sesaat kerena yang baru didengarnya bukan ”hung”  suaminya. Tak salah lagi. Lasi mengenal aba-aba dari suaminya seperti ia mengakrabi semua perkakas pengolahan nira. Lasi kembali jongkok di depan tungku. Wah kawah yang masih kosong sudah panas, sudah saatnya nira dituangkan. Tetapi Darsa belum juga muncul. (Bekisar Merah, 1993: 18)

5.      Budi luhur, yaitu apabila manusia selalu berusaha untuk menjalankan hidupnya dengan segala tabiat dan watak serta sifat-sifat yang dimiliki oleh Tuhan Yang Maha Mulia, seperti kasih sayang kepada sesamanya, suci, adil, dan tidak membeda-bedakan tingkat derajat : besar, kecil, kaya, dan miskin semua dianggap sama sebagai saudara sendiri, tanpa menghilangkan tat karma dan tata susilanya. Semua hanya dapat dilaksanakan apabila kekempat sifat di atas telah dikuasainya. Sikap budi luhur ini jelas terlihat pada tokoh keluarga  Haji Bakir dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari. Dalam novel itu keluarga Haji Bakir bersikap baik hati. Ia tidak memandang status sosial. Meskipun Karman tergolong orang dari kalangan bawah tapi dia tetap memperlakukan Karman dengan baik.  Hal tersebut tergambar dlaam kutipan berikut:

Tiga tahun berjalan. Setelah adik Karman bisa bermain sendiri, Bu Haji Bakir menemui Bu Mantri. Mereka ingin membicarakan dan mencari kesepakatan tentang Karman. Terjadi persetujuan antara kedua perempuan itu: Karman yang saat itu sudah mencapai usia tiga belas tahun akan tinggal bersama keluarga Haji Bakir. Meski belum dewasa, Karman akan dianggap bekerja penuh pada keluarga kaya itu. Pangan dan pakaian sehari-hari Karman ditanggung, dan sehabis panen Karman berhak menerimantiga kwintal padi sebagai upah tahunan. Ternyata keluarga Haji Bakir tidak pernah memperlakukan Karman sebagai pembantu rumah tangga yang sebenarnya. Anak itu diberi kesempatan menamatkan pendidikannya di sekolah  rakyat yang sudah dua tahun ditinggalkannya. Pekerjaan yang diberikan pada Karman adlah pekerjaan sederhana yang bisa diselesaikan oleh anak seusianya. (Kubah , 2012:65)

Lima pedoman hidup di atas merupakan pedoman dasar bagi terselenggaranya hubungan harmonis antara sesame manusia (hubungan horizontals). Apabila kelima pedoman dasr itu telah dilaksanakan dengan baik, maka kemudian setiap orang harus melengkapi pedoman hidupnya dengan menjalankan trisila atau tiga pedoman penting yang menjadi dasar terciptanya hubungan harmonis antara manusia dengan penciptanya (hubungan vertikal).
Menurut Budiyono (dalam Zaairul Haq, 2011:27-28) trisila merupakan pedoman pokok yang harus dilaksanakan setiap hari oleh manusia, dan merupakan tiga hal yang harus dituju oleh budi dan cipta manusia di dalam menyembah Tuhan. Adapun isi dari trisila adalah sebagai berikut :
1.      Eling atau sadar, yaitu sadar untuk selalu berbakti kepada Tuhan Yang Maha Tunggal. Menurut Soenarto yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Tunggal adalah kesatuan dari tiga sifat yaitu: Sukma Kawekas atau Allah Ta’la, Suksma Sejati atau Rasulullah dan Roh Suci atau jiwa manusia yang sejati, ketiganya disebut Tri Purusa. Dengan selalu sadar terhadap Tuhanmaka manusia akan dapat bersifat hati-hati hingga dapat memisahkan yang benar dan yang salah, yang nyata dan yang bukan.
2.      Pracaya atau percaya, ialah percaya terhadap Suksma Sejati atau Utusan-Nya, yang disebut Guru Sejati dan berarti pula percaya kepada jiwa pribadinya sendiri serta kepada Allah, karena ketiganya adalah Tri Purusa tadi.
3.      Mituhu, ialah setia kepada Allah dan selalu melaksanakan segala perintah-Nya yang disampaikan melalui Utusan-Nya. Semua kewajiban manusia sebenarnya merupakan kemauan untuk melaksanakan tugas daru Utusan-Nya , sebab semua tugas baik yang diterima manusia pada hakikatnya adalah tugas yang diberika Allah.
Pedoman-pedoman hidup di atas adalah sangat penting bagi setiap manusia tidak terkecuali bagi masyarakat Jawa. Sebab pedoman-pedoman tersebut dapat digunakan sebagai senjata ampuh untuk melawan dan mengendalikan hawa nafsu yang berada dalam diri manusia.

7.        Etika dan Moral dalam Karya Sastra
Etika merupakan ilmu yang mempelajari adat kebiasaan, termasuk di dalamnya moral yang mengandung nilai dan norma yang menjadi pegangan hidup seseorang atau sekelompok orang bagi pengaturan tingkah lakunya. moral merupakan ajaran baik atau buruk yang dapat diterima tentang suatu perbuatan atau tingkah laku. Namun, seiring berkembangnya zaman, etika dan moral ini lambat laun mulai terkikis oleh kebudayaan baru atau modernisasi.  Kebanyakan lebih mengikuti perkembangan dan kemajuan zaman, sehingga tanpa disadari nilai-nilai etika dan moral yang seharusnya dipertahankan eksistensinya justru tidak diperhatikan lagi. Dalam perkembangan sastra Indonesia, banyak karya sastra yang muncul dan menonjolkan hal-hal yang berhubungan dengan etika dan moral. Salah satunya yaitu karya sastra novel yang berjudul Centhini. Di dalam karya sastra ini banyak sekali etika dan moral yang bisa dipelajari.  Jadi, penikmat sastra ketika membaca sebuah karya sastra secara tidak langsung dapat belajar dan mengetahui bagaimanakah etika dan moral yang baik yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

B.       Kerangka Pikir
Karya sastra seperti novel, dapat memberikan gambaran kepada pembaca tentang kehidupan manusia baik perbuatan lahir maupun batin. Sastra adalah suatu bentuk hasil pemikiran, seni dan kreatifitas manusia dalam kehidupannya dengan media bahasa. Manusia akan menggunakan budi dan dayanya untuk merealisasi suatu hal ke dalam karya sastra. Maka cerita rekaan dapat melukiskan, menggambarkan, dan mencerminkan suatu kenyataan yang ada dalam kehidupan. Suatu karya sastra yang dalam proses pembentukannya tidak terlepas dari unsur intrinsik dan ekstrinsik.
Novel  Centhini  Karya Sri Wintala Ahmad merupakan novel yang dijadikan sumber oleh peneliti dan akan  dianalis dengan tujuan untuk mengetahui kandungan etika dan moral Jawanya. Untuk memudahkan peneliti melakukan penelitian etika dan moral Jawa maka sebelumnya peneliti menganalisis bagian intrinsiknya terlebih dahulu. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa unsur intrinsik merupakan unsur yang ikut serta dalam pembentukan sebuah karya sastra yang sifatnya berasal dari dalam.
Adapun unsur intrinsik yang dianalisis meliputi tema, penokohan, latar, dan juga amanat. Unsur intrinsik itu dianalisis hanya sebagai pendukung atau acuan untuk memudahkan dalam menganalisis etika dan moral Jawa. Setelah itu baru kemudian peneliti menganalis bagian etika Jawa yaitu etika wong gedhe,  etika wong cilik dan etika anak dan istri, serta moral Jawa yang meliputi rila, nrima,  temen, sabar dan budi luhur.
Gambar Bagan Kerangka Pikir

Novel Centhini Karya Sri Wintala Ahmad
 

A.  Analisis Unsur Intrinsik yang meliputi tema, tokoh dan penokohan, latar, dan amanat.

B.  Etika Jawa yang meliputi:
1.      Etika wong gedhe
2.      Etika wong cilik
3.      Etika anak dan istri
C.  Moral Jawa yang meliputi:
1.      Rila
2.      Nrima
3.      Temen
4.      Sabar
5.      Budi luhur


 
 









BAB III
METODE PENELITIAN


A.  Definisi Konsep

Definisi secara umum merupakan suatu yang diterima dalam pikiran atau suatu ide umum dan abstrak. Konsep merupakan penyajian internal dari sekelompok stimulus-stimulus, di mana konsep tidak dapat diamati tapi harus disompulkan dari perilaku atau generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu, sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan fenomena yang sama.
  
Dalam (KBBI, 2007:244) definisi merupakan rumusan tentang ruang lingkup dan ciri-ciri suatu konsep yang menjadi suatu pokok pembicaraan. Menurut (KBBI,20097:588) konsep adalah rancangan atau cita-cita yang telah ada dalam pikiran. Jadi, definisi konsep adalah rumusan tentang ruang lingkup dan ciri-ciri suatu rancangan atau cita-cita yang telah ada dalam pikiran yang menjadi pokok pembicaraan.


Adapun definisi konsep dalam penelitian ini yaitu :
1.      Novel merupakan suatu bentuk karya sastra fiksi yang menyajikan cerita mengenai kehidupan para tokoh  secara detail dan imajinatif.
2.      Etika adalah Etika merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang di lakukan manusia untuk dikatakan baik atau buruk, dengan kata lain aturan atau pola tingkah laku yang di hasilkan oleh akal manusia.
3.      Moral adalah ajaran tentang baik buruk suatu perbuatan atau sikap yang diterima oleh sesamanya dalam hidup bermasyarakat.
4.      Menurut Magnis Suseno  (dalam Zairul Haq, 2011:2)  masyarakat Jawa adalah “orang yang memakai bahasa Jawa sebagai bahasa ibu dan merupakan penduduk asli bagian tengah dan timur pulau Jawa.”
5.      Konsep penelitian ini yaitu “Analisis Etika dan Moral Jawa dalam Novel Centhini  Karya Sri Wintala Ahmad”

B.  Instrumen Penelitian dan Pengembangannya
Dalam menganalisis variabel dalam penelitian ini penulis menggunakan kajian pustaka, yaitu mempelajari teori-teori dari buku-buku yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti, tujuannya untuk memperoleh data-data berdasarkan teori dari para ahli untuk membantu mempermudah penyelesaian masalah yang penulis teliti.  Maka dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskkriptif.
Penelitian deskriptif menurut Suharsimi Arikunto (1992: 206) merupakan penelitian non hipotesis sehingga dalam langkah penelitiannya tidak menggunakan hipotesis.
Novel yang dijadikan objek penelitian dianalisis sesuai dengan keadaan novel tersebut berdasarkan teori yang ada, kemudian dideskripsikan sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mendapatkan gambaran tentang etika dan moral Jawa yang terkandung dalam novel Centhini  karya Sri Wintala Ahmad.
Sumber data dalam penelitian ini adalah novel Centhini  karya Sri Wintala Ahmad yang terdiri dari 272 halaman, cetakan pertama, dan diterbitkan oleh penerbit Araska.
C.  Teknis Analisis Data
Penulis menggunakan teknik studi pustaka untuk mengumpulkan data, yaitu membaca secara keseluruhan novel Centhini karya Sri Wintala Ahmad kemudian menganalisis etika dan moral Jawa yang terkandung di dalamnya .
Adapun langkah-langkah analisis data dalam penelitian ini digunakan teknik sebagai berikut :
a)      Membaca keseluruhan novel  Centhini  karya Sri Wintala Ahmad.
b)      Membuat sinopsis
c)      Menganalisis unsur intrinsik yang meliputi tema, penokohan, latar, dan amanat novel Centhini karya Sri Wintala Ahmad.
d)     Menganalisis etika Jawa yang meliputi etika wong gedhe,  etika wong cilik, dan etika anak dan istri.
e)      Menganalisis moral Jawa yang meliputi rila, nrima. Temen, sabar, dan budi luhur.
f)       Menarik kesimpulan 



IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A.      Penyajian dan Analisis Data
1.      Penyajian Data
a.       Judul Novel           : Centhini
b.      Pengarang             : Sri Wintala Ahmad
c.       Penerbit                 : Araska
d.      Tebal Buku            : 164
e.       Cetakan                 : Kesatu, Bulan Juli 2012
f.       Bahasa                   : Bahasa Indonesia

2.      Analisis Data
a.       Tema
b.      Tokoh dan penokohan
Sebuah karya sastra khususnya novel, mempunyai tokoh-tokoh yang bberperan dalam cerita.  Tokoh tersebut dapat digambarkan secara langsung maupun tidak langsung. Dalam novel kunah karya ahmad tohari terdapat tokoh-tokoh yang masing-masing diceritakan dengan penggambaran watak yang berbeda-beda. Pada novel ini juga mempunyai tokoh utama dan tokoh tambahan.

Tokoh utama yang terdapat dalam novel Centhini karya Sri Wintala Ahmad adalah Kinanthi , sedangkan tokoh tambahan  dalam novel ini diantaranya Syeh Amongraga, Niken Tambangraras, Jayengwesthi (Jayengresmi), Jayengraga, Jayengsari (Syeh Mangunarsa), Niken Rancangkapti (Nyai Wanareksa), Niken Turida, Raden Pandansari, Tumenggung Alap-Alap, Sunan Giri Parapen, Buras (Monthel), Jamal (Gathak), Jamil (Gathuk), Ki Bayi Panurta, Sultan Agung, Nyi Sembada, dan Ki Kulawirya.
Selain itu, masih banyak tokoh lain yang berperan dalam cerita tetapi perananannya hanya sebagai pelengkap dalam cerita saja seperti Nuripin, Nyi Malarsih,  Patih Singaranu, Pangeran Pekik, Ki Nurbayin, Nyi Darsinah, Kaum Ki Amat Setahu, Ragarunting, Dhamengbudi, Ragaresmi, Ratu wetan, Ratu Kulon, Prajurit, Nyi Pedali, Banem, Banikem, Bariyah, Rara Widuri, Nyi Randa Tilarsa, Ki Buyut Wasi Bagena, Ki Ageng Karang, Nyi Ageng Karang, Ganda Arum, Ganda Sari, Ganda Wangi, Cebolang (Agunggrimang),  Pendeta Harcacarana, Ki Wiracapa, Nyi Wiracapa, Ni Widaryati, Wirabancana, Wirangkara, Wirabraja, Syeh Malangkarsa, Naga Geni, Naga Angin-Angin, Naga Samudra, Naga Bantala, Palakarti, Nurwiti, Nyai Chandamundhing, Kartipala, Adipati Wirasaba, Nyai Padmasastra, Seloka, Nyi Ratamsari, Nyai Sriyatna, Nyai Wulanjar, Warsi, Darsi, Ramini, Banda Asmara, Nyi Sarkem, Dewi Kilisuci, Dhandhanggendhis, Pangkur, Nyi Sendang.
Dalam penelitian ini, peneliti hanya akan menganalisis tokoh dan penokohan tokoh utama dan tokoh tambahan.
a)      Tokoh Utama
b)      Tokoh tambahan
Tokoh tambahan sebagi tokoh pembantu bagi tokoh utama, perannanya sangat diperlukan sekali. Tokoh tambahan dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari diantaranya : Syeh Amongraga, Niken Tambangraras, Jayengwesthi (Jayengresmi), Jayengraga, Jayengsari (Syeh Mangunarsa), Niken Rancangkapti (Nyai Wanareksa), Niken Turida, Raden Pandansari, Tumenggung Alap-Alap, Sunan Giri Parapen, Buras (Monthel), Jamal (Gathak), Jamil (Gathuk), Ki Bayi Panurta, Sultan Agung, Nyi Sembada, dan Ki Kulawirya. Untuk mengetahui karakter masing-masing tokoh tersebut, berikut akan dijelaskan dengan kutipan-kutipan yang mendukung.

(1)   Centhini
Tokoh ini merupakan tokoh yang diperlukan oleh tokoh utama karena Centhini adalah ibu Kinanthi. Centhini memiliki kepribadian yang tegar. Berikut merupakan kutipan yang menggambarkan hal tersebut:
Sebagaimana orang-orang yang meladang dengan tubuh dan wajah bermandikan keringat, Centhini masih tegar mengayunkan cangkulnya ke tanah garapan. Agar tanaman jagungnya yang baru berumur setengah bulan itu dapat tumbuh kembang dengan baik. Memberikan hasil jagung- jagung segar  yang besar. Terbebas dari serangan hama dan ulat.( Centhini: 12).


Dari kutipan di ataskita dapat mengetahui bahwa Centhini merupakan seorang tokoh yang tegar dalam menjalani hidupnya. Meskipun ia seorang perempuan, ia tetap melakukan pekerjaan yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang perempuan.

Selain memiliki sifat di atas, marni juga memiliki sifat rendah hati. Adapun kutipan yang mendukung sifat tersebut adalah:
Sungguh! Wajah Kinanthi bagaikan purnama. Matanya bagaikan sepasang bintang kembar. Bibirnya serupa mawar merekah.”
“Pujian Den Ayu pada anak hamba sangat berlebihan. Hamba takut, bila kepala Kinanthi nanti akan membesar. Dekat dengan kesombongan. Jauh dari kerendah-hatian.” (Centhini :19).

Selain kutipan di atas, masih ada kutipan lain yang menggambarkan hal tersebut.  Berikut ini adalah kutipan yang menggambarkan watak kerendahhatian Centhini:
“Hebat !” Jamil berdecak kagum pada centhini. ”Tidak akau sangka, centhini. Di balik kesehajaan dirimu ternyata menyimpan mutiara. Otakmu benar-benar cemerlang!”
“Tidak, paman! Aku ini hanya seorang babu. Perempuan yang mendapatkan uang sesudah melayani tuannya.”( Centhini : 74)

Dari dua kutipan di atas, kita dapat mengetahui bahwa Centhini memiliki sifat rendah hati karena ia tidak sombong dengan kecantikan yang dimiliki oleh anaknya, Kinanthi. Dia tidak merasa bangga ketika anaknya dipuji, tetapi malah merasa takut kalau nanti pujian itu hanya akan  membuat besar kepala anaknya. Dan sifat rendah hati itu juga ditunjukkan ketika ia dipuji oleh Jamil bahwa ia memiliki otak yang cemerlang, namun Centhini malah merendah dan mengatakan bahwa ia hanyalah seorang babu.
Centhini tidak hanya memiliki kedua sifat tersebut tetapi Centhini juga memiliki sifat penurut. Berikut kutipan yang mendukung hal tersebut:
“Centhini!” Ki Bayi Panurta memanggil Centhini dengan suara lantang dari ruangan pendapa. Sesudah abdi setia Niken Tambangraras itu menghadap, orang terhormat dari desa wanamarta itu berkata, ”Tolong panggilkan tambangearas untuk menghadapku di pendapa!”
“ Sendika, Tuan.” Centhini meninggalkan ruangan pendapa. Tak lama kemudian, ia telah kembali memasuki pendapa beserta Niken Tambangraras. “Den Ayu Tambangraras telah menghadap, Tuan.” ( Centhini : 63)

Dari kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Centhini adalah seorang abdi yang setia dan penurut. Hal itu ditunjukkan ketika Centhini disuruh oleh Ki Bayi Panurta untuk memanggilkan Niken Tambangraras, Centhini langsung melakukan sesuai dengan perintah Tuannya.

(2)   Syeh Amongraga
Dalam novel ini, Syeh Amongraga merupakan kakak dari Jayengsari dan Niken Rancangkapti. Syeh amongraga memiliki watak yang keras kepala. Berikut merupakan kutipan yang menggambarkan hal tersebut:
Jangan banyak bicara, Diajeng! Waktu kita sangat terbatas. Segeralah Diajeng Rancangkapti, Dhimas Jayengsari, dan Paman Buras mengambil jalan ke utara! Biarlah aku, Paman Gathak, dan Paman Gathuk mengambil jalan ke barat.”
“ Tapi, Kakang…”
Tanpa memperdulikan perkataan Niken Rancangkapti, Jayengresmi yang disertai Gathak dan Gathuk meninggalkan pertigaan jalan di kaki  gunung giri itu kearah barat. Sementara Jayengsarii, Niken Rancangkapti, dan Buras melangkahkan kaki kearah utara.” (Centhini :49).

Dari kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Syeh Amongraga itu memiliki watak keras kepala, ketika ia sudah memutuskan sesuatu, siapa pun tidak bisa mengubahnya, meski oleh adik kandungnya sekalipun. Hal itu jelas terlihat ketika Syeh Amongraga tetap bersikukuh untuk melanjutkan perjalanan tanpa memperdulikan perkataan adinya sendiri.

Selain memiliki sifat keras kepala, Syeh Amongraga juga memiliki sifat rendah hati. Berikut beberapa kutipan yang menggambarkan hal tersebut :

“Jayengresmi beranjak dari lincak. Meraih kedua tangan Ki Ageng Karang. Mendudukkan lelaki paruh baya itu di tempatnya semula. Duduk selincak di sampingnya. “Tak perlu Aki menghormatiku semulia itu. Aku bukan lagi pangeran yang tinggal di dalam istana. Aku kini hanya seorang buron Mataram yang tengah mencari perlindungan.”(Centhin : 51)

“Adhi Jayengwesthi!” Syeh Amongraga tersenyum kecil. ”Apakah aku yang masih ceblug  ini pantas menjadi gurumu? Pengetahuanku masih sesempit daun kelor,adhi Jayengwesthi.”
“Tidak, Kakang Amongraga. Aku percaya bahwa kakang yang telah mampu menjelaskan makna hasta brata pada Kangmbok Tambangraras sesungguhnya pantas aku dudukkan sebagai guruku. “(Centhin : 67).

“Kisanak Dharmengbudi ini aneh! Aku ini hanya seorang manusia yang lumrah. Manusia yang serupa katak di dalam tempurung. Bagaimana aku dapat mengajarkan Kisanak tentang ilmu sejati?”
“ Tuan…” Ragaresmi nimbrung dalam pembicaraan.” Janganlah tuan terlalu merendah hati! Melalui bisikan hati yang hambaterima, tuan bukan seorang manusia lumrah. Tapi, tuan adalah seorang  pinunjul yang telah menguasai ilmu baik bersifat lahir maupun batin. Karenanya ajarkan hamba tentang ilmu sejati, Tuan! Ilmu yang kelak menjadi pedoman hidup dan pelita hati hamba.”( Centhini : 97)


Dari kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Syeh Amongraga bersifat rendah hati. Ia tidak merasa sombong dengan gelar kehormatan yang melekat di dirinya. Ia tidak sombong dengan status kepangerannya. Selain itu ia juga tidak merasa sombong dengan ilmu yang dia miliki. Malah sebaliknya, ia merasa dia hanyalah seorang yang lumrah. Manusia yang serupa katak di dalam tempurung. Sehingga ia merasa kurang pantas untuk dijadikan seorang guru. Padahal Syeh Amongraga adalah seorang pinunjul yang menguasai ilmu baik yang bersifat lahir maupun batin.

(3)   Niken tambangraras
Dalam novel ini, Niken Tambangraras berperan sebagi istri Syeh Amongraga. Tokoh ini memiliki sifat teguh pendirian. Berikut ini merupakan kutipan yang menggambarkan hal tersebut:
 “Ketahuilah, Kisanak Amongraga! aku ini memiliki tiga orang putra. Mereka adalah Jayengwesthi, Jayengraga, dan Niken Tambangraras. Kedua putera lelaki itu sudah menikah. Sementara putri sulungku yang telah menginjak usia dua puluh tiga tahun itu masih  legan. Berpuluh-puluh perjaka yang ingin meminangnya gagal dalam sayembara. Mereka tak sanggup menjelaskan tentang makna hasta brata pada putri sulungku itu.”( Centhini : 63)

Dari kutipan di atas, jelas sekali bahwa Niken Tambangraras memiliki pendirian yang kuat. Ia tetap memegang teguh apa yang telah menjadi prinsipnya. Ia tetap tidak menerima perjaka yang ingin meminangnya karena perjaka itu tidak bisa menjelaskan makna dari hasta brata sesuai dengan yang disyaratkan oleh Niken Tambangraras. Padahal usianya sudah pantas untuk menikah, apalagi adiknya pun sudah menikah semua. Tapi pendiriannya sedikitpun tetap tidak goyah sama sekali.
Di samping itu, sebagai seorang istri Niken Tambangraras memiliki sifat yang setia dan penurut  terhadap suaminya Syeh Amongraga. Berikut ini merupakan kutipan yang menggambarkan hal tersebut:
“Terima kasih atas kesetiaan cintamu padaku, Adhi Raras.” Syeh Amongraga mengecup kening Niken Tambangraras dengan penuh kasih. “ Mumpung hari belum  bedug,  kita awali pengembaraan yang baru!”
Mendengar ungkapan terakhir Syeh Amongraga, Niken Tambangraras mengayunkan langkah kaki. Tanpa mengenal lelah, ia terus mengikuti suaminya.”( Centhini :92).


Dari kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Niken Tambangraras adalah istri yang setia dan penurut terhadap suami. Hal itu telihat ketika suaminya Amongraga mengucapkan terimakasih kepada Niken Tambangraras atas kesetiaanny dan mau mengikuli setiap langkah suaminya.

(4)   Jayengwesthi atau jayengresmi
Dalam novel ini, tokoh Jayengwesthi berperan sebagai adik dari Niken Tambangraras tokoh ini memiliki kepribadian yang halus. Berikut kutipan yang menggambarkan hal tesebut:
“Ya, Mak. Tetapi pada siapa akau harus belajar? di desa jurang jakung kan belum ada seorang guru yang bisa mengajarkan aku untuk bisa membaca dan menulis?”
“Memang, nduk. Tapi bila kamu ingin belajar, aku dapat membawamu ke padepokan wanatawang. Di padepokan itulah, kamu dapat belajar pada Denmas jayengresmi.” Centhini sejenak teringat pada putra sulung ki bayi panurta dan nyi malarsih yang berwajah tampan dan berkepribadian halus itu. (Centhini: 13).


Dari kutipan di atas, maka dapat diketahui bahwa Jayengwesthi atau jayengresmi mempunyai kepribadian yang halus. Hal itu diungkapkan oleh Centhini, ketika ia menyuruh anaknya Kinanthi belajar ilmu pengetahuan kepada Jayengresmi.

Selain itu, Tokoh Jayengwesthi alias Jayengresmi juga tampak berwibawa dan Rendah hati. Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut :

“Suasana pendapa  padepokan wanatawang senyap. Tak lama kemudian, suasana itu pecah saat jayengresmi yang usai menyantap makan siang itu muncul di pendapa.duduk di depan Centhini dan Kinanthi dengan wajah yang menyiratkan kewibawaan seorang guru.
“Sembah bakti hamba pada Denmas Jayengresmi.”
“ Centhini.”
“Ya, Denmas.”
“Aku ini bukan raja. Aku tidak berkuasa menerima sembah baktimu. Ketahuilah, Centhini! Aku hanya seorang yang sederajad dengan manusia lainnya. Aku takut mendapatkan kutukan dari Tuhan. Penguasa semesta yang berhak mendapatkan sembah bakti dari setiap manusia.” (Centhini :20).


Dari kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Jayengresmi adalah sosok yang berwibawa dan rendah hati. Jayengresmi tidak membedakakn staus sosila. Ia menganggap ia sama dengan manusia lainnya, sehingga tidak perlu untuk di sembah. Hal itu jelas dikatakan sendiri oleh Jayengresmi ketika Centhini melakukan sembah bakti kepadanya.

Di samping memiliki sifat- sifat di atas, tokoh Jayengresmi juga memiliki sifat pemarah. Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut :

Pagi berseri, langit pun cerah. Sesudah menyantap sarapan bersama keluarga ki nurbayin; jayengresmi beserta Jayengraga, Kulawirya, dan Nurupin meminta pamit untuk melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalana nmenuju desa Padakan, wajah Jayengresmi tampak muram. Bukan lantaran belum ditemukannya sisik melik keberadaan Syeh Amongraga, melainkan lantaran ulah binal Jayengraga yang telah nekad bersembadan dengan ketiga anak perawan Ki Nurbayin. (Centhini: 126).

 Pagi hari berselimutkan awan kelabu. Tanpa meminta pamit pada keluarga Wiracapa; Jayengresmi, Jayengraga, Kulawirya, dan Nuripin meninggalkan desa Trenggalek Lembuasta. Sepanjang perjalanan menuju padepokan Wanamarta, Jayengresmi tak pernah bicara dengan Jayengraga. Tampak jelas dari wajahnya, bahwa Jayengresmi tengah marah besar pada adinya itu.( Centhini1 : 32).


Kedua kutipan di atas, menggambarkan bahwa selain memiliki memiliki kepribadian yang halus dan rendah hati, ternyata Jayengresmi adalah sosok yang pemarah. Hal itu ditunjukkan ketika ia marah kepada Jayengraga karena telah berulah yang tidak seharusnya.

(5)   Jayengraga
Dalam novel ini tokoh Jayengraga memiliki sifat yang tidak baik atau amoral. Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut :

Tengah malam Centhini meraih sapu lidi yang tergeletak di tepian amben. Membersihkan tikar mending yang menghampar di amben itu. sesudah dirasa nyaman untuk ditiduri, ia perlahan-lahan merebahkan tubuhnya di atas amben itu. menatap lelangit kamar tidurnya. Teringat pada catatan-catatan lama yang masih terekam diotaknya. Teringat pada Monthel yang meninggalkannya sesudah tergoda dengan penari ronggeng. Teringat pada Syeh Amongraga yang pernah meninggalkan Niken Tambangraras sesudah empat puluh malam empat puluh hari melintasi bulan madu di dalam kamar pengantin. Teringat pada Jayengraga, putera Ki Bayi Panurta yang pernah memperkosanya di kamar mandi dekat sumur di belakang padepokan Wanamarta.(Centhini, 2012: 16).


Dari kutipan di atas, maka dapat diketahui bahwa Jayengraga memiliki prilaku yang tidak baik. Hal itu terlihat ketika Centhini pembantu di keluarga Ki Bayi Panurta itu penah diperkosa oleh Jayengraga di dekat sumur belakang padepokan Wanamarta.

Selain itu, ia merupakan tokoh yang memiliki kelainan seks atau yang biasa disebut dengan hiperseks. Berikut kutipan yang menerangkan hal tersebut :

Lantaran tak kuasa mengendalikan hasrat birahinya, Jayengraga nekad menggeser kakinya ke arah pintu. Hanya dengan sekali menyibakkan kain jarik yang menutup pintu itu, putera bungsu Bayi Panurta memasuki ruangan tidur ketiga anak perawan Ki Nurbayin itu. berdiri di depan bibir amben.
“Ssssttt….Jangan takut! Aku datang bukan untuk menyakitikalian bertiga. Aku ingin memberikan pelajaran agar kalian dapat menikmati asmara yang sempurna.”
“Sungguhkah?” Tanya Banem setengah berbisik.” Ajarkan segera, Tuan Jayengraga! Aku dan kedua adikku ini sudah tak sabar menerima pelajaran itu.”
Tanpa berpikir jauh, Jayengraga melepas celananya. Menggagahi Banem, Banikem, dan terakhir Bariyah. Tak lama kemudian, tubuh Jayengraga telah rebah di antaraketiga anak perawan Ki Nurbayin itu. Lantaran belum mencapai puncak pendakian asmara, satu per satu dari ketiga anak perawan itu menindih tubuh Jayengraga. Bersama kokok ayam jantan pertama, permainan asmara pun usai. (Centhini: 126).


Dari kedua kutipandi atas, dapat diketahui bahwa Jayengraga ini benar-benar memilik kelainan seks atau yang biasa disebut dengan hipersex. Ia selalu tidak bisa menhan hasrat birahinya ketika melihat seorang perempuan. Hal itu terlihat ketika Jayengraga menginap di rumah Ki Nurbayin yang ternyata memiliki tiga anak. Karena tidak bisa menahan hawa nafsunya ia langsung menyalurkan sekaligus pada ketiga anak Ki Nurbayin bersamaan dalam satu malam.

Kelainan seks itu juga ditunjukkan pada kutipan berikut ini:

Baru dua hari menjalin kehidupan rumah tangga dengan Rara Widuri, Jayengraga kembali berulah. Bercinta dengan Ni Wirdayati di sebuah gubug sawah di siang bolong peristiwa yang menggegerkan keluarga ndalem kademangan itu membuat Rara Widuri marah besar pada Jayengraga. Lantaran Jayengraga tak berani kembali di ndalem kademangan, Jayengresmi mengajaknya pulang ke padepokan Wanamarta. (Centhini: 132).


Dari kutipan di atas, dapat diketahui bahwa sifat buruk yang dimiliki tidak berubah meskipun ia sudah beristri. Jayengraga tetap bermain dengan perempuan lain bukan dengan istrinya. Padahal usia pernikahan mereka baru dua hari.

(6)   Niken Rancangkapti (Nyai Wanareksa)

Dalam novel ini Niken Rancangkapti memiliki sifat yang sabar dan tahan uji. Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut:
Betapa erat, Syeh Amongraga memeluk Niken Rancangkapti yang kemudian menderaikan air mata kebahagiaan di ranum pipinya. Betapa bangga, Syeh Amongraga pada adik bungsunya yang sekian lama dirindukannya itu telah sanggup melintasi cobaan demi cobaan hidup, sesudah Kasunanan Giri dapat dicengkeram kuku-kuku kekuasaan Sultan Agung dari Mataram. (Centhini: 84).

Dari kutipan di atas, dapat diketahui bahwa adik Syeh Amongraga itu memiliki sifat yang sabar dan tahan terhadap cobaan hidup yang harus dihadapinya. Niken Rancangkapti harus melintasi cobaan demi cobaan dalam hidupnya ketika Kesunanan Giri jatuh pada kekuasaan Mataram. Karena hal itu ia harus berpisah dengan kakaknya Amongraga.

Selain memiliki sifat sabar dan tahan uji, ia juga merupakan wanita yang tegar. Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut:

Hebat!” Pendeta Hercarana tersenyum sembari mengangguk-anggukkan kepalanya. Nak, Kinanthi ini benar-benar hebat! Sekalipun seorang wanita dan masih dalam berusia muda, namuntelah peduli dengan orang-orang di sekitarnya yang tengah dilanda kesusahan. Jiwa Nak Kinanthi sungguh seperkasa dengan jiwa Gusti Ayu Niken Rancangkapti. Ia tetap tegar sebagai  wanita sekalipun masa depan Kasunanan Giri telah luluh lantak sesudah dikuasai Mataram.”(Centhini: 141-142).


Dari kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa sosok Niken Rancangkapti adalah orang yang tegar. Sifat itu diungkapkan oleh Pendeta Hercarana kepada Kinanthi. Ia mengatakan bahwa Kinanthi memiliki sifat yang sama dengan Niken Rancangkapti, yaitu seorang wanita yang hebat. Seorang wanita yang tegar dalam menghadapi sesuatu hal.

(7)   Niken Turida
Dalam novel ini, tokoh Niken Turida memiliki watak yang lembut dan ramah. Berikut adalah kutipan yang menggambarkan hal tersebut :
“Bukankan kamu Centhini?”
“Benar, Den Ayu. Hamba, Chenthini.”
Niken Turida menatap lembut pada wajah Kinanthi. “Bukankah gadis belia yang berwajah cantik di sampingmu itu, Kinanthi?”
“Benar, Den Ayu.”
“Anakmu benar-benar cantik, Centhini.”
“Masak, Den Ayu. Ia hanya anak seorang babu. Celak sela, tebih saking raja gung binathara.”(Centhini: 19).


Dari kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Niken Turida adalah orang yang ramah. Bahkan dengan orang yang status soaialnya jauh di bawahnya. Ia terlihat ramah dan lembut ketika sedang berbicara dengan Centhini, yang statusnya hanya seorang pembantu. Bahkan ia pun memuji anak Centhini.

Sifat lembut dan ramah pada tokoh Niken Turida juga tergambar dalam kutipan berikut ini:
Kinanthi tersentak, saat pintu kamarnya diketuk Niken Turida. Tanpa berpikir panjang, Kinanthi beranjak dari kursi. Membuka pintu itu tanpa deritan. “Oh…, Ibu Turida. Apakah ada pekerjaan yang harus saya laksanakan?”
“Tak ada, Kinanthi.” Niken Turida menjawab dengan lembut. ”Malam ini ayahmu ingin berbicara denganmu. Beliau telah menunggumu di pendapa.” (Ceenthini : 27).


Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa Niken Turida memang orang yang lembut. Hal itu terlihat ketika ia berbicara dan menjawab pertanyaan Kinanthi. Ia menjawab dengan lembut.

(8)   Raden Pandansari
Dalam novel ini, Raden Pandansari merupakan puteri dari Sultan Agung Mataram. Meskipun ia adalah seorang wanita namun ia adalah orang yang pemberani. Berikut adalah kutipan yang menggambarkan hal tersebut :

Petarungan Sunan Giri dan Ratu Pandansari seolah tak mengenal akhir. Mereka tampak memiliki kepiawaian dalam olah pedang. Namun saat kuda penguasa Giri itu kelelahan, Ratu Pandansari mengerahkan kekuatan batinnya. Menebaskan pedangnya ke pedang lawan. Hingga pedang yang sontak patah itu terlempar bersama terjungkalnya Giri Parapen dari gigir kuda. (Centhini: 43).


Dari kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Ratu Pandansari adalah orang yang pemberani. Meskipun ia adalah seorang perempuan, tetapi ia berani maju dalam perang melawan Sunan Giri Parapen.
Selain seorang wanita yang pemberani, Raden Pandansari juga memiliki watak Keras kepala. Berikut adalah kutipan yang menggambarkan hal tersebut :

“Kita harus mengejarnya, Gusti Ayu.”
“Harus, Paman. Tapi sebaiknya, Paman Alap-Alap dan Kangmas Pekik pulang saja ke Mataram untuk menyerahkan Sunan Giri Parapen di hadapan Kanjeng Rama Sultan. Biarlah aku sendiri yang mengejar ketiga putera Sunan Giri Parapen itu.”
“Jangan Diajeng!” Pangeran Pekik mencegah kemauan Ratu Pandansari. “ Sebaiknya kita pulng dulu ke Mataram.”
Tanpa sepatah kata yang meluncur dari setangkup bibirnya yang mawar, Ratu Pandansari menyeblakkan kendali kuda. Secepat kilat, kuda itu melaju meninggalkan alun-alun Kasunanan Giri. Menyaksikan sikap adiknya yang keras kepala itu, Pangeran Pekik hanya menggeleng-nggelengkan kepala. Demikian pula, Tumenggung Alap-Alap dan seluruh prajurit Mataram. (Centhini: 44).


Dari kutipan di atas, Ratu Pandansari terlihat tetap kukuh dengan kemauannya untuk mengejar ketiga putera Giri Parapen. Meskipun sudah dihalangi oleh kakaknya. Ratu Pandansari tetap saja pergi meninggalkan kakanya, Tumenggung Alap Alap, dan prajurit Mataram. Hal itu jelass menggambarkan bahwa Ratu Pandansari adalah sosok yang sangat kerass kepala.

(9)   Tumenggung alap-alap
Dalam novel ini, Tumenggung Alap Alap merupakan Abdi yang setia membela Mataram, ia juga seorang yang penurut. Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut:

“Ehm….” Sultan Agung mengalihkan pandangannya dari Patih Singaranu kearah Tumenggung Alap-Alap.” Kakang Alap Alap!”
“Ya, Paduka.’
“Sebelim fajar pecah di ufuk timur, bawalah pasukan Mataram secukupnya untuk menyerbu Giri! Bawalah serta kedua puteraku – Pangeran Pekik dan Ratu Pandansari – sebagai senapti pengapit  kanan dan kiri!”
“ Titah Paduka hamba laksanakan.” (Centhini: 40).


Dari kutipan di atas, Tumenggung Alap Alap memang abdi yang setia, ia selalu menruti dan melaksanakan perintah dari Sultan Agung Mataram. Hal itu terihat ketika Sultan Agung Mataram memerintahkan untuk menyerbu Giri. Tanpa basa-basi ia langsung siap dan melaksanakannya.

Selain abdi yang setia dan penurut, Tumenggung Alap-Alap adalah orang yang pongah atau sombong. Berikut adalah kutipan yang menggambarkan hal tersebut :

Di atas gigir kuda, Tumenggung Alap-Alap tampak pongah sembari mengacung-acungkan keris ligan ke langit. Sebelum ia memerintahkan pada prajurit untuk memasuki kedaton, Sunan Giri Parapen yang duduk di gigir kuda putih dengan pedang di tangan kanan itu menghadang di depan pintu gerbang pagelaran. (Centhini: 41).


Dari kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Tumenggung Alap Alap adalah orang yang sombong. Hal itu terlihat ketika ia sedang memimpin penyerbuan  dan memerintahkan pada prajurit untuk memasuki kedaton, Kasunanan Giri.

(10)    Sunan Giri Parapen
Dalam novel ini,tokoh Sunan Giri Parapen memiliki watak pantang menyerah. Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut:

Dari gigir kuda, Ratu Pandansari mengarahkan pedangnya ke arah wajah Giri Parapen yang terjatuh duduk di tanah.” Katakan, hei Parapen! Bahwa kamu telah menyerah pada Mataram!”
Sabdapendhita ratu, tan bisa wola-wali. Lebih baik aku mati ketimbang hidup sebagai boneka Sultan Agung. Bunuhlah aku, Pandansari! Sebagaimana kamu telah membunuh ayahku.”
“Pantang bagiku untuk membunuh seorang senapati yang tak lagi bersenjata.”
“Namun sampai bumi ini berakhir dilipat Tuhan, aku tak pernah menyerah pada Mataram.” ( Centhini : 43).

Dari kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Giri Parapen tetap tidak mau menyerah meskipun pedang Ratu Pandansari telah mengarah ke wajah Sunan Giri. Sunan Giri tetap bersikukuh dengan pendiriannya. Lebih baik ia mati dari pada harus menjadi boneka Sultan Agung. 

(11)      Buras ( Monthel)
Dalam novel ini, tokoh Buras alias Monthel meiliki watak gampang tergoda janda. Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut:
 
Dalam diam, Centhini mendesah. Teringat keputusannya yang bodoh. Menerima perintah Syeh Amongraga untuk menikah dengan Monthel. Lelaki bertubuh tambun yang kemudian menceraikannya sesudah tergoda dengan seorang janda kembang. Meninggalkannya tanpa mengingat nasib Kinanthi. anak perempuannya yang akan merasa damai tinggal di antara ayah dan ibunya. (Centhini: 12).


Dari kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Monthel yang statusnya sudah beristrikan  Centhini tergoda dengan janda kembang dan malah lebih memilih menceraikan Centhini dengan tanpa memikirkan nasib anaknya Kinanthi yang masih membutuhkan seorang ayah.

(12)      Jamal ( Gathak)
Dalam novel ini, tokoh Jamal alias Gathak memiliki sifat yang jujur. Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut. : 

“Celaka, Gus.ketika hamba, Adhi Gathuk, dan Adhi Buras tengah mencari buah-buahan di tepian ngarai; hamba melihat seorang perempuan berkuda. Bila melihat pakaian yang dikenakannya, ia adalah prajurit Mataram.”
“Apa yang paman Gathak katakana itu bisa aku percaya?”
“Benar, Gus.” Gathuk dan Buras menjawab dengan serempak. ”Apa yang disampaikan Kakang Gathak itu benar. Ia adalah prajurit Mataram.” (Centhini : 48-49).

Dari kutipam di atas, dapat diketahui bahwa Gathak merupakan orang yang jujur. Hal itu terlihat ketika gathuk memberikan informasi mengenai prajrit Mataram yang sedang mengajarnya. Ia mengatakan dengan jujur dan apa adanya, sesuai dengan apa yang dia lihat.

Selain watak tersebut, Jamal alias Gathak juga meiliki sifat tegas dan teliti. Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut :

“Kakang Jamal….” Jamil yang hanya duduk di kursi di dalam bangunan tarub agung itu mencolek pinggang Jamal. “Aneh, ya? Kenapa Ki Kulawirya yang tengah ngibing dengan penari berkulit kuning nemu giring  itu tiba-tiba terjatuh bergulingan di tanah. Apa karena ia mabuk berat?”
“Tidak!” jawab Jamal tegas. “Apakah kamu tidak melihat, kalau penari berkulit kuning nemu giring  dan tampak memiliki ilmu beladiri yang tinggi itu menjegal kaki kiri Ki Kulawirya?”
“Tidak, Kakang Jamal.” Jamil mengernyitkan dahinya. (Centhini: 73).


Dari kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Gathak selain seorang yang jujur, ternyata dia juga termasuk orang yang tegas dan teliti. Hal itu dapat dilihat ketika ia sedang menonton tarub, Gathak dengan teliti memperhatikan Ki Kulawiraya yang sedang ngibing dengan  seorang penari. Dan dengan tiba-tiba Ki Kulawirya terjatuh. Karena sifat teliti yang Gathak miliki, akhirnya ia dapat mengetahui penyebab jatuhnya Ki Kulawiraya. Setelah ia tahu, kemudian ia mencoba memberitahu Gathuk dengan nada yang tegas.

(13)   Jamil (Gathuk)
Dalam novel ini, Jamil alias Gathuk merupakan seseorang yang berwatak jujur. Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut:

Selepas perempuan berkuda itu, Jamal membawa keranjangnya yang belum penuh berisi rumput. Mendaki puncak bukit dengan tergesa. Setiba di halaman gubug Ki Ageng Karang, ia memasuki ruangan depan. Dimana Syrh Amongraga tengah berbincang dengan Jamal yang barusan pulang dari meladang. “Celaka, Gus! Benar-benar celaka!”
“Ada apa, Paman?”
“Hamba kembali bertemu dengan perempuan berkuda dari Mataram itu di ngarai. Aku percaya, perempuan yang ingin berguru pada Ki Ageng Karang itu sesungguhnya telah mengetahui  keberadaan Gus Amongraga disini.”
“Apa yang Paman katakana itu dapat aku percaya?”
“Bila bohong, lidah hamba yang menjadi taruhannya.” (Centhini: 53).


Dari kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Gathuk termasuk orang yang jujur. Ketika ia bertemu dengan seorang perempuan dari Mataram. Dengan jujur Gathak membertahu Syeh Amongraga apa yang baru saja ia lihat. Bahkan ia sempat bertaruh untuk meyakinkan bahwa dirinya tidak berbohong.

(14)      Ki Bayi Panurta
Dalam novel ini, Ki Bayi Panurta merupakan ayah dari Niken Tambangraras, Jayengwesthi, dan Jayengraga. Ia adalah orang yang  periang. Berikut adalah kutipan yang menggambarkan hal tersebut: 

“He…, he…., he….” Ki Bayi Panurta tertawa renyah. “Kisanak Amongraga ini aneh! Selain tak ada di padepokan Wanamarta, bunga wijaya kusuma yang dapat mekar siang hari juga tak ada di jagad raya ini.” (Centhini: 62).
Sontak Syeh Amongraga mengerahkan akal budinya untuk mengakap makna lambing dari bunga wijaya kusama yang apat mekar di malam dan siang ahri itu. “Apakah bunga itu melambangkan seorang gadis yang tengah mekar hingga tampak mempesona baik siang maupun di malam hari?”
“Tepat! Ki Bayi Panurta tertawa renyah. “Ketahuilah, kisanak Amongraga! Aku ini memiliki tiga orang putra. Mereka adalah jayengwesthi, jayengraga, dan niken tambangraras. Keduan putra lelaki itu sudah menikah. Sementara putrid sulungku yang telah menginjak usia dua puluh tiga tahun itu masih  legan. Berpuluh-puluh perjaka yang ingin meminangnya gagal dalam sayembara. Mereka tak sanggup menjelaskan tentang makna hasta brata pada putrid sulungku itu.” (Centhini: 62-63)

Dari kutipandi atas, dapat diketahui bahwa Ki Bayi Panurta adalah orang yang periang. Hal itu dapat terlihat ketika Ki Bayi Panurta sedang berbincang dengan Syeh Amongraga mengenai bunga wijaya kusuma. Ki Bayi Panurta tertawa mendengar apa yang telah dikatakan Amongraga mengenai bunga wijaya kusuma.

Selain seorang yang periang, ia juga seorang yang pemarah.berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut:
“Sudah! Sudah, Ayah! Tak perlu marah!”
“Bagaimana aku tak marah? Bagimana kata orang-orang pada mbakyumu nanti. Mereka akan bilang; Tambangraras tak ubah sekerat tebu. Habis manis, sepah dibuang!”
“Aku tahu, Ayah. Tapi amarah ayah itu tidak akan pernah menyelesaikan persoalan.” Jayengresmi terdiam sesaat. (Centhini : 108).

Dari kutipan di atas, dapat diketahui bahwa ternyata Ki Bayi Panurta tidak hanya memiliki watak yang periang. Namun di sisi lain ia adalah orang yang pemarah. Hal itu dapat dilihat ketika Ki Bayi Panurta seddang berbincang dengan anaknya Jayengresmi mengenai Niken Tambangraras. Ki Baayi Panurta tampak marah sekali terhadap apa yangdilakukan oleh Amongraga terhadap anaknya Niken Tambangraras.

(15)      Syeh Mangunarsa ( Jayengsari)
Dalam novel ini, Syeh Mangunarsa alias Jayengsari merupakan adik dari Jayengresmi atau yang lebih dikenal dengan Syeh Amongraga. Dia memiliki sifat yang baik dan religius karena dia selalu ingat pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Berikut kutipan yang menggambarkan hal tesebut:

“Orang hidup itu seperti wayang, Kinanthi.” Syeh Mangunarsa membuka petuahnya. “ Hidup dan kematian wayang beraa di tangan dalang. Bila dalang menghendaki kematiannya, maka matilah wayang itu.” (Centhini: 24)


Dari kutipan diatas, dapat diketahui bahwa Syeh Manguarsa atau Jayengsari memiliki adalah orang yang baik dan religius. Hal itu tampak pada apa yang dia nasihatkan pada Kinanthi. Ia memberikan petuah mengenai hidup dan matinya manusia.

(16)      Sultan Agung
Dalam novel ini, Sultan Agung memiliki sifat serakah. Berikut adalah kutipan yang menggambarkan hal tesebut :

“Kita ketahui bahwa Mataram telah dapat menaklukkan Madura, Surabaya, Wirasaba, Lasem, Pasuruhan, dan daerah-daerah kecil lainnya. Kita telah dapat mengatasi pemberontakan para ulama Tembayat serta orang-orang Sumedang dan Ukur. Bahkan, kita telah mampu mengatasi pemberontakan Giri Kedaton.”
“Benar, Paduka.” Patih Singaranu menegaskan kebenaran sabda Sultan Agung. ”Kemudian rencana apa yang hendak Paduka sabdakan pada hamba dan seluruh punggawa dipagelaran ini?”
“Sayap kekuasaan Mataram di wilayah timur harus dikembangkan, Paman Singaranu. Kita harus menundukkan Kasunanan Giri yang kini berada di bawah kekuasaan Giri Parapen. Bagimana pendapatmu?”
“Hamba setuju, Paduka.” (Centhini: 39).


Dari kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Sultan Agung adalah orang yang serakah. Meskipun ia sudah banyak mengusai banyak daerah, tetapi dia masih ingin menguasai  Kasunanan Giri.

(17)       Nyi Sembada
Dalam novel ini, Nyi Sembada berperan sebagai janda yang memiliki kelainan seks (hiperseks). Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut:

Di desa Pulung, kami menyempatkan mampir di rumah Ki Banda Asmara. Malam harinya, kami menyaksikan tayub di rumah seorang janda – Nyi sembada. Siapa tahu Kakang Amongragaberada di antara para penonton itu. namun hasilny, kami tak menemukan Kakang Amongraga. Bahkan satu hal yang sangat memalukan; Adhi Jarengraga, Paman Kulawirya, dan Nuripin justru menghabiskan waktunya di desa itu untuk bercinta dengan Nyi Sembada. Seorang perempuan yang tidak pernah puas bercinta dengan hanya seorang laki-laki. (Centhini: 103).

Melihat kemunculan Kulawirya dan Nuripin, Nyi Sembada yang tak pernah puas bercinta dengan hanya seorang lelaki itu segera bangkit. Tanpa memperdulikan kotangnya yang belum menutup sepasang payudaranya, kebayanya yang belum terkancingkan, serta kain jarik dan bengkung yang tanggal dari tubuhnya; janda itu menarik lengan Kulawirya dan Nuripin. Mereka berhelatdalam permainan asmara yang sangat liar. Melampaui permainan asmara bangsa anjing. (Centhini: 113-114)


Dari kutipan di atas, maka dapat diketahui bahwa Nyi Sembada adalah seorang janda yang memiliki kelainan seks (hiperseks) karena ia tidak pernah puas bercinta hanya dengan seorang lelaki. Hal tersebut terlihat ketika Nyi Sembada bercinta dengan Jayengraga, Kulawirya, dan Nuripin.

Selain seorang yang hiperseks, Nyi Sembada merupakan janda yang suka menggoda laki-laki : berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut:

“Menyukai tayubnya atau penarinya, Kisanak Jayengraga?” Nyi Sembada mulai menggoda. “Bila tertarik dengan salah satu dari empat penari itu, turunlah ngibing di dalam arena. Kamu pasti akan lebih menyukainya. Apalagi kalau kamu bisa tidur dengan seorang penari yang paling kamu minati itu.” (Centhini: 112).


Dari kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Nyi Sembada adalah seorang penggoda. Ia mengoda Jayengraga dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya.

(18)      Ki Kulawirya
Dalam novel ini, Ki Kulawirya berperan sebagai adik dari Ki BayiPanurta sekaligus sebagai paman dari Jayengresmi atau Jayengwesthi. Tokoh ini memiliki tabiat yang tidak baik, yaitu pemabuk. Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut:
“Kakang Jamal….” Jamil yang hanya duduk di kursi di dalam bangunan tarub agung itu mencolek pinggang Jamal. “Aneh, ya? Kenapa Ki Kulawirya yang tengah ngibing dengan penari berkulit kuning nemu giring  itu tiba-tiba terjatuh bergulingan di tanah. Apa karena ia mabuk berat?”  (Centhini: 73).

Dari kutipan di atas,dapat diketahui bahwa Ki Kulawiraya memiliki kebiaaan yang yang tidak baik, seperti mabuk. Hal itu terlihat ketika ia ngining dengan seorang penari dengan keadaan masih mabuk berat.
c.       Latar
Latar atau setting adalah tempat di mana dan kapan kejadian-kejadian atau peristiwa terjadi dalam kesatuan waktu. Latar meliputi latar tempat, waktu, dan latar suasana.

1)      Latar Tempat
Latar tempat adalah latar yang menunjukkan tempat kejadian dalam suatu karya fiksi. Latar tempat yang terdapat dalam novel Centhini karya Sri Wintala Ahmad antara lain:

(a)    Di desa Jurang Jakung.
Latar tempat di desa Jurang Jakung tergambar dalam kutipan berikut:

Langit sufir yang tak tergores awan memayungi desa Jurang Jakung. Desa yang menghampar di lembah dengan di lingkungi perbukitan. Desa subur yang ditumbuhi aneka pepohonan: kelapa, mahoni, jati, rambutan, jambu biji, jambu air, kelengkeng, dan lainnya. Desa maksmur dengan hamparan ladang jagung, tomat, cabai, bayam, bayung, sawi, kobis, kacang panjang, dan lainnya. Desa sejahtera yang diyakini banyak orang sebagai irisan surga. (Centhini, 2012: 12).


Dari kutipan di atas, dapat diketahui bahwa latar tempat dalam novel Centhini karyaSri Wintala Ahmad berada di desa Jurang Jakung. Sebuah desa yang subur, makmur sehingga banyak ditumbuhi berbagai pepohonan dan berbagai macam jenis tanaman.

(b)   Padepokan Wanamarta
Latar tempat di padepokan Wanamarta terlihat dalam kutipan berikut:

Wanamarta. Desa di sebelah selatan Gunung Giri dan berada di tlatah Majakerta itu sangat tersohor berkat kesuburan tanahnya. Desa dengan dilingkungi hamparan sawah dan ladang yang dibelah sungai berair hijau kebiruan. Desa yang masih lekat dengan tradisi wiwitan sebelum masa panen, dan upacara sedekah bumi sesudah masa penen.” (Centhini, 2012: 60).

Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa pengarang menggambarkan latar Wanamarta. Sebuah desa yang  tersohor karena kesuburannya dan yang masih lekat dengan tradisi wiwitan sebelummasa panen.

(c)    Padepokan / perdukuhan Wanatawang
Latar tempat di padepokan atau perdukuhan Wanatawang tergambar dalam kutipan berikut:

Matahari terbit diufuk timur. Diiringi semilir angin yang berhembus dari puncak bukit, Centhini Kinanthi meninggalkan rumah. Meniti jalanan berbatu di kiri-kanannya ditumbuhi aneka pepohonan dan semak-semak belukar liar. Melangkahkan kaki dengan penuh keyakinan. Menuju padepokan Wanatawang. (Centhini, 2012: 17).


Berdasarkan kutipan di atas, latar tempat dalam novel ini selain di desa Jurang Jakung dan Wanamarta, ternyata juga berlatarkan di padepokan Wanatawang. Sebuah desa yang akan dituju oleh Centhini dan anaknya Kinanthi.
Selain kutipan di atas, latar tempat di Wanatawang juga terlihat pada kutipan berikut ini:

Beserta Kinanthi, Centhini memasuki pendapa Wanatawang dengan langkah penuh sopan santun. Sesuai duduk bersimpuh di lantai pendapa yang berhamparkan tikar mending, Centhini tersentak. Manakala kedua matanya menyaksikan lukisan yang melekat di tembok samping kanan pintu penghubung pendapa dengan ndalem jero itu. Lukisan keluarga Ki Bayi Panurta. Mereka duduk di kursi dengan wajah berseri dan pandangan mata secerlang bintang panjer isuk. (Centhini, 2012: 19-20).


Berdasarkan kutipan diatas, dapat diketahui bahwa latar tempat terjadi di pendapa Wanatawang. Hal itu terlihat ketika Centhini dan Kinanthi memasuki pendapa Wanatawang. Kemudian duduk bersimpuh di lantai pendapa dengan melihat lukisan keluarga Ki Bayi Panurta.

(d)   Sendang Klampeyan
Latar tempatdi Sendang Klampeyan tergambar dalam kutipan berikut:

Ambang subuh, Kinanthi terbangun dari tidur. Bergegas ke dapur untuk merebus air, meliwet nasi, menyayur lodeh, menggoreng tempe, dan menyambal trasi. Seusai pekerjaan itu, ia menyusul Centhini ke Sendang Klampeyan. Di Sendang yang semula dijadikan tempat bertapa Syeh Amongragaitu, ia beserta emaknya mandi dan mencuci beberapa potong pakaiannya yang telah kotor.  (Centhini, 2012: 17)

Rasa haru dan bahagia tak berperi mewarnai sendang Klampeyan di desa Jurang Jakung. Serasa di antara mimpi dan kasunyatan, Syeh Amongraga yang telah sempurana melakukan semadi itu menyaksikan orang-orang berdiri di bawah pohon beringin putih di tepian sendang. (Centhini, 2012: 83)

Berdasarkan kedua kutipan di atas, dapat diketahui bahwalatar tempat yang tergambar adalam Sendang Klampeyan. Sebuah tempat yang semula dijadikan tempat bertapa atau semadi Syeh Amongraga dan telah berubah menjadi tempat untuk mandi dan mencuci pakaian kotor.

(e)    Kaki Gunung Karang
Latar tempat di Kaki Gunung Karang jelas tergambar dalam kutipan berikut:
Tujuh hari tujuh malam; Syeh Amongraga, Jamal, dan Jamil tinggal di kaki Gunung Karang. Hari-hari telah mereka lintasi dengan menggarap ladang dan mencari rumput untuk sapidan kambing milik Ki Ageng Karang. Sekalipun hidup dengan kesahajaan, mereka merasa mendapatkan perlindungan dari buruan orang-orang Mataram. (Centhini, 2012: 53).

Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui latar tempat terdapat di Kaki Gunung Karang. Sebuah tempat yang ditinggali oleh Syeh Amongraga, Jamal dan Jamil. Tempat di mana mereka berlindung dari buruan orang-orang Mataram.
(f)    Perdukuhan Andong Tinunu di kaki Gunung Sidoro
Latar tempat di perdukuhan Andong Tinunu di kaki Gunung Sidoro tergambar dalam kutipan berikut:

Pagi hari. Syeh Amongraga, Jamal, dan Jamil kembali melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan ke arah perdukuhan Andong Tinunu di kaki Gunung Sidoro itu, Syeh Amongraga selalu teringat kisah Ki Buyut Wasi Bagena tentang penjelajahan batin Bima. (Centhini, 2012: 57-58).


Dari kutipan di atass, dapat diketahui bahwa latar tempat dalam novel ini terdapat di perdukuhan Andong Tinunu di kaki Gunung Sidoro. Sebuah tempat yang sedang dituju oleh Syeh Amongraga, Jamil, dan juga Jamal. 
(g)   Kota Boja
Latar tempat di Kota Boja tergambar dalam kutipan berkut:

Sepekan sesudah menobatkan Syeh Mangunarsa sebagai guru di padepokan Wanataka, Syeh Amongraga dan Niken Tambangraras meninggalkan desa itu. Berkelana hingga sampai di hutan Boja. Dengan kesaktiannya, Amongraga mengubah hutan yang merupakan kerajaan para jin itu menjadi kota terindah dan terkaya di tanah Jawa. Oleh Amongraga, kota itu diberi nama kota Boja. (Centhini, 2012: 90).

Dari kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa latar tempat terdapat di Kota Boja. Sebuah tempat yang awalnya adalah hutan, kemudian diubah oleh Syeh Amongraga menjadi kota terindah dan terkaya di tanah Jawa.

(h)   Desa Pulung
Latar tempat di desa Pulung tergambar dalam kutipan berikut:

Setiba di pertigaan jalan; Jayengresmi, Jayengraga, Kulawiraya, dan Nuripin membelokakan langkah ke arah desa Pulung. Sebuah desa yang terbilang makmur, namun kebanyakan penduduknya tak suka pergi ke surau untuk memanjatkan rasa syukur pada Tuhan. Mereka lebih suka menghambur-hamburkan uang dari hasil panen untuk berjudi kartu dan dadu, menenggak tuak hingga teller, bersabung ayam. Berselingkuh, dan nanggap tayub hingga fajar. (Centhini, 2012: 109).


Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa latar tempat terdapat di desa Pulung. Sebuah desa yang terbilang makmur, namun penduduknya merata tidak bersyukur kepada Tuhan. Penduduknya tidak suka beribadah, tetapi sebaliknya mereka lebih suka melakukan hal yang di larang oleh agama.
(i)     Goa Langse
Latar tempat di Goa Lengse tergambar dalma kutipan berikut:

Suatu siang di dalam salah satu ruangan Goa Langse. Syeh Amongraga yang telah sempurna menuliskan kitab tentang kisah pengembaraannya itu tampak bersuka cita. Wajahnya tampak berbinar-binar. Di mata Niken Tambangraras, ia serupa bayi yang baru dilahirkan dari rahim seorang ibu. (Centhini, 2012: 94).


Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa latar tempat terdapat di Goa Lengse. Sebuah goa yang dijadikan tempat oleh Syeh Amongraga untuk menuliskan sebuah kitab yang berisi tentang kisah pengembaraannya.

(j)     Gunung Kelud
Latar tempat di gunung Kelud tergamabar dalam kutipan berikut:

Matahari sore yang menebarkan cahaya layung perlahan-lahan menyelinap di balik bukit yang membentang di sepanjang kaki langit barat. Gunung Kelud yang sesiang tampak anggun tertangkap mata telanjang telah bersembunyi di balik selimut kabut. Sebentuk anak panak, sekawan burung yang barusan membelah langit telah kembali ke sarangnya. (Centhini, 2012: 116).


Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa latar tempat terdapat di gunung Kelud. Sebuah tempat yang anggun yang masih berselimutkan kabut.



(k)   Goa Pedali
Latar tempat di goa Pedali tergambar dalam kutipan berikut:

Senja telah berganti malam. Jayengresmi, Jayengraga, Kulawiraya, dan Nuripin yang telah memasuki perut Goa Pedali itu duduk di lempengan batu. Duduk melingkar di bawah naungan sinar bulan yang menembus lubang lelangit Goa. Lubang yang dijadikan pintu oleh sekawanan kekelawar untuk keluar dari goa dan kembali memasukinya. (Centhini, 2012: 116-117).


Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa latar tempat terdapat di goa pedali.  Ketika malam tiba, Jayengresmi, Jayengraga, Kulawiraya, dan Nuripin memasuki goa tersebut. Mereka duduk melingkar di atas batu yang disinari oleh sinar rembulan yang masuk ke dalam ruangan goa lewat lubang kecil di langit goa.

(l)     Desa Trenggalek Lembuasta
Latar tempat di desaTrenggalek Lembuasta tergamabar dlaam kutipan berikut:

Dua hari dua malam; Jayengresmi, Jayengraga, Kulawirya, dan Nuripin menempuh perjalanan jauh dari kedung Bagong hingga Trenggalek Lembuasta. Di desa itulah, mereka menginap di rumah Demang Ngabehi Kidang Wiracapa. (Centhini, 2012: 127).


Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa latar tempat terdapat di desa Trenggalek Lembuasta. Sebuah desa yang dijadikan tempat menginap oleh Jayengresmi, Jayengraga, Kulawirya, dan Nuripin setelah mereka menempuh perjalanan jauh dari Kidung Bagong.

(m) Desa Wanasonya
Latar tempat di desa Wanasonya tergamabar dalam kutipan berikut:

Berhari-hari, desa Wanasonya tampak lengang dan kehilangan napas kehidupannya. Orang-orang hanya terduduk di tepian reruntuhan rumah mereka. Merenungi nasib buruk yang tak mereka tahu kapan berakhirnya. Merenungi sebagian besar keluarga mereka yang telah tewas sebagai korban bencana alam. Mulut mereka terkunci untuk meneriakkan beban jiwa yang ditanggungnya. Air mata mereka telah kering untuk mengungkapkan rasa duka yang teramat dalam.  (Centhini, 2012: 140).


Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa latar tempat terdapat di desa Wanasonya. Sebuah desa yang masih porak-poranda setelah dilanda bencana alam. Di desa itu, masih terlihat orang-orang yang masih merenungi nasib buruk yang menimpa mereka. Merenungi sebagian besar keluarga mereka yang tewas karena bencana alam itu.

(n)   Hutang Gunung Kidul
Latar tempat di hutan Gunung Kidul tergambar dalam kutipan berikut:

Dengan langkah pasti; Kinanthi, Dhandhanggendhis, dan Pangkur yang telah berpamitan dengan pendeta Hercarana itu meninggalkan padepokan. Menuruni puncak Gunung Lima. Dari kaki gunung itu, mereka mengarahkan langkahnya menuju hutan Gunung Kidul. Hutan yang tersohor karena keangkerannya. Hingga hutan itu jauh dari jamahan kaki-kaki manusia. (Centhini, 2012: 145-146).


Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa latar tempat terdapat di hutan Gunung Kidul. Sebuah hutan yang sedang dituju oleh Kinanthi, Dhandhanggendhis, dan Pangkur. Sebuah hutan yang tersohor dengan keangkerannya.

2)      Latar Waktu
Latar waktu yaitu suatu latar yang menunjukkan kapan suatu peristiwa terjadi.
(a)    Pagi
Latar waktu pagi tergambar dalam kutipan berikut ini:

Matahari menyembul dari balik bukit timur. Kabut yang menggenangi desa Jurang Jangkung perlahan-lahan tersingkap. Beburung yang berkicauan berloncatan dari dahan ke dahan pepohonan. Kekupu dan capung-capung berterbangan tanpa menggendong beban di punggungnya. Semilir angin yang menggetarkan dedaunan dan rerumputan terasa memberikan kesejukan jiwa. (Centhini, 2012: 11).


Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa waktu menunjukkan pagi hari. Hal itu ditandai dengan matahari yang mulai mneymbul di balik bukit timur. Kabut pun masih menyelimuti desa Jurang Jakung.

Selain kutipan di atas, masih ada lagi yang menggambarkan waktu masih pagi. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut:
Kokok ayam jantan pertama terdengar bersahutan di kejauhan. Syeh Amongraga dan Jayengresmi masih duduk dalam perbincangan. Tidak hanya perbincangan tentang pengetahuan, namun pula tentang pengalaman perjalanan Syeh Amongraga yang bermula dari kaki Gunung Giri hingga desa Wanamarta. (Centhini, 2012: 69).

Adzan subuh terdengar sayup sampai dari sebuah serambi surau. Tanpa berpikir panjang, Syeh Amongraga dan Jayengresmi beranjak dari serambi. Bersama Ki Bayi Panurta, Nyi Malarsih, Ki Kulawirya, Niken Tambangraras, Niken Turida, Niken Rarasati, Centhini, Nuripin, Mbok Banem, Jamal, dan Jamil; mereka melangkahkan kaki menuju surau. Menunaikan jamaah solat subuh. (Centhini, 2012:70).


Berdasarkan keduan kutipan di atas, maka dapat kita ketahui bahwa waktu menunjukkan pagi (subuh). Hal itu ditandai dengan adanya kokok ayam jantan pertama yang terdengar bersahutan. Setelah itu adzan subuh terdengar dari sebuah serambi surau, menandakan waktu shalat subuh telah tiba.

(b)   Siang
Latar waktu siang hari tergambar dalam kutipan berikut ini:

Di naungan matahari yang semakin terik, Centhini mengatur napasnya yang mulai ngos-ngosan. Menyeka leleran keringat di wajah dan leher dengan telapak tangan yang kasar. Dengan memanggul cangkul, ia menuju gubug di tepian pematang. Duduk di ambenan gubug itu. menenggak air yang keluar dari lubang moncong kendi. Rasa segar menjalar ke seluruh tubuhnya. (Centhini, 2012: 12).


Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa waktu sudah menunjukkan sianghari. Hal itu di tandai dengan matahari yang semakin terik ketika Centhini masih bekerja.

Sebagaimana hari-hari sebelumnya, Jamal selalu menghabiskan waktu siangnya untuk merumput di ngarai. Manakala ia tengah sibuk dengan sabitnya, seorang perempuan yang turun dari gigir kuda bertanya,” Numpang Tanya, pak. Apakah Bapak tahu tempat Ki Ageng Karang? Seorang pintar berilmu kebatinan tinggi yang tinggal di Gunung Karang ini. Aku ingin berguru padanya. (Centhini, 2012: 53).


Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa latar waktu menunjukkan siang hari. Waktu di mana Jamal melakukan aktivitas seperti biasanya yaitu merumput di ngarai.

Suatu siang di dalam salah satu ruangan Goa Langse. Syeh Amongraga yang telah sempurna menuliskan kitab tentang kisah pengembaraannya itu tampak bersuka cita. Wajahnya tampak berbinar-binar. Di mata Niken Tambangraras, ia serupa bayi yang baru dilahirkan dari rahim seorang ibu. (Centhini, 2012: 94).

Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa waktu menunjukkan siang hari. Pada saat itu, Syeh Amongraga telah menyelesaikan tulisan yang dia buat yang berisi tentang kisah perjalanannya dalam sebuah kitab:

Matahari setinggi tombak. Sesudah berpamitan dan mengucapkan terima kasih pada Banda Asmara; Jayengresmi, Jayengraga, Kulawirya, dan Nuripin meninggalkan Desa Pulung. Mereka kembali mengayunkan langkah kaki. Mendaki jalanan berbatu. Menuju Goa Pedaliyang masihjauh dari tangkapan mata memandang.  (Centhini, 2012: 115).


Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa latar waktu menunjukkan siang hari. Hal itu terlihat ketika diterangkan bahwa matahari telah setinggi tombak. Secara tidak langsung berarti matahari itu tepat atau tegak lurus di ata kepala.

(c)    Sore
Latar waktu yang menunjukkan sore hari terdapat dalam kutipan berikut:

Semenjak sore, seluruh murid Jayengresmi sibuk bekerja di pendapa dan di dapur. Mereka yang ada di pendapa membersihkan lantai tanahanya dengan sapu lidi, sebelum tikar-tikar mendong di gelar dengan rapimereka yang ada di dapur memasak air dengan dandang dan menggodok ketela pohon dengan kuali. Sebagian merekka lainnya, membersihkan cangkir-cangkir dengan serbet, mempersiapkan teko-teko dan nampan-nampan kayu. (Centhini, 2012: 32).

Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa waktu menunjukkan sore hari. Seluruh murid-murid Jayengresmi tampak sedang sibuk denganpekerjaan masing-masing.
Awan menyelimuti purnama semenjak senja. Tak ada anak-anak yang bermain sambil melantunkan tembang-tembang di halaman padepokan Wanamarta. Pohon-pohon sawo yang tumbuh di halaman padepokan itu tertunduk dalam duka. Seoalah pohon-pohon itu turut bela rasa pada Bayi Panurta yang tengah berduka atas nasib buruk putrinya Niken Tambangraras. (Centhini, 2012: 107).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa waktu menunjukkan sore hari. Saat itu awan tampak menyelimuti purnama semenjak senja, sehingga tidak anak-anak yang bermain sambil melantunkan tembang. Suasana saat itu memang sama dengan suasana hati Ki Bayi Panurta yang sedang sedih karena nasib buruk yang menimpa pada anaknya.

Semakin sore, perbincangan tentang kepergian Syeh Amongraga dari padepokan Wanamarta antara Ki Nurbayin dengan Jayengresmi dan ketiga kawan seperjalanannya itu semakin melebar. Tampaknya modin desa longsor itu sengaja membelokkan arah perbincangannya mengenai ketiga anak perawannya yang sudah dibilang telat menikah. Karena senja hampir turun, perbincangan mereka di ruangan tamu itu pun usai. (Centhini, 2012: 124).


Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa ketika waktu sudah semakin sore Ki Burbayin dengan Jayengresmi dan ketiga temannya semakin asik membicarakan mengenai kepergian Syeh Amongraga. Perbincangan pun semakin melebar yang awlanya hanya membahas tentang Amongraga beralih memperbincangkan anak perawan Ki Nurbayin yang belumjuga menikah meski usianya sudah dapat dibilang telat untuk menikah.

(d)   Malam
Latar waktu yang menuntukkan malam hari terdapat dalam kutipan berikut:

Malam tanpa bulan dan bebintang. Semilir angin serupa membawa pengaruh mantram aji begananda. Melenakan orang-orang desa Jurang Jangkung ke dalam rasa kantuktak berperi. Namun di dalam ruangan depan dan halaman rumah duka, orang-orang masih khuyuk melakukan dzikir dan tahlilan. (Centhini, 2012: 23-24).


Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa waktu menunjukkan malam hari. Malam yang gelap. Tanpa ada penerangan dari bulan maupun bintang. Keadaan itu membuat orang-orang di Jurang Jakung terlena dalam kantuk yang tak berperi.

Usai makan malam, Kinanthi kembali membuka-buka kitab yang ditulis syeh Amongraga itu di ruangan belajar. Membaca ulang sekilas kisah emaknya yang tertulis di dalam kitab itu. Semenjak ia mengambdi sebagai babu di padepokan wanamarta hingga perjalanannya sampai di desa jurang jakung. (Centhini, 2012: 27).

Dari kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa waktu menunjukkan malam hari. Pada saat itu, seusai makan malam, Kinanthi tampak membuka-buka kitab yang ditulis oleh Syeh Amongraga mengenai kisah emaknya semenjak mengabdi sebagai babu di padepokan Wanamarta.

Waktu terus merayap, malam pun datang. di dalam ruang peraduan, Syeh Amongraga yang barusan menunaikan sholat tengah malam itu mendengar  pintu kamarnya diketuk lembut dari luar. Tanpa berpikir panjang, Amongraga melangkah ke pintu yang tidak dikuncinya itu.membukanya tanpa deritan. (Centhini, 2012: 66).

Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa latar waktu menunjukkan malam hari. Malam yang semakin merayap hingga tengah malam. Pada tengah malam itulah Syeh Amongraga melakukan shoalat malam.

3)      Latar Suasana
(a)      Sedih atau menyedihkan
Suasana sedih dalam novel Centhini karya Sri Wintala Ahmad tergambar dalam kutipan berikut:

Dalam diam, Centhini mendesah. Teringat keputusannya yang bodoh. Menerima perintah Syeh Amongraga untuk menikah dengan Monthel. Lelaki bertubuh tambun yang kemudian menceraikannya sesudah tergoda dengan seorang janda kembang. Meninggalkannya tanpa mengingat nasib Kinanthi. anak perempuannya yang akan merasa damai tinggal di antara ayah dan ibunya. (Centhini, 2012: 12).

Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa suasana yang timbul dalam kutipan itu adalah sedih, karena Centhini merasa sedih akan nasib yang menimpanya. Centhini merasa sedih karena suaminya Monthel tergoda dengan janda kembang dan tega meninggalkannya tanpa memikirkan nasib Kinanthi.

Matahari telah lingsir. Kinanthi dan Nyi Sartem meninggalkan padepokan. Sepanjang jalan menuju desa Jurang Jangkung, wajah Kinanthi senampak langit berselimutkan awan. Saat tiba di rumah, air matanya serupa gerimis yang mulai turun ke bumi. Hatinya berduka saat menyaksikan Centhini yang berbaring di amben dengan tubuh lunglai. Wajahnya pasi. Pandangan matanya berkabut. Bibirnya biru kehitam-hitaman. (Centhini, 2012: 22).

Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Kinanthi merasa sedih ketika melihat ibunya terbaring lemah di atas ranjang merasakan sakit. Air matanya perlahan jatuh menetes. Wajah Kinanthi senampak langit berselimutkan awan. Hatinya berduka sekali.

Belum sempat Kinanthi mengucapkan sepatah kata, napas Centhini tersengal-sengal. Usai melafalkan lirih kalimat sahadat, ia mengehembuskan napas terakhir. Kinanthi sontak menjerit. Jeritan yang membuat Nyi Sartem dan tetangga kiri-kanannya berdatangan. Sebagian mereka mengurus jenazah Centhini. Sebagian lainnya menghibur Kinanthi yang terus menderaskan air mata hingga membasahi wajahnya. Bertetesan di lantai tanah rumahnya. (Centhini, 2012: 23).


Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Kinanthi sedang merasakan kesedihan yang sangat dalam. Kinanthi menjerit secara tiba-tiba ketika Centhini telah menghembuskan napas terakhirnya. Air matanya langsung jatuh membasahi wajahnya.

Sebelum matahari setinggi tombak, seorang lelaki dari desa Wanataka yang mengenakan surjan dan sarung datang di padepokan Wanatawang. Mengabarkan bila Syeh Mangunarsa telah berangkat ke alam keabadiannya. Mendengar berita duka itu; wajah Jayengresmi, Niken Turida, Kinanthi, dan seluruh murid padepokan Wanatawang sontak serupa matahari yang bercadarkan awan. (Centhini, 2012: 101-102).


Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Jayengresmi, Niken Turida, Kinanthi, dan seluruh murid padepokan Wanatawang merasakan kesedihan. Hati mereka bagai matahari yang bercadarkan awan mendengar kabar bahwa Sywh Mangunarsa telah berpulang kepangkuan Illahi.

Seolah pohon-pohon itu turut bela rasa pada Bayi Panurta yang tengah berduka atas nasib buruk puterinya, Niken Tambangraras. Seorang pengantin baru yang selalu mengahabiskan waktunya sendirian di dalam kamar tidurnya. Meratapi nasibnya, sesudah sekian lama diringgalkan Syeh Amongraga tanpa pamit. Tanpa pesan. (Centhini,2012: 107).


Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Ki Bayi Panurta sedang bersedih. Ia memikirkan nasib anak perempuannya, yaitu Niken Tambangraras yang selalu menghabiskan waktunya sendirian di kamar tidurnya setelah ditinggal pergi oleh Syeh Amongraga dengan tanpa pamit.

(b)   Bahagia
Suasana bahagia dalam novel Centhini karya Sri Wintala ahmad tergambar dalam kutipan berikut:
“Dengan senang hati, Centhini. Aku bersedia mengangkat Kinanthi sebagai siswaku. Bahkan tak hanya aku angkat sebagai siswa, namun pula sebagai anakku sendiri. Mengingat lelabuhan-mu pada keluarga Panurta sudah tak dapat diukur dengan harta dan benda itu.”
Beribu-ribu terima kasih, Denmas. ”Wajah Centhini serupa matahari yang baru saja terbebas dari perangkap awan. Dalam sekejap, wajah itu dipalingkan ke arah anak gadisnya. “ Kinanthi…..”(Centhini, 2012: 21).

Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui perasaan Centhini yang sangat gembira mendengar anaknya diterima menjadi siswa sekaligus menjadi anak oleh Jayengresmi. Wajah Centhini bagai matahari yang baru terbebas dari perangkap awan. Terang sekali tanpa ada awan yang menyelimuti.

 “Dengan demikian, kamu telah menerima Kisanak Amongraga sebagai calon suamimu? Begitu?”
Niken Tambangraras menganggukkan kepala.
“ Lega hatiku!” Wajah Ki Byi Panurta sontak serupa matahari yang baru saja melepaskan cadar awannya. “Nak Amongraga! Berhubung telah memenagkan sayembara, maka Nak Amongraga jangancepat-cepat mencari adik perempuanmu itu! karena beberapa hari lagi, aku ingin menikahkanmu dengan Tambangraras.” (Centhini, 2012: 65).


Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Ki Bayi Panurta sedang merasakan suatu kebahagian. Anaknya Niken Tambangraras telah menerima seorang Laki-laki bernama Syeh Amongraga sebagai suaminya setelah  Syeh Amongraga memenangkan sayembara.

Betapa erat, Syeh Amongraga memeluk Niken Rancangkapti yang kemudian menderaikan air mata kebahagiaan di ranum pipinya. Betapa bangga, Syeh Amongraga pada adik bungsunya yang sekian lama dirindukannya itu telah sanggup melintasi cobaan demi cobaan hidup, sesudah Kasunanan Giri dapat dicengkeram kuku-kuku kekuasaan Sultan Agung dari Mataram. (Centhini, 2012: 83-84).

Berdassarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Syeh Amongraga merasakan kebahagiaan. Akhirnya berkat kesabarannya ia dapatbertemu kembali dengan adiknya Niken Rancangkapti.

(c)    Mengerikan
Suasana mengerikan yang timbul dalam novel Centhini karya Sri Wintala Ahmad tergambar dalam kutipan berikut:

Malam demi malam telah dilalui Kinanthi dengan bersamadi di dasar sendang Klampeyan. Pada malam ketujuh, ia telah melintasi godaan demi godaan dari bangsa iblis yang berwujud lelaki tinggi besar bertubuh legam dengan gigi-gigi bertaring sebesar gading gajah, berkuku sebesar pisang ambon; pocongan, kuntilanak, banaspati, dan wedhon. (Centhini, 2012: 29).


Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Kinanthi merasakan sesuatu yang mengerikan mengahampirinya. Pada saat malam ketujuh ia bertapa di sendang Klampeyan banyak sekali godaan-godaan yang melintasinya. Godaan itu seperti iblis yang berwujud lelaki tinggi besar bertubuh legam dengan gigi-gigi bertaring sebesar gading gajah, berkuku sebesar pisang ambon; pocongan, kuntilanak, banaspati, dan wedhon.

Dalam sekejap, pasukan Mataram mendapatkan perlawanan dari pasukan Giri. Karena tak siap umtuk melakukan pertempuran, pasukan Giri dapat dilumpuhkanp pasukan Mataram hanya dalam beberapa gebrakan. Mayat-mayat dengan kepala terpisah dengan raga. Mayat-mayat dengan dada berlubang hingga menembus punggungnya. Mayat-mayat dengan usus menjurai keluar dari perutnya. Darah menggenangi alun-alun. (Centhini, 2012: 41).


Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa suasana mengerikan terjadi ketika Kasunanan Giri diserbu oleh pasukan Mataram. Akibatnya terjadi pertempuran yang hebat. Banyak mayat yang meninggal karena terpenggal, banyak dada yang berlubang hingga menembus punggungny, serta yang lebih mengeraikan lagi yaitu banyak mayat dengan usus menjurai keluar dari perutnya, sehingga darah menggenangi alun-alun.

(d)   Resah / gelisah
Suasana resah dalam novel Centhini karya Sri Wintala Ahmad tergambar dalam kutipan berikut:

“Nak Jayengresmi….” Ki Wiracapa membuka pembicaraan dengan wajah yang meyiratkan ketenangan hati paling dalam. “Sudah dua hari, Nak Jayengresmi tinggal di gubugku ini. Namun  rasanya, Nak Jayengresmi tampak selalu gelisah. Sesungguhnya apa yang tengah Nak Jayengresmi rasa dan pikirkan? Apakah sambutan yang kami berikan kurang berkenan bagi Nak Jayengresmi?” (Centhini, 2012: 128).

Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Jayengresmi sedang merasakan kegelisahan. Hal itu diungkapkan oleh Ki Wiracapa ketika mengamati sikap Jayengresmi selama dua hari tinggal di gubuknya. Hingga akhirnya ia menanyakan pada Jayengresmi mengenai masalah apa yang ada dalam dirinya, apakah kurang puas dengan pelayanan yang diberikan oleh keluarga Ki Wiracapa, atau ada masalah yang lain. Hingga akhirnya Ki Wiracapa mengetahui penyebab kegelisahan pada diri Jayengresmi.

(e)    Menakutkan
Suasana menakutkan dalam novel Centhini karya Sri Wintala Ahmad tergambar dalam kutipan berikut:

Awan menggantung tebal di langit desa Longsor. Kilat menyambar-nyambar bagaikan naga api. Guntur meledak hingga memekakkan telinga. Angin kencang bersiutan menggoyang-goyangkan pepohonan. Tak lama kemudian, hujan pun bagai ditumpahkan dari langit ke permukaan bumi. (Centhini, 2012: 125).


Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa suasana di desa longsor sangat menakutkan. Kilat yang menyambar bagai naga api, guntur meledak hingga memekakkan telinga, ditambah lagi angin kencang yang terus saja menggoyang-goyangkan pepohonan.
(f)    Ramai
Suasana ramai dalam novel Centhini karya Sri Wintala Ahmad tergambar dalam kutipan berikut:

Orang-orang semakin merapat ke arena, manakala gending pembuka pertunjukan tayub mulai ditalukan oleh sekawanan wiyaga. Mereka pun sontak bersorak sorai, manakala tiga penari muda berparas menawan, berselendang kuning ganding, berjarik sidomukti, dan berkemben cinde itu memasuki arena. Seirama rampak gamelan, tepakan gendang, dan lantunan tembang dari seorang sindhen;  tiga penari itu mulai memainkan selendang, lirikan mata, dan pantatnya. (Centhini, 2012: 72-73).


Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa suasana dalam pertunjukkan tayub adalah ramai. Hal itu terlihat banyaknya orang yang datang untuk melihat pertunjukkan tayub. Di tambah lagi dengan suara gemuruh bunyi alat musik pengiring ketika menari.

Suatu malam seusai waktu ‘isya, jayengresmi, Jayengraga, Kulawirya, danNuripin berkumpul dan berbincang dengan keluarga besar Ki Wiracapa di ruangan pendapa joglo yang cukup megah. Mereka tak hanya Ki Wiracapa dan istrinya, melainkan pula keempat puteranya - Ni Widaryati, Wirabancana, Wirangkara, Wirabraja; serta RaraWiduri keponakannya yang berparas jelita itu. (Centhini, 2012: 127-128).


Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa suasana di ruangan pendapa joglo tampak ramai. Keramaian itu disebabkan oleh banyaknya orang yang berkumpul dan berbincang di dalam ruangan itu.

Tiga hari setelah lamaran itu, pesta pernikahan Jayengraga dengan Rara Widuri dimeriahkan dengan pertunjukan kesenian. Tak hanya reyog yang digelar siang hari, namun pula wayang kulit yang digelar malam harinya. Hingga banyak orang desa Trenggalek Lembuasta bilang, bahwa ndalem kademangan pada siang dan malam itu seramai pasar tiban.  (Centhini, 2012: 131).


Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa suasana pernikahan antara Jayengraga dengan Rara Widuri sangatlah ramai dan meriah. Hal itu terjadi karena pernikahan itu di meriahkan dengan pertunjukkan kesenian baik siang maupun malam hari.

(g)   Mengharukan
Suassana mengerikan dalam novel Centhini karya Sri Wintala Ahmad tergambar dalam kutipan berikut:

Betapa erat, Syeh Amongraga memeluk Niken Rancangkapti yang kemudian menderaikan air mata kebahagiaan di ranum pipinya. Betapa bangga, Syeh Amongraga pada adik bungsunya yang sekian lama dirindukannya itutelah sanggup melintasi cobaan demi cobaan hidup, sesudah Kasunanan Giri dapat dicengkeram kuku-kuku kekuasaan Sultan Agung dari Mataram (Centhini, 2012: 83-84).


Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Syeh Amongraga merasa terharu karena telah bertemu dengan adiknya Niken Rancangkapti. Ketika ia bertemu dengan adiknya, ia langsung memeluk adiknya dengan erat. Perasaan Syeh Amongraga sangat bahagia dan haru, hingga ia menderaikan air matanya.

Dengan rasa penuh haru, Syeh Amongraga melangkah ke arah Ki Bayi Panurta dan Nyi Malarsih. Seusai melakukan sembah bakti pada kedua mertuanya, ia bangkit dan menjabat tangan Jayengresmi, Jayengraga, Ki Kulawirya, dan Nuripin. Menjelang matahari bersinggasana di puncak bukit barat, mereka memasuki gubug. Menikmati hidangan sekadarnya, berbincang, dan melepaskan rasa rindu (Centhini, 2012: 89-90).


Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa pertemuan antara Syeh Amongraga dengan Ki Bayi Panurta dan Nyi Malarsih terasa sangat mengharukan. Amongraga tidak hanya bertemu dengan Bayi Panurta dan Nyi Malarsih, tetapi juga bertemu dengan Jayengresmi, Jayengraga, Ki Kulawirya, dan Nuripin.

(h)   Sepi
Suasana sepi dalam novel Centhini karya Sri Wintala Ahmad tergambar dalam kutipan berikut:

Suatu malam seusai waktu isya, jayengresmi, Jayengraga, Kulawirya, dan Nuripin berkumpul dan berbincang dengan keluarga besar Ki Wiracapa di ruangan pendapa joglo yang cukup megah. Mereka tak hanya Ki Wiracapa dan istrinya, melainkan pula keempat puteranya - Ni Widaryati, Wirabancana, Wirangkara, Wirabraja; serta Rara Widuri keponakannya yang berparas jelita itu. Namun menjelang tengah malam, ruangan pendapa itu tinggal menyisakan Ki Wiracapa dan Jayengresmi (Centhini, 2012: 127-128).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa suasana tengah malam terasa sepi, karena di ruangan pendapa yang awalnya ramai tinggal Ki Wiracapa dan Jayengresmi.

(i)     Lengang
Suasana lengang dalam novel Centhini karya Sri Wintala Ahmad tergambar dalam kutipan berikut:

Suasana di dalam Goa Pedali sejenak lengang dari suara manusia. Hanya suara cerecet sekawanan kekelawar, derik ular, dan senandung serangga yang mengisi celah-celah kesunyian malam. Namun seusai semilir angin beraroma serimpi menembus lubang lelangit goa itu, Nyi Pedali mengawali kisahnya (Centhini, 2012: 118).


Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa suasana di Goa Pedali sejenak terasa lengang, tidak ada suara manusia, yang ada hanyalah suara cerecet sekawan kekelawar, derik ular, dan senandung serangga.

(j)     Meriah
Suasana meriah dalam novel Centhini karya ri Wintala Ahmad tergambar dalam kutipan berikut:

Tiga hari setelah lamaran itu, pesta pernikahan Jayengraga dengan Rara Widuri dimeriahkan dengan pertunjukan kesenian. Tak hanya reyog yang digelar siang hari, namun pula wayang kulit yang digelar malam harinya. Hingga banyak orang desa Trenggalek Lembuasta bilang, bahwa ndalem kademangan pada siang dan malam itu seramai pasar tiban  (Centhini, 2012: 131).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa pesta pernikahan antara Jayengraga dengan Rara Widuri sangat meriah karena ada pertunjukkan kesenian . pertunjukkan itu tidak hanya pada siang hari, tetapi  juga pada malam hari.

B.       Pembahasan
Sastra adalah karya dan kegiatan seni yang berhubungan dengan ekspresi dan kejiwaan yang berupa pengalaman dan imajinasi pengarang. Dengan membaca karya sastra kita dapat memahami berbagai macam kehidupan manusia dan segala permasalahan yang diungkapkan sehingga dapat menambah pengalaman serta pelajaran hidup bagi kita.
1)    Etika Jawa
(a)      Etika Wong Cilik
“Ma’af, Centhini!” Niken Turida sejenak terdiam. “Oh ya, Centhini. Masuklah dulu ke pendapa!”
Beserta Kinanthi, Centhini memasuki pendapa padepokan Wanatawang dengan langkah penuh sopan santun. Seuasai duduk bersimpuh di lantai pendapa yang berhamparkan tikar mendong, Centhini terrsentak manakala kedua matanya menyaksikan lukisan yang melekat di tembok samping kanan pintu penghubung pendapa dengan ndalem njero itu. (Centhini, 2012: 19)

Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Centhini yang sedang bertamu di rumah Niken Turida. Sebagai seorang yang statusnya hanylah seorang babu Centhini dengan diikuti anaknya Kinanthi masuk dan duduk bersimpuh selayaknya orang yang berasal dari kalangan bawah.
“Oh mangga! Mangga!”  Lelaki paruh baya yang tak lain Ki Ageng Karang itu menyambut dengan tawa renyah. Silakan! Silakan duduk, KIsanak sekalian!”
“Terima kasih.”
“Oh ya, Kisanak. Kalau boleh tahu, Kisanak bertiga ini siapa namanya?”
“Aku Gathak.”
“Gathuk dan Gathak. Dua nama unik yang terdengar lucu.” Ki Ageng Karang yang tertawa lepas itu mengalihkan pandangannya pada Jayengresmi. “Lha …. Kalau nama Kisanak yang berparas tampan ini siapa?”
“Apa sampeyan belum pernah mendengar nama Pangeran Jayengresmi dari Kesunanan Giri?” Dengan sikap jumawa, Gathak sontak nimbrung dalam pembicaraan. “Beliau ini Pangeran Jayengresmi, Ki.”
“Benarkah demikian, Kisanak?”
Jayengresmi mengangguk pelan sembari melepaskan senyuman samar. Sontak Ki Ageng Karang turun dari lincak. Duduk bersila di tanah. Menghaturkan sembah. “Mohon ampun, Pangeran. Hamaba tak tahu bila yang datang ke gubug hamba adalah putera mahkota Kanjeng Sunan Giri Parapen.” (Centhini, 2012: 50-51)

Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Ki Ageng Karang yang notabenya berasal dari kalangan bawah atau wong cilik melakukan sembah bakti kepada Syeh Amongraga, seorang pangeran dari Kasunanan Giri.
“Centhini!” Ki Bayi Panurta memanggil Centhini dengan suara lantang dari ruangan pendapa. Sesudah abdi setia Niken Tambangraras itu menghadap, orang terhormat dari desa Wanamarta itu berkata, “Tolong panggilkan Tambangraras untuk menghadapku di pendapa!”
Sendika, Tuan.” Centhini meninggalkan ruangan pendapa. Tak lama kemudian, ia telah kembali memasuki pendapa beserta Niken Tambangraras. “Den Ayu Tambangraras telah menghadap, Tuan.”
“Terima kasih. Kembalilah ke dapur!” Selepas Centhini dari pendapa, Ki Bayi Panurta mengarahkan pandangannya pada Niken Tambangraras. “Duduk, anakku!”
“Ya, Ayah.” (Centhini, 2012: 63)
Berdasarkan kutipan di atas, dapat dikethaui bahwa Centhini adalah seorang  babu di rumah Ki Bayi Panurta. Sebagai seorang babu, ia selalu menuruti apa yang diperintahkan oleh Tuannya. Seperti ketika Centhini disuruh untuk memanggilkan Niken Tambangraras, Centhini langsung melaksanakannya. Hal itu sesuai dengan etikanya wong cilik yang harus memenuhi segala permintaan dan menuriti segala perintah Tuannya.

“Terima kasih, Nyai.” Kinanthi bersujud di hadapan perempuan paruh baya itu. tanpa pertolongan Nyai, aku pasti menjadi boneka birahi orang-orang itu.”
“Seharusnya kamu tidak perlu berterima kasih padaku, cah ayu. Sebaliknya, aku meminta ma’af padamu atas kekurangajaran murid-muridku itu.” Perempuan paruh baya menghirup semilir angin sore. “Tapi, sudahlah! Lupakan itu semua!” (Centhini, 2012: 149)
 “Inna lillahi wa inna illaihi roji’un.” Perempuan paruh baya itu menitikkan air mata di pipinya. “Tidak aku sangka kalau Kakang Jayengresmi, Mbakyu Niken Turida, dan Mbakyu Niken Rarasati telah mendahuluiku untuk menghadap Gusti Kang Murbeng Dumadi.”
“Tampaknya Nyai telah mengenal Guru Jayengresmi, Ibu Niken Turida, dan Niken Rarasati? Sesungguhnya siapa Nyai ini?”
“Akulah orang yang ingin kamu temui itu, Kinanthi.”
“Jadi…”  Kinanthi sontak terperangah. “Nyai adalah Gusti Ayu Niken Rancangkapti?”
Perempuan paruh baya itu menganggukkan kepalanya dengan pelan. Tanpa berpikir panjang, Kinanthi yang kemudan diikuti Dhandhanggendhis dan pangkur itu menghaturkan sembah dengan serempak. “Seribu ampun, Gusti Ayu Niken Rancangkapti. Sama sekali, hamba tak tahu bila yang telah melindungi hamba di hutan ini adalah Gusti ayu.” (Centhini, 2012: 150-151)


Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Kinanthi beserta Dhandhanggendhis dan pangkur mengahturkan sembah bakti sebagai seorang bawahan kepada atasan, karena Gusti Ayu Niken Rancangkapti merupakan seorang wanita keturunan dari Kasunanan Giri. Sudah selayaknya dan semestinya Kinanthi melakukan itu karena statusnya dia hanyalah orang kecil yang harus menghormati wong gedhe.

(b)      Etika Wong Gedhe

“Ma’af, Centhini!” Niken Turida sejenak terdiam. “Oh ya, Centhini. Masuklah dulu ke pendapa!”
Beserta Kinanthi, Centhini memasuki pendapa padepokan Wanatawang dengan langkah penuh sopan santun. Seuasai duduk bersimpuh di lantai pendapa yang berhamparkan tikar mendong, Centhini terrsentak manakalakedua matanya menyaksikan lukisan yanh melekat di tembok samping kanan pintu penghubung pendapa dengan ndalem njero itu. lukisan keluarga Ki Bayi Panurta. Mereka duduk di kursi pendapa dengan wajah berseri dan pandangan mata secerlang bintang panjer isuk.
“Centhini…..”
“Ya, Den Ayu.”
“Kalau boleh tahu, apa maksud kedatanganmu bersama Kinanthi di padepokan?”
“Tak ada maksud hamba, selain ingin menghadap Denmas Jayengresmi.”
“Oh …. Begitu.” Niken Turida mengangguk-anggukkan kepala. “Baiklah. Tunggu sebentar!”
Suasana pendapa padepokan Wanatawang senyap. Tak lama kemudian, suasan itu pecah saat Jayengresmi yang usai menyantap makan siang itu muncul di pendapa. Duduk di depan Centhini dan Kinanthi dengan wajah menyiratkan kewibawaan seorang guru.
“Sembah bakti pada Denmas Jayengresmi.”
“Centhini.”
“Ya, Denma.”
“Aku ini bukan raja. Aku tidak berkuasa menerima sembah baktimu. Ketahuilah, Centhini! Aku hanya seorang manusia lumrah. Makhluk Tuhan yang sederajat dengan manusia lainnya. Aku takut mendapatkan kutukan dari Tuhan. penguasa semesta yang berhak mendapatkan smebah bakti dari setiap manusia.” (Centhini, 2012: 19-20)


Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Jayengresmi termasuk orang dalam kalangan yang biasa disebut dengan wong gedhe. Walaupun begitu, Jayengresmi tidak angkuh ataupun sombong dengan hal itu. Ia tetap menghormati orang yang di bawahnya (wong cilik). Hal itu terlihat ketika Centhinimemberikan sembah bakti kepadanya. Dia malah menolak. Dengan kerendahan hatinya dia menerangkan bahwa yang berhak untuk Centhini semmbah hanyalah Tuhan, bukanlah dia.

“Dengan senang hati, Centhini. Aku bersedia mengangkat Kinanthi sebagai siswaku. Bahkan tak hanya aku angkat sebagai siswa, namun pula sebagai anakku sendiri. Mengingat lelabuhan-mu pada keluarga Panurta sudah tak dapat diukur dengan harta dan benda itu.”
“Beribu-ribu terima kasih, Denmas.” Wajah Centhini serupa matahari yang baru saja terbebas dari perangkap awan. Dalam sekejap, wajah itu dipalingkan ke arah anak gadisnya. “Kinanthi…”(Centhini, 2012: 21)

Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Jayengraga benar-benar tidak membedakan manusia dari tingkatan sosialnya. Hal tersebut dapat dilihat ketika Centhini memasukkan anaknya Kinanthi untuk berguru dengannya, dengan sikap yang bijak, Jayengresmi menerima Kinanthi sebagai siswanya sekaligus menjadikannya sebagai anaknya sendiri. Hal tersebut membuktikan bahwa Jayengresmi adalah orang yang sangat baik, ia mau menjadikan Kinanthi sebagai anaknya meskipun ia tahu bagaimana latar belakang sosial orang tuanya.
 “Mohon ampun, Rama Sultan.” Pangeran Pekik menggeser duduknya ke depan hingga mendekati singgasana Sultan Agung. “Seusai Sunan Giri Parapen dapat ditaklukkan, Diajeng Pandansari memasuki istana untuk menangkap ketiga putera Giri. Namun, mereka telah lolos dari istana……”
“Lantas?”
“Tanpa bisa hamba cegah, Diajeng Pandansari memburu ketiga putera Giri itu.”
“Pekik!”
“Ya, Ramanda Sultan.”
“Kamu telah bersalah besar. Karenanya, tebuslah kesalahanmu itu dengan membawa Pandansari pulang ke Mataram! Jangan sekali-kali menghadapku, sebelum kamu membawa pulang adikmu itu!”
“Baiklah Rama, hamba mohon pamit.”
“Segera pergi! Temukan dan bawalah pulang adikmu!” Sultan Agung memalingkan wajahnya ke arah Tumenggung Alap Alap. (Centhini, 2012: 45-46)


Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Sultan Agung sedang marah dengan apa yang telah dilakukan oleh Pangeran Pekik dan Tumenggung Alap Alap. Sultan Agung adalah orang yang masuk dalam golongan wong gedhe. Sebagai wong gedhe ia dapat melakukan apa saja, termasuk memberikan hukuman kepada yang salah. Seperti kepada anaknya dan Tumenggung Alap Alap. Hukuman yang diberikannya pun sesuai dengan kesahan yang telah dilakukannya.

“Tidak salah, Tuan,” Dharmengbudi menjawab sembari tertawa kecil. “Telah bertahun-tahun kami melakukan lelana brata. Namun belum ada seorang guru yang mengajarkan hamba tentang ilmu sejati. Karenanya bila Tuan berkenan, ajarkan hamba tentang ilmu sejati!”
“Kisanak Dharmengbudi ini aneh! Aku ini hanya seorang manusia lumlah. Manusia yang serupa katak dalam tempurung. Bagaimana aku dapat mengajarkan Kisanak tentang ilmu sejati?”
“Tuan ….” Ragaresmi nimbrung dalam pembicaraan. “Janganlah Tuan terlalu merendah hati! Melalui bisikan hati yang hamba terima, Tuan bukan seorang yang lumrah. Tapi, Tuan adalah seorang pinunjul  yang telah menguasai ilmu baik yang bersifat lahir maupun batin. Karenanya jarkan hamba tentang ilmu sejati, Tuan! Ilmu yang kelak akan menjadi pedoman hidup dan pelita hati hamba. Bukankah islam mengajarkan, bila seorang meninggal hanya tiga hal yang dapat menjadi kunci surge. Anak soleh, amal jariyah, dan ilmu yang bermanfaat bagi orang lain?”
Mendengar penuturan Ragaresmi, Syeh Amongraga menghela napas panjang. “Baiklah! Aku akan mengajarkan Kisanak sekalian tentang ilmu sejati itu.”
“Wah… terima kasih, Tuan,” jawab Dharmengbudi dan Ragaresmi serempak. “ Karena Tuan telah berkenan, maka kami siap untuk menerima wejangan itu.”
“Kisanak sekalian, ketahuilah! Ilmu bisa dikatakan sejati, bila dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. ……. (Centhini, 2012: 97)


Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Syeh Amongraga adalah pangeran dari kasunanan Giri. Ia sudah banyak mempelajari ilmu baik yang bersifat lahir maupun Batin. Meskipun begitu ia masih merasa kurang. Menurutnya masih banyak hal yang perlu ia pelajari sehingga ia mengumpamakan dirinya bagai katak dalam tempurung. Ia bersikap begitu ketika ada seseorang yang ingin berguru padanya. Awalnya Syeh Amongraga tidak mau namun akhirnya ia pun mau. Syeh Amongraga (wong gedhe) banyak memberikan nasihat yang dapat berguna dalam menjalani suatu kehidupan.

(c)      Etika Anak Dan Istri
“Kamu sudah terbangun Kinanthi? Apakah otot bebayu-mu sudah pulih kembali sesudah bersemadi di sendang Klampeyan?”
“Sudah, Ibu.”
“Syukurlah! Niken Turida tersenyum lega. “Sekarang mendilah! Kenakan pakaian yang bagus!”
“Memangnya ada apa, Ibu?”
“Sudahlah, Kinanthi. Nanti kamu akan tahu sendiri.” Mendengar jawaban Niken Turida, Kinanthi tak lagi bertanya. Sekalipun rasa keingintahuannya tentang alasan kesibukan ibu angkatnya, Nyai Darsinah, dan seluruh siswa Jayengresmi di pendapa dan di dapur semakin mengganggu pikirannya. Terlebih saat ia diminta mengenakan pakaian yang bagus. Permintaan aneh yang tak pernah didengar sebelumnya.
“Kenapa kamu hanya berdiri termangu di situ, Kinanthi? Segeralah mandi dan kenakan pakaian yang begus! Sebentar lagi senja.”
Kinanthi mengangguk pelan. Meningglakan pringgitan. Memasuki kamar pribadinyamengambil kain jarik dan kebayanya yang bagus. Menuju sumur di belakang padepokan. Menimba air untuk dituang ke dalam lubang batang bamboo yang menembus salah satu sisi tembok kamar mandi dan mengarah lempang di atas bak batu putih. Sesudah iar memenuhi bak, ia memasuki kamar mandi yang berdinding gedek dan beratap genting itu. menutup pintunya. (Centhini, 2012: 33-34)


Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Niken Turida sangatlah sayangdan perhatian  pada Kinanthi. Padahal, Kinanthi bukanlah anak kandungnya.  Sebagai seorang ibu, Niken Turida selalu memberikan kasah sayang dan perhatian pada anak angkatnya dengan sepenuh hati. Halitu terlihat ketika Kinanthi selesai melakukan laku tapa, dan Niken Turida menanyakan bagaimana kondisi Kinanthi, bahkan Niken Turida dan suaminya telah mempersipakan acara selamatan untuk Kinanthi yang telah berhasil melakukan laku tapa, itu pun tanpa sepengetahuan Kinanthi.

“Beliau orang terhormat di padepokan Wanamarta. Pada keluarga Ki Bayi, aku dan nenekmu bekerja sebagai babu. Orang-orang yang dikastakan di tingkatan sudra. Semoga kamu tidak malu mempunyai nenek dan simbok yang pernah bekerja sebagai babu. Tidak bisa baca dan tulis. Bisanya hanya memeras keringat dari tubuhnya untuk memenuhi perintah juragan yang mengupahnya. Untuk itu, kamu harus belajar! Mumpung usiamu masih belia. Biar kelak, kamu tidak hanya hidup sebagai babu.”
“Ya, Mak. Tetapi pada siapa aku harus belajar? Di desa Jurang Jangkung kan belum ada seorang guru yang bisa mengajarkan aku untuk bisa membaca dan menulis?”
“Memang, Nduk. Tapi bila kamu ingin belajar, aku dapat membawamu ke padepokan Wanatawang . di padepokan itulah,  kamu dapat belajar pada Denmas Jayengresmi.” Centhini sejenak teringat pada putra sulung Ki Bayi Panurta dan Nyi Malarsih yang berwajah tampan dan berrkepribadian halus itu. “Bagimana, Nduk? Apakah kamu bersedia untuk mencecap ilmu dari beliau?”
“Tentu, Mak.”
“Bagus!” Wajah Centhini senampak langit biru berlulurkan cahaya matahari. “ Kalau begitu persiapkan perbekalan secukupnya. Sebelum matahari terbit esok pagi, kita harus meninggalkan desa Jurang Jangkung. Pergi ke padepokan Wanatawang.”(Centhini, 2012: 13-14)


Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Centhini sangat sayang pada anaknya. Ketika  memberikan nasihat pun ia selalu menggunakan nada yang rendah dan dengan bahasa yang baik. Sebagai seorang ibu yang menginginkan kehidupan anaknya lebih baik darinya,  mencoba untuk memberikan arahan pada Kinanthi untuk mulai belajar membaca dan menulis, agar kelak tidak seperti ibunya yang hanya bisa bekerja sebagai babu, karena memang itu yang dapat ia kerjakan. Itulah wujud kasih sayang Centhini kepada anak satu-satunya itu.

Centhini beranjak dari duduknya. Sesudah berjabat tangan dengan Jayengresmi dan Niken Turida, ia meninggalkan padepokan. Tanpa disertai Kinanthi, ia melangkah pulang ke desa Jurang Jangkung. Sepanjang perjalanan, wajahnya tampak sumringah. Mengingat anak semata wayangnya kelak tak akan lepas dari kudangan. Hidup berbahagia dengan berbekal ilmu pengetahuan. Lentera bagi khalifah di sepanjang jalan kegelapan. (Centhini, 2012: 21)

Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Centhini rela berpisah dengan anaknya agar nantinya Kinanthi bisa hidup lebih baik darinya. Bisa membaca dan menulis. Meski harus berpisah dengan anak semata wayangnya, Centhini tetap merasa bahagia.wajahnya tampak semringah. Itu bagian dari kasih sayang yang dapat Centhini berikan pada Kinanthi.

Kinanthi tersentak, saat pintu kamarnya diketuk Niken Turida. Tanpa berpikir panjang, Kinanthi beranjak dari kursi. Membuka pintu itu tanpa deritan. “Oh…..,Ibu Turida. Apakah ada pekerjaan yang harus aku laksanakan?”
“Tidak ada, Kinanthi.” Niken Turida menjawab dengan lembut. “Malam ini, ayahmu ingin berbicara denganmu. Beliau telah menunggumu di pendapa.”
“Baiklah, ibu. Aku akan segera ke pendopo.”
Selepas Niken Turida, Kinanthi meletakkan kitab yang ditulis Syeh Amongraga itu di atas mejanya. Melangkahkan kakinya menuju ruang pendapa. (Centhini, 2012: 27)


Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Kinanthi termasuk anak yang rajin dan penurut. Sebagai seorang anak, ia sangat berbakti pada kedua orangtuanya. Ia selalu menuruti apapun perintah orang tuanya. Hal itu terlihat ketika Niken Turida meminta Kinanthi untuk segera menemui Jayengresmi di ruang pendapa. Tanpa pikir panjang Kinanthi langsung meletakkan kitab yang sedang ia baca dan segera menemui ayahnya Jayengresmi di ruang pendapa.


2)    Moral Jawa
(a)      Sabar
Di naungan matahari yang semakin terik , Centhini mengatur napasnya yang mulai ngos-ngosan. Menyeka leleran keringat di wajah dan leher dengan tapak tangannya yang kasar. Dengan memanggul cangkul, ia menuju gubuk di tepian pematang. Duduk di ambenan gubuk itu. menenggak air yang keluar dari lubang mencong kendi. Rasa segar menjalar ke seluruh tubuhnya.
Dalam diam, Centhini mendesah. Teringat pada keputusannya yang bodoh. Menerima perintah Syeh Amongraga untuk menikah dengan Monthel. Lelaki bertubuh tambun yang kemudian menceraikannya sesudah tergoda dengan janda kembang. Meninggalkannya tanpa mengingat nasib Centhini. Anak perempuan semata wayangnya yang akan merasa damai tinggal di antara ayah dan ibunya (Centhini, 2012: 12).

Berdasarkan kutipan di atas, centhi bersikap sabar atas apa yang terjadi padanya. Ia sabar menerima keputusan suaminya yang menceraikannya karena ia tergoda oleh janda kembang.
“Ayah ….” Jayengresmi  bicara dengan nada lembut dan santun. “Kepedihan Kangmbok Tambangraras atas kepergian  Kakang Amongraga yang tanpa pamit dan pesan itu tidak cukup hanya untuk diratapi!”
“Bagaimana aku tak meratapinya, Jayengresmi? Kenapa mbakyumu harus menerima nasib seburuk ini. ditinggal suaminya sendirian. Sekalipun, aku tahu kalau kepergian  mantu Amongraga itu mencari adik perempuanya. Namun, kenapa ia pergi tanpa pamit. Datang baik-baik. Pergi seperti maling.”
“Sudah! Sudah, Ayah! Tak perrlu marah!”
“Bagaimana aku tak marah? Bagaimana kata orang-orang pada mbakyumu nanti. Mereka akan bilang; Tambangraras tak ubah sekarat tebu. Habis manis, sepah dibuang!”
“Aku tahu, Ayah. Tetapi amarah ayah itu tidak akan pernah menyelesaikan persoalan.” Jayengresmi terdiam sesaat. “Hanya dengan mencari Kakang Amongraga dan memintanya pulang ke Padepokan Wanamarta adalah jalan terbaik, Ayah.”
Bayi Panurta menghirup napas dan menghempaskannya kuat-kuat. “Apa yang kamu katakna itu benar, Jayengresmi! Lantas …..Siapakah orang yang tepat untuk mencari Kakak iparmu itu?” (Centhini, 2012: 108).

Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Jayengresmi mempunyai sikap yang sabar dari pada ayahnya. Jayengresmi terlihat lebih sabar dalam mengahdapi masalah adiknya Niken Tambangraras. Berbeda dengan ayahnya yang pemarah. Ki Bayi Panurta marah pada sikap Amongraga yang meninggalkan anaknya begitu saja tanpa pamit,  namun tidak bagi Jayengresmi. Ia tetap sabar dan berpikiran positif serta tetap tenang, sehingga ia dapat menemukan jalan keluar untuk membantu menyelesaikan masalah adiknya.
Berhari-hari, desa Wanasonya tampak lengang dan kehilangan napas kehidupannya. Orang-orang hanya terduduk di tepian reruntuhan rumah mereka.  Merenungi nasib buruk yang tak mereka tahu kapan berakhirnya. Merenungi sebagian besar keluarga mereka yang telah tewas sebagai korban bencana. Mulut mereka terkunci untuk meneriakkan beban jiwa yang ditanggungnya. Air mata mereka talah kering untuk mengungkapkan rasa duka yang teramat dalam. Sebagaimana orang-orang desa Wanasonya, Kinanthi yang tergoncang  jiwanya sesudah kematian Jayengresmi, Niken Turida, dan sebagian murid padepokan Wanatawang itu perrlahan-lahan bangikt. Tak ada yang terselip di dalam benak kepalanya, selain hasratnya untuk menghadap Syeh Agungrimang dan Niken Rancangkapti. Meminta bantuan sandang, pangan, dan topangan jiwa bagi orang-orang desa Wanasonya yang telah putus asa dalam mengahdapi cobaan hidup  (Centhini, 2012: 140).

Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Kinanthi tetap sabar menerima semua cobaan yang menimpanya. Melihat di sekitarnya orang-orang Wanasonya masih tertunduk layu, merenungi nasib mereka, sedangkan Kinanthi dengan kesabarannya dia berusaha bangkit dari keterpurukan. Ia berhasrat untuk mencari bantuan pada Syeh Agunggrimang dan Niken Rancangkapti.
(b)     Nrima
“Beliau orang terhormat di padepokan Wanamarta. Pada keluarga Ki Bayi, aku dan nenekmu bekerja sebagai babu. Orang-orang yang dikastakan di tingkatan sudra. Semoga kamu tidak malu mempunyai nenek dan simbok yang pernah bekerja sebagai babu. Tidak bisa baca dan tulis. Bisanya hanya memeras keringat dari tubuhnya untuk memenuhi perintah juragan yang mengupahnya. Untuk itu, kamu harus belajar! Mumpung usiamu masih belia. Biar kelak, kamu tidak hanya hidup sebagai babu.” (Centhini, 2012: 13).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kitaketahui bahwa Centhini adalah orang yang nrima, ia bisa menerima apa yang sudah jadi nasibnya. Ia bisa menerima kalau dia hanyalah seorang babu. Babu yang harus mengabdi pada juragan  yang mengupahnya.
Tujuh hari tujuh malamyeh Amongraga, Jamal, dan Jamil tinggal di kaki Gunung Karang. Hari-hari telah mereka lintasi dengan menggarap ladang dan mencari rumput untuk sapi dan kambing milik Ki Ageng Karang. Sekalipun hidup dengan kesehajaan, mereka merasa mendapatkan perlindungan dari buruan orang-orang Mataram. . (Centhini, 2012: 53).

Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Syeh Amongraga anak Ki Bayi Panurta, seorang yang terhormat, mau melakukan hal tidak biasa ia lakukan. Ia ikut menggarap ladang dan mencari rumput untuk sapi dan kambing milik Ki Ageng Karang. Syeh Amongraga dapat menerima hal itu.
Berhari-hari, desa Wanasonya tampak lengang dan kehilangan napas kehidupannya. Orang-orang hanya terduduk di tepian reruntuhan rumah mereka.  Merenungi nasib buruk yang tak mereka tahu kapan berakhirnya. Merenungi sebagian besar keluarga mereka yang telah tewas sebagai korban bencana. Mulut mereka terkunci untuk meneriakkan beban jiwa yang ditanggungnya. Air mata mereka telah kering untuk mengungkapkan rasa duka yang teramat dalam. Sebagaimana orang-orang desa Wanasonya, Kinanthi yang tergoncang  jiwanya sesudah kematian Jayengresmi, Niken Turida, dan sebagian murid padepokan Wanatawang itu perrlahan-lahan bangikt. Tak ada yang terselip di dalam benak kepalanya, selain hasratnya untuk menghadap Syeh Agungrimang dan Niken Rancangkapti. Meminta bantuan sandang, pangan, dan topangan jiwa bagi orang-orang desa Wanasonya yang telah putus asa dalam mengahdapi cobaan hidup. (Centhini, 2012: 140)
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Kinanthi sudah bisa menerima cobaan yang melintasi perjalanan hidupnya. Meski ia masih merasakan duka yang mendalam karena ia harus kehilangan Jayengresmi, Niken Turida, dan sebagian murid padepokan Wanatawang, tapi ia berusaha untuk menerima hal itu dan  kemudian bangkit. Kinanthi berusaha untuk menghadap Syeh Agunggrimang dan Niken Rancangkapti guna meminta bantuan.
(c)      Temen
Di dalam ruang tidur Centhini, Kinanthi yang berhasrat mempersiapakan jarik dan kebaya untuk dikenakan emaknya esok pagi menuju padepokan Wanatawang itu tersentak. Manakala membuka pintu almari kayu di sudut ruangan itu, Kinanthi menyaksikan sebendel lontar di rak atas. Mengambil bendelan lontar itu dengan hati-hati. Seusai membuka-buka halaman demi halamannya, Kinanthi bicara dalam hati. “Aku berjanji. Bila guru Jayengresmi telah mengajarkanku ilmu membaca, tidak ada kitab yang pertama aku baca selain kitab ini.” (Centhini, 2012: 40)

Hari demi hari terus melintas. Hingga tak terasakan oleh Kinanthi, bila usianya telah menginjak dua puluh tahun. Sekalipun usianya telah matang untuk memasuki kehidupan rumah tangga, namun tak pernah terlintas satu nama lelaki pun di dalam benaknya. Waktu kehidupannya hanya dihabiskan untuk bekerja, menulis, dan membaca. Hingga dalam satu bulan, Kinanthi diangkat sebagai anak keluarga Jayengresmi itu telah tuntas membaca kitab dari Syeh Amongraga yang diberikan pada mendiang emaknya, Centhini. (Centhini, 2012: 26-26)

Berdasarkan kutipan yang pertama, Kinanthi telah berjanji pada dirinya sendiri kalau nanti ia bisa membaca dan menulis, kitab yang pertama kali akan ia baca yaitu kitab yang tertulis dalam sebuah sebendel lontar. Kitab itu ditulis oleh Syeh Amongraga yang kemudian diberikan kepada Centhini. Benar saja, ketika Kinanthi telah bisa membaca dan menulis, sesuai dengan janjinya kitab yang pertama kali ia baca yaitu kitab dari Syeh Amongraga yang diberikan kepaada Centhini.
Sontak Syeh Amongraga  mengerahkan akal budinya untuk menangkap makna lambang dari bunga wijaya kusuma yang dapat  mekar di malam dan siang hari itu. “Apakah bunga itu melambangkan seorang gadis yang tengah mekar hingga tampak mempesona baik di siang maupun malam hari?”
“Tepat!”  Ki Bayi Panurta tertawa renyah. “Ketahuilah, Kisanak Amongraga! Aku ini memiliki tiga orang putra. Mereka adalah Jayengwesthi, Jayengraga, dan Niken Tambangraras. Kedua putera lelaki itu sudah menikah. Sementara puteri sulungku yang telah menginjak usia dua puluh tiga tahun itu masih legan. Berpuluh-puluh perjaka yang ingin meminangnya gagal dalam sayembara. Mereka tak sanggup menjelaskan tentang makna hasta brata pada puteri sulungku itu. Karenanya bila kisanak Amongraga hendak memetik bunga wijaya kusuma di padepokan Wanamarta, maka harus mampu memenuhi persyaratan itu. bagaimana, Kisanak?”
“Ehm ….” Syeh Amongraga menghela napas panjang. “Aku sanggup, KI.”
“Jadi…. Kisanak Amongraga sungguh-sungguh ingin mengikuti sayembara? Berkehendak untuk menjelaskan makna hasta brata pada Tambangraras
“Ya.”  (Centhini, 2012: 62-63)


“Mohon doa restu, Ki.” Syeh Amongraga mengerahkan kekuatan akal budinya untuk mengingat kembali wejangan makna hasta brata  yang pernah diberikan Wasi Kameswara di tengah perjalanannya. Seuasai wejangan itu kembali diingatnya, Amongraga memalingkan wajahnya ke arah Niken Tambangraras yang tampak di matanya laksana Bathari Supraba turun di mayapada. “Harap dimengerti Kisanak Tambangraras! Hasta brata adalah delapan laku mulia yang harus dilaksanakan oleh setiap manusia dalam hamemayu hayuning buwana.”
“Delapan laku itu apa saja, Kisanak?” Niken Tambangraras bertanya dengan tegas. “Tolong sebutkan!”
“Laku pertama adalah laku Sang Hyang Yama. Mengikuti laku Yama, manusia harus berbuat adil. Meskipun saudaranya sendiri, bila bersalah harus dihukum dengan selaras kesalahannya. Laku kedua adalah laku Sang Hyang Surya. Mengikuti laku Surya berarti manusia harus selalu memberikan jalan terang saat manusia lain dalam kegelapan. Laku ketiga adalah laku Sang  Hyang Candra. Meneladani laku Candra, manusia harus bersikap ramah pada sesamanya. Laku keempat adalah laku Saang Hyang Indra. Mencontoh laku Indra, manusia harus berikap rendah hati pada sesamanya. Laku kelima adalah laku Sang Hyang Bayu. Mengikuti laku Bayu, manusia harus selalu membangkitkan jiwa kehidupan pada sesamanya. Laku keenam adalah laku Sang Hyang Kuwera. Mengikuti laku Kuwera berarti manusia harus selalu mengolah batinnya demi kesejahteraan bangsa dan negaranya. Laku ketujuh adalah laku Sang Hyang Baruna. Meneladani laku Baruna, manusia harus mampu mengendalikan hawa nafsunya. Laku kedelapan adalah laku Sang Hyang Brama. Meneladani laku Brama berarti manusia harus selalu siaga membinasakan keangkara-murkaan di muka bumi.” Syeh Amongraga menatap Niken Tambangraras yang kemudian menundukkan wajahnya. “Bagaimana Kisanak Tambangraras? Apakah aku telah memenangkan sayembara itu?”
“Ya.”
“Jadi …..” Ki Bayi Panurta terperangah saat mendengarkan jawaban Niken Tambangraras atas pertanyaan Syeh Amongraga. “Apakah jawaban Kisanak Amongraga ini tidak meleset dari pengetahuanmu tentang hasta brata?”
“Tidak, Ayah.”
“Dengan demikian, kamu telah menerima Kisanak Amongraga sebagai calon suamimu? Begitu?”
Niken Tambangraras menganggukkan kepala.
“Lega hatiku!” Wajah Ki Bayi Panurta sontak serupa matahari yang baru saja melepaskan cadar awannya. “Nak Amongraga! Berhubung telah memenangkan sayembara, maka Naak Amongraga jangan cepat-cepat mencari adik perempuanmu itu! karena beberapa hari lagi, aku ingin menikahkanmu dengan Tambangraras.” (Centhini, 2012: 64-65)


Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Niken Tambangraras benar-benar menepati janji. Ia mau menerima Syeh Amongraga menjadi suaminya setelah Syeh Amongraga bisa menjelasakan tentang makna hasta brata.  Hal itu sesuai dengan janji yang di ungkapkan oleh Niken Tambangraras dalam sebuah syaembara. Isi janji yang diungkapkan itu yaitu jika ada orang perjaka yang dapat menjelaskan makna hasta brata dengan benar maka dia bisa menikah dengan dirinya. Setelah sayembara itu diumumkan, maka berpuluh-puluh perjaka datang untuk mengikutibara itu,  namun berpuluh-puluh perjaka itu tidak ada yang mampu mengungkapkan makna hasta brata kecuali Syeh Amongraga.
Selagi Niken Tambangraras dan Niken Rancangkapti tengah berjabat tangan dan saling memperkenalkan diri, Syeh Amongraga membawa Syeh Mangunarsa untuk menyingkir dari mereka. “Dhimas Mangunarsa! Karena kan datang tamu tak diundang di Sendang Klampeyan ini, aku berharap agar Adhi membawa mereka ke perdukuhan Wanataka. Aku akan menyusulnya.” (Centhini, 2012: 86)

“Kangmas Pangeran Pekik!” Ratu Pandansari membuka pembicaraan sambil mengamati seorang lelaki yang tengah bertapa mengambang di permukaan Sendang Klampeyan. “Apakah orang itu yang bernama Amongraga?”
“Kalau melihat wajahnya yang serupa wajah Sunan Giri Parapen, aku meyakini bahwa ia yang bernama Amongraga.”
“Menurut, Paman Tumenggung?”
“Hamba setuju dengan pendapat Nak Mas Pangeran Pekik. Orang itu yang bernama, Amongraga.”
“Kalau begitu, kita tangkap orang itu.” Ratu Pandansari mengerahkan kekuatan batinnya. Bagaikan seekor elang, puteri Sultan Agung itu melesat terbang dari atas gigir kuda. Menyambar seseorang yang mengambang di permukaan sendang Klampeyan tanpa menyentuh airnya. Dari udara, ia melempatkan orang itu dengan sikap terduduk di depan Tumenggung Alap alap yang masih berada di gigir kuda. “Kita pulang ke Mataram, Paman. Kita serahkan putera mahkota Giri Parapen ini pada Rama Sultan.”
Tanpa berpikir panjang, Tumenggung Alap alap beserta Ratu Pandansari, Pangeran Pekik, Ganda Arum, Ganda sari, dan Ganda Wangi yang telah merasa berhasil menangkap Syeh Amongraga itu meningglakan tepian sendang Klampeyan …….
Selepas orang-orang Mataram, Syeh Amongraga yang bersembunyidi balik rerimbun semak itu menampakkan dirinya. Meniti jalanan mendaki di bikit tepian desa Jurang Jangkung. Tiada tempat yang bakal ia tuju, selain pedukuhan Wanataka. Tempat dimana istri dan kedua saudara kandungnya telah menanti. (Centhini, 2012: 87-88)

Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Syeh Amongraga meminta  pada Syeh Mangunarsa untuk membawa Niken Tambangraras dan Niken Rancangkapti  ke perdukuhan Wanataka. Ia berjajni akan meyusulnya setelah urusannya selesai. Syeh Mangunarsa menuruti. Ternyata Ssyeh Aamongraga menepati janjinya, setelah semua urusannya selesai ia langsung menysul istri dan adiknya di perdukuhan Wanataka.
(d)     Rila
Selepas matahari dari uncak kubah langit, jenazah Centhini yang dibaringkan dengan terbungkus kain mori di dalam keranda kayu itu dipanggul empat pelayat menuju pemakaman. Sepanjang jalan menuju pemakaman, Kinanthi yang melangkah gontai di barisan depan pelayat itu tak henti-hentinya mengucurkan air mata di pipinya. Terlebih saat jenazah emaknya yang dibaringkan di dasar galian lubang kubur itu usai ditimbun dengan tanah.
Makam kembali lengang. Para pelayat telah pulang ke rumahnya masing-masing. Sebagaimana Syeh Mangunarsa, Jayengraga, Jayengresmi, Niken Turida, dan Niken Rarasati; Kinanthi yang dlam pelukan Nyi Sartem itu pun telah meninggalkan makam. Mereka berkumpul di ruangan depan rumah duka. Tiada yang mereka  lakukan, selain memberikan kekuatan pada jiwa Kinanthi.
“Orang hidup itu seperti wayang, Kinanthi.” Syeh Mangunarsa membuka petuahnya. “ Hidup dan kematian wayang berada di tangan dalang. Bila dlaang menghendaki kematiannya, maka matilah wayang itu.”
“Karenanya, Kinanthi.” Jayengraga menyambung petuah Syeh Mangunarsa. “Selagi blenccong masih menyalakan apinya, wayang hanya bisa memaknainya segala kisah yang dibeber dalang dengan jiwa samudera.”
“Benar petuah Syeh Mangunarsa dan Adhi Jayengraga.” Jayengresmi turut melengkapi petuah itu. “Hendaklah kamu tidak perlu sedu sedan! Emakmu kini tinggal damai di alam keabadiannya.”
Mengakap makna di balik petuah Syeh Mangunarsa, Jayengraga, dan Jayengresmi; jiwa Kinanthi yang serupa kain robek itu serasa mendapatkan jahitan. Darah dan napasnya perlahan-lahan mengalir lancar. Langit yang berselimutkan awan tampak memercikkan cahaya. Meskipun rasa kedukaan atas meninggalnya Centhini masih membekas di dalam hati. (Centhini, 2012: 24-25)


Berdasarkan kutipan di atas, dapaat kita ketahui bahwa Kinanthi baru saja kehilangan ibunya. Orang yang telah mengandung dan membesarkannya. Awan mendung menyelubungi hatinya. Air matanya selalu jatuh menetes. Kinanthi merasakan kesedihan yang sangat mendalam. Untung saja banyak orang di sekitarnya yang selalu memberikan kekuatan pada Kinanthi agar tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Orang-orang itu antara lain Syeng Maangunarsa, Jayengresmi, dan Jayengraga. Atas petuah dari ketiga orang tersebut akhirnya Kinanthi bisa merelakan ibunya. Wajah kinathi yang tadinya berselimutkan awan tampak memercikkan cahaya.

(e)      Budi Luhur

“Ayah…..” Kinanthi bertanya pada Jayengresmi dengan penuh santun. “Apakah hasil dari laku tapa seseorang pantas diceritakan pada sesamanya? Apakah hal itu tidak tabu?”
“Tidak, anakku. Selama kamu tidak menambahi dan mengurangi atas apa yang kamu peroleh selama menempuh laku tapa itu. bukankah berbagi sesuatu yang bermaslahat dengan sesamanya adalah tindakan mulia?”
“Baiklah, Ayah.” Kinanthi menarik napas panjang sebelum dihembuskannya kuat-kuat. (Centhini, 2012: 36)


Berdasarkan kutipan di atas, dpata diketahui bahwa Jayengresmi adalah orang yang baik, berbudi luhur. Jayengresmi selalu memberikan pelajaran yang baik dengan nada bicara yang pelan, namun maknanya dalam. Hal itu terlihat dari ucapan Jayengresmi ketika mengajarkan pada Kinanthi untuk berbicara apa adanya sesuai dengan apa yang telah terjadi, tidah ditambah-tambahi ataupun dikurangi.

“Kisahkan padaku, Ki! Aku akan menyimaknya dari awal hingga akhir.”
“Baiklah!” Ki Wasi Buyut Bagena menyalakan lampu minyak jarak dengan api yang dipercikkan lewat gesekkan dua batu item, saat kegelapan malam mulai turunbersma kabut dari  puncak Gunung Gora. “Blencong yang dinyalakan memancarkan cahaya pada kelir. Sang Bima mengayunkan langkah kaki menuju pertapan Sokalima. Tiada hasrat yang ingin dicapainya, selain ingin mendapatkan petunjuk Druna gurunya tentang dimana tirta perwitasari itu berada. Oleh gurunya, Bima disarankan untuk memenuhi persyaratannya terlebih dahulu. Mendapatkan susuhing angin di puncak Gunung Candramuka. Sesudah mendapatkan yang dicari melalui Saang Hyang Bathara Indra dan Sang HyangBhatara Bayu, Bima kembali  pada gurunya. Oleg Druna, Bima diperintahkan untuk menyelam ke dassar samudra laya. Di situlah, tempat tirta perwitasari.”
“Kenapa Aki menghentikan kisahnya?” Syeh Amongraga yang mulai hanyut ke dalam kisah penjelajahan batin Bima itu bertanya pada Ki BuyutWasi Bagena. “Apakah kisahnya hanya sampai di situ, Ki?”
“Masih panjang.”
“Lanjutkan saja, Ki. Aku sangat senag menyimaknya.”
“Baik.” Ki Buyut Wasi Bagena meraih lintingan sirih yang telah berisi secuil gambir dan seleletan injet untuk dikunyahnya. Sesudah mengnyah-unyah kinang dan meludahkan dubangnya di luar gubuk itu, ia melanjutkan kisahnya. “Dengan sepenuh keyakinan, Bima meninggalkan pertapan Sokalima. Tanpa menghiraukan keluarga Pandawa dan saudara Bayu-nya, Bima melajukan langkahnya menuju samudra laya. Setiba di pantai, Bima mencenurkan diri ke dalam lautan. Berhelat dengan gelombang dan badai hingga berakhir bersabung nyawa dengan naga Amburnawa. Karena kesentosaan jiwanya, Bima dapat melintasi cobaan terakhirnya itu.”
“Sungguhmenarik kisahnya, Ki.” Jamal yang semula hanya teriam sontak memenggal kisah yang tengah dibeberkan Ki BuyutWasi Bagena. “Lantas bagaimana sesudah Bima mampu menanggulangi cobaan terakhirnya?”
“Singkat cerita, Bima bertemu dengan Sang Hyang Bathara Ruci. Dewa bajang yang sesungguhnya sang guru jati Bimaitu sendiri. Melalui Ruci, Bima mendapatkan tirta perwitasari. Air suci yang dapat menjernihkan jiwa hingga Bima mendapatkan pencerahan batin. Apakah Kisanak tahu makna air suci itu?”
“Sama sekali tidak, Ki.”
“Ketahuilah, Kisanak! Air suci itu melambangkan wewarah-wewarah Sang Hyang Bathara Ruci pada Bima. Hendaklah Bima selalu bertindak sesudah mengerti benar tentang tujuannya. Hendaklah Bima tidak seperti orang udik yang tidak bisa membedakan mana Loyang mana emas. Hendaklah Bima tidak mudah bingunngan, lantaran segelap-gelapnya jalan selalu ada  sepercik cahaya Tuhan. Hendaklah Bima selalu menghidupkan budi jatmika yang dapat sebagai bekal di dalam memahami perlambang alam. Hendaklah Bima selalu mendekatkan diri pada dzat sejati, karena kedekatan itu dapat menjadikan bekal dalam memahami gagalnya tujuan dan cita-cita. Hendaklah Bima memahami makna di balik mati sajroning urip dan urip sajroning pati. Karena dengan memahaminya ilmu sejati dan makna cinta kasih pada sesamanya.” (Centhini, 2012: 56-57)


Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Ki Buyut Wasi Begana adalah orang yang berbudi luhur.














BAB V KESIMPULAN DAN SARAN